10 Desember 2008

Hindari Kanker Payudara

Dimuat Koran Jakarta

26 November 2008

RESENSI BUKU

Rubrik PERADA


Judul Asli : Health & Beauthy
Judul Buku : Kanker Payudara
Penulis : John R Lee & David Zava, Ph.D. & Virginia Hopkins M.A.
Penerbit : Daras, Jakarta
Cetakan : Agustus 2008
Tebal Buku : 428 hlm
Harga : Rp. 79.000

Oleh : Syahrul Kirom*

Bagi kaum wanita, payudara merupakan salah satu organ yang sangat penting. Akan tetapi, bila kaum wanita terkena penyakit kanker payudara ini bisa menjadi penyakit mematikan dan dirasa sangat mengerikan. Apabila mereka sudah terkena penyakit tersebut, kebanyakan wanita lantas mengalami stres, bahkan depresi. Memang, penyakit ini mengerikan. Namun, bila tidak dideteksi sejak dini dan ditangani dengan tepat, akan sangat membahayakan bagi umat manusia.


Secara kronologis, kanker payudara terjadi ketika sejumlah sel di dalam payudara tumbuh dan berkembang hingga tak terkendalikan. Sel-sel yang tumbuh itu tak terkendali ini dapat menyerang jaringan di sekitarnya dan menyebar ke seluruh tubuh. Sungguh mengerikan. Sementara itu, biasanya sel kanker di dalam payudara yang pertama dapat tumbuh menjadi tumor sebesar 1 cm pada waktu 8-12 tahun. Sel kanker tersebut diam pada kelenjar payudara. Sel-sel kanker payudara ini dapat menyebar melalui aliran darah ke seluruh tubuh.

Berdirilah di depan cermin dan perhatikan apakah ada kelainan pada payudara. Biasanya kedua payudara tidak sama, putingnya juga tidak terletak pada ketinggian yang sama. Perhatikan apakah terdapat keriput, lekukan, atau puting susu tertarik ke dalam. Bila terdapat kelainan itu atau keluar cairan atau darah dari puting susu, segeralah pergi ke dokter. Karena itu, untuk memastikan apakah benjolan atau tumor di payudara adalah kanker, dilakukan screening mamografi.

Menurut WHO, ada tiga faktor yang sangat potensial menyebabkan kanker payudara yaitu rokok, alkohol dan gaya hidup (life style). Bahan-bahan kimia yang semakin sulit dihindarkan juga menjadi faktor pemicu. Bahan-bahan tersebut bahkan sering tanpa kita sadari terkandung dalam makanan dan minuman yang kita konsumsi sehari-hari.

Melalui buku dengan judul “Kanker Payudara” (2008) yang ditulis John R Lee, David Zava dan Virginia Hopkins. Ini berusaha ingin menjelaskan bagaimana kaum wanita yang terkena penyakit kanker payudara ini bisa melakukan pencegahan dan pengobatan kanker payudara serta cara bagaimana terhadap mantan penderita untuk bisa mempertahankan kesehatan?

Ada beberapa faktor untuk mencegah dan mengobati penyakit kanker payudara. Pertama, konsumsi Vitamin A, vitamin C, dan Vitamin E yang dikatakan dapat menurunkan risiko kanker payudara. Sejumlah penelitian menunjukkan konsumsi buah-buahan dan sayuran bisa menurunkan risiko kanker payudara. Nutrisi yang berasal dari tumbuhan kaya dengan antioksidan yang dapat mencegah kerusakan sel-sel yang dapat menyebabkan kanker. Hal Ini menjadi alasan mengapa manusia perlu mengonsumsi sayur dan buah setiap harinya.

Kedua, konsumsi makanan yang banyak mengandung lemak dikurangi lemak yang tidak dapat dipecah dalam proses metabolisme tubuh bisa menyebabkan hormon estrogen di tubuh tidak bekerja dengan baik. Bila terjadi demikian, dapat terbentuk kista, miom dan gangguan pada organ lain yang mengandung estrogen, termasuk payudara.

Ketiga, bagi kaum wanita, pencegahan itu juga bisa dilakukan dengan memperbanyak aktivitas dengan berolahraga, seperti senam dan lari –lari. Langkah tersebut itu cukup berhasil untuk mengurangi dan bahkan untuk menghindari terjadinya penyakit kanker payudara. Semakin kita banyak bergerak berarti peluang untuk terhindar penyakit kanker payudara lebih besar. Wanita yang sering terkena penyakit kanker payudara karena kurang beraolahraga dan bergerak. Ini resiko yang harus diterima oleh kaum wanita.

Keempat, penyakit kanker payudara bisa dilakukan dengan Mammografie yakni melalui pemeriksaan payudara dengan alat rontgen dan merupakan suatu cara pemeriksaan yang sederhana, tidak sakit, dan hanya memakan waktu 5 - 10 menit saja. Saat terbaik untuk menjalani pemeriksaan mammografie adalah seminggu setelah selesai menstruasi.

Kelima, dengan cara lainnya yakni melalui operasi kecil untuk mengambil contoh jaringan (biopsi) dari benjolan itu, kemudian diperiksa di bawah mikroskop laboratorium patologi anatomi. Bila diketahui dan dipastikan bahwa benjolan itu adalah kanker, maka payudara harus diangkat seluruhnya untuk menghindari penyebaran ke bagian tubuh yang lain.

Kehadiran buku ini sangat signifikant sekali bagi kaum wanita dan termasuk mereka yang terkena penyakit kanker payudara untuk bisa mengurangi, menghindari dan bahkan mengatasinya dengan cara tersebut. Karena itu, buku ini bisa dijadikan panduan kepada para wanita untuk mengobati dan untuk mencegah penyakit kanker payudara. Dengan membaca buku ini, kita akan menjadi lebih bijak dalam melakukan pencegahan serta mengambil keputusan jika penyakit ini menyerang. Semoga.

* Peresensi adalah Peneliti Sosial, Alumnus Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Cerita Sukses Bill Gates

Dimuat Seputar Indonesia

Saturday, 06 December 2008

Resensi Buku

Judul Buku : The Bill Gates Way
Penulis : Des Dearlove
Penerbit : Daras Books, Jakarta
Cetakan : I, Oktober 2008
Tebal Buku : 232 Halaman



SIAPAyang tak kenal Bill Gates? Orang terkaya di dunia ini memiliki perusahaan teknologi komputer di Redmond, Washington,Amerika Serikat (AS).

KEKAYAANNYA diperkirakan mencapai sekitar 60 miliar dolar AS dan bahkan Gates menangguk kesuksesan spektakuler selama lebih dari 25 tahun sampai sekarang. Gates merupakan salah satu pendiri dan bagian teknis industri komputer pribadi CEO yang masih bertahan dan berkembang di sisi bisnis teknologi.

Microsof adalah salah satu perusahaan yang didirikannya tahun 1974 bersama Paul Allen yang telah membawa kemajuan dalam karier dan usaha bisnisnya sebagai seorang miliarder. Buku The Bill Gates Way yang ditulis Des Daerlove ini ingin mengungkap trik, rahasia, dan kesuksesan bisnis Bill Gates yang sangat terorganisasi sehingga mampu memacu perusahaannya mencapai keberhasilan.

Tak salah jika Bill Gates menjadi orang yang paling kaya di planet bumi ini. Pertanyaannya adalah kenapa Bill Gates bisa menjadi orang yang sukses dalam bisnisnya? Ada beberapa langkah yang dilakukan Bill Gates dalam mencapai kesuksesan bisnisnya di dunia teknologi komputer.

Pertama,mengetahui tempat yang tepat pada waktu yang tepat dalam menjalankan perusahaan Microsoftnya. Di era pekerja pengetahuan, pengetahuan teknis dan kreativitas adalah asetaset baru korporat. Gates mengombinasikan hal-hal itu dengan naluri bisnis dan sifat kompetitif yang teramat tinggi. Selain itu, untuk memperoleh kesuksesan Miscrosoft, ia bekerja tanpa mengenal lelah selama enam bulan untuk memperoleh keuntungan.

Kedua, faktor jatuh cinta pada teknologi merupakan hal yang paling penting dalam dunia kerja di bidang industri komputer. Salah satu aspek penting kisah sukses bisnis Microsoft adalah pemahaman teknologi yang dimiliki Gates. Dia menguasai keputusan kunci dalam bidang teknologi komputer.Dalam banyak hal dia mampu memandang arah masa depan teknologi (hlm 34).

Ketiga, faktor tak kenal ampun. Maksudnya, seorang pebisnis dan pengusaha haruslah menjadi seorang kompetitor yang kuat dalam segala hal dan harus memiliki visi untuk selalu menang dalam setiap negosiasi. Bahkan, kata Bill Gates, pebisnis harus bisa menghancurkan lawanlawan bisnisnya kalau ingin menjadi yang terdepan.

Keempat,BillGatesmencari dan mempekerjakan orangorang yang cerdas dalam industri komputer atau yang memiliki IQ tinggi. Ini merupakan langkah yang paling strategis yang dengan sengaja dilakukannya untuk menjamin perusahaan.Gates tidak suka mempekerjakan orangorang yang gagap teknologi.

Kelima, Bill Gates berusaha untuk belajar bertahan hidup, yakni dengan cara selalu memperbaiki kondisi internal para karyawan,dengan tidak selalu merasa puas akan hasil kerja terbaik yang sudah dicapai.Dengan itu,para karyawan bisa bekerja lebih maju.Di sisi lain,perlu pengaturan organisasi perusahaan secara baik, penciptaan uji produk-produk untuk konsumen, penciptaan lingkar umpan balik yang terus-menerus antara para karyawan dan sesama koleganya.Ini akan melahirkan hubungan kerja sama yang baik.

Keenam, jangan mengharapkan terima kasih ketika kita mendapat ketenaran dan popularitas. Hal itu akan menghambat kesuksesan sebuah perusahaan. Selain itu, gunakan perhatian media untuk memasarkan produkproduk perusahaan, jangan mau berhadapan dengan orang bodoh, berkumpullah dengan orang-orang kaya dan populer.

Ketujuh,mengambil posisi visioner adalah langkah paling efektif untuk memengaruhi rekan bisnis, yaitu dengan menjadipemimpinbisnisjenis baru. Bill Gates adalah sosok idealdalamindustrikomputer. Pemahaman mendalam tentang teknologi dan cara unik membuat sintesis data memberinya kemampuan khusus memahami tren dan mengarahkan strategi Microsoft. Langkah itu mengundang decak kagum para pemuja Microsoft dan mengintimidasi para kompetitor (hlm 222).

Kedelapan, dengan menggarap seluruh elemen dalam mengatur sejumlah proyek besar secara bersamaan dan cepat. Gates mengingatkan agar jangan berhenti berpikir. Seluruh kesempatan yang ada harus digunakan untuk belajar dan bahkan jangan pernah diam karena kalau berdiam diri, nilai sesuatu yang dimiliki akan turun menjadi nol.

Kesembilan, membangun unit kecil Microsoft, yaitu membuat unit bangun kecil dengan mengembangkan peranti lunak komputer pada kelompok-kelompok kecil. Kesepuluh, jangan pernah kehilangan fokus. Kendati masih muda dan sudah menjadi seorang yang kaya, Bill Gates tidak pernah kehilangan fokus dan berbisnis. Hasilnya, Microsoft belum pernah kolaps dalam bisnis teknologi komputer.

Kini Gates terus merancang kesuksesan dan mempertahankan kisah sukses yang pernah diraihnya. Kehadiran buku ini pun sangat penting artinya bagi para pengusaha, khususnya yang bergerak di bidang industri komputer di Indonesia.

Syahrul Kirom,
Peneliti Pada Social and Philosophical Studies Yogyakarta.

18 November 2008

Menjaga Lingkungan Dari Banjir

Dimuat Harian Pikiran Rakyat
18 Novemmber 2008

OPINI

Oleh : Syahrul Kirom *

Kejadian bencana banjir yang mengancam beberapa daerah di wilayah di Indonesia ini termasuk di Jawa Barat dan sekitarnya, seolah bencana banjir itu tidak pernah menyadarkan pemerintah daerah akan arti pentingnya menjaga lingkungan hidup. Bencana banjir yang seringkali terjadi pada musim penghujan merupakan kesalahan dari sistem pemerintah yang kurang siap untuk mengantisipasi krisis lingkungan. Padahal, fenomena banjir ini hampir tiap berganti tahun terus mengancam beberapa daerah di Indonesia.

Akan tetapi, itu semua tidak pernah dijadikan sebuah pelajaran oleh pemerintah untuk mengatasi dan mengadakan upaya preventif. Pemerintah daerah baru sadar bertindak ketika bencana banjir telah menewaskan beberapa orang. Inilah sistem penyelenggaraan pemerintah yang kurang tanggap terhadap persoalan sosial. Sistem pemerintahan daerah yang jelek dan kurang peduli terhadap pengelolaan lingkungan hidup.

Sementara itu, sistem pemerintah daerah yang baik (good governance) adalah dengan pengelolaan lingkungan hidup yang baik, ini jelas memiliki korelasi sangat positif antara pemerintah daerah dan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintah yang baik akan mempengaruhi dan menentukan pengelolaan lingkungan hidup yang nyaman.

Karena itu, pengelolaan lingkungan hidup yang baik mencerminkan tingkat penyelenggaraan pemerintah daerah yang baik. Tanpa penyelenggaraan pemerintah yang baik, sulit mengharapkan akan adanya pengelolaan lingkungan hidup. Pemerintah tentu saja perlu menyadari bahwa kelalaian untuk mengurus lingkungan ini jelas akan menyebabkan kerugian umat manusia, di antaranya terjadinya timbulnya bencana banjir dan kerugian harta dan barang-barang yang berada di rumah serta nyawa manusia hilang.

Pemerintah daerah juga perlu menyadari secara serius kesalahan kebijakan dibidang lingkungan hidup akan sangat merugikan, baik dari segi ekonomi, kesehatan, lingkungan hidup itu sendiri, kehancuran budaya masyarakat yang terkait lingkungan, ketahanan sosial dan kualitas kehidupan manusia. Maka dari itu, kesadaran terhadap lingkungan harus menjadi bagian integral dari keseluruhan kebijakan pembangunan. Lingkungan hidup tidak boleh menjadi sekadar aspek pinggiran, setelah ekonomi.

Keseriusan pemerintah daerah dalam menangani bencana banjir mengandaikan pula adanya komitmen moral pemerintah dalam mematuhi berbagai ketentuan formal dalam hal ini adalah analisis dampak lingkungan (Amdal) dan kebijakan yang pro lingkungan. Kalau komitmen moral pemerintah tidak bisa dijamin, persoalan lingkungan hidup ini akan terabaikan.

Kritik Kebijakan Pemerintah Daerah
Ini berarti. Pertama, penyelenggaraan pemerintah daerah harus mempunyai integritas moral yang diandalkan secara profesional. Dengan kata lain, moralitas pejabat publik baik dibidang lingkungan ataupun di bidang lain yang terkait merupakan faktor penting, agar aturan lingkungan hidup dan aturan yang lainnya tidak dilanggar.

Sehubungan dengan bencana banjir, bahwa sebagian besar kerusakan dan kehancuran lingkungan hidup di Indonesia terutama disebabkan oleh lemahnya moralitas pejabat pemerintah yang berwenang. Rendahnya moralitas pejabat pemerintah cenderung menyebabkan mereka berani menyalahgunakan kekuasaan untuk mengambil kebijakan yang bertentangan dengan ketentuan formal dalam kaitan dengan lingkungan hidup.

Fenomena ini jelas lepas dari pertimbangan filosofis mengenai cara pandang pemerintah terhadap alam, manusia dan tempat manusia dalam alam. Selain itu, disebabkan juga kebobrokan mental pejabat pemerintah daerah lemah secara moral sehingga dipengaruhi baik oleh uang, kedudukan, dan aspek lain dalam mengambil keputusan yang bertentangan dengan ketentuan formal.

Kedua, kesediaan pemerintah daerah dalam mendengarkan dan bekerja sama dengan semua pihak terkait termasuk di daerah tersebut dalam mengelola lingkungan hidup. Ada keterbukaan, saling percaya dan saling bekerja sama untuk menjamin lingkungan hidup yang baik.

Ketiga, harus ada masyarakat yang kuat dan mampu memainkan peran kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah di bidang lingkungan. Kontrol ini bertujuan untuk menjamin kepentingan bersama di bidang lingkungan dan karena itu jauh dari motif-motif politik yang sempit demi kepentingan kelompok tertentu. Bersamaan dengan itu, perlu terus dikembangkan perimbangan dan kontrol yang positif di antara kekuatan utama dalam msayarakat, yaitu antara pemerintah dengan kekuatan politiknya, sektor swasta dengan kekuatan ekonominya, dan masyarakat dengan kekuatan moral.

Keempat, perlu adanya penegakan hukum lingkungan hidup dalam rangka menjamin kebersihan lingkungan yang baik. Penegakan hukum merupakan salah satu aspek penting. Dengan sistem penyelenggaraan pemerintah daerah dan pusat yang baik, karena keadilan hukum sangat tergantung dari baik-buruknya penyelenggaraan sistem pemerintahan.

Maksudnya, jika kita mendambakan penegakan hukum lingkungan yang baik, maka penyelenggaran pemerintah yang baik merupakan sebuah keniscayaan. Untuk membangun penegakan hukum di bidang lingkungan tersebut, gerakan bersama perlu dilakukan dalam upaya membangun pola hidup yang ramah lingkungan demi menyelamatkan lingkungan hidup dan menumbuhkan budaya hukum dalam bidang kebersihan dan reboisasi hutan.

Terlepas dari itu, kebijakan pemerintah daerah yang terus menjalankan proyek pembangunan (developmentalism) untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tanpa dimbangi dengan proses reboisasi atau penanaman tumbuh-tumbuhan di pinggir jalan raya ini jelas akan menyebabkan bencana banjir yang semakin besar. Sebab apa, proses penyerapan air terhadap tumbuhan-tumbuhan tidak ada.

Dengan demikian, penyelenggaraan pemerintah daerah yang baik dibidang lingkungan mengandaikan kesediaan untuk mendengar aspirasi dan kehendak masyarakat dalam hal pengelolaan lingkungan. Persoalan bencana banjir adalah urusan dan tanggung jawab semua elemen masyarakat. Untuk mengatasi bencana banjir ini pemerintah harus bekerja sama dengan berbagai pihak, khusunya masyarakat dan LSM untuk melakukan pelestarian lingkungan. Karena kesediaan mendengar, kesediaan berkomunikasi, bertukar pikiran dan belajar adalah salah satu bentuk penyelenggaran pemerintah yang baik.

Karena itu, pemerintah daerah sudah seharusnya mengajak semua pihak untuk berdiskusi dan meninjau berbagai ketentuan dan kebijakan yang ada, serta bersama-sama merumuskan berbagai kebijakan dan ketentuan dampak lingkungan, khususnya peraturan perundang-undangan, dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup secara lebih baik. Begitu pula, berbagai pihak perlu diajak untuk bersama-sama menyelesaikan sebuah permasalahan dan kasus bencana banjir (lingkungan) yang ada sesuai dengan peran, tugas dan tanggung jawab masing-masing. Semoga.

* Penulis adalah Peneliti Sosial, Alumnus Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

6 November 2008

Dari Raja Jawa ke RI 1

Dimuat di Koran Kompas Jogja

Selasa, 4 November 2008

Oleh : Syahrul Kirom*

Forum

Suhu perpolitikan kian memanas. Hal ini, antara lain, disebabkan raja Jawa dari Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X, siap maju dalam pemilihan calon presiden 2009. Fenomena itu tentu membuat persaingan antarcalon presiden semakin menghangat.

Panggilan Ibu Pertiwi bagi HB X menjadi pemimpin kini sangat diharapkan oleh masyarakat Indonesia. Selama kepemimpinan Orde Lama, Orde Baru, hingga pasca-Reformasi yang berjalan sekitar 10 tahun tidak ada satu perubahan signifikan untuk membawa perbaikan bangsa Indonesia terutama guna mengentaskan kemiskinan, kesejahteraan, kemakmuran, keadilan hukum, dan demokratisasi.

Keputusan Sultan maju menjadi calon presiden (capres) tentu saja bukan sebuah sikap yang ujug-ujug (tiba-tiba) muncul. Keputusan itu sudah melewati dan melalui proses perenungan secara kritis dan filosofis dengan kontemplasi yang sangat lama, bahkan semadi panjang dan berulang guna merumuskan kata hati nuraninya untuk menjadi pemimpin bangsa Indonesia dan merebut kedaulatan rakyat Indonesia dari para pemimpin wakil rakyat yang kurang bertanggung jawab atas nasib rakyat seluruh Indonesia.

Karena itu, sudah selayaknya dan seharusnya HB X harus mencalonkan diri menjadi capres. Rakyat dan masyarakat Indonesia sudah tidak tahan mendengar dan mengalami penderitaan ekonomi, peperangan, konflik, kekerasan atas nama agama dan gizi buruk, hingga korupsi yang merajalela. Hal itulah yang menyebabkan HB X harus turut andil membawa perubahan bagi negara dan bangsa Indonesia.

Di samping itu, majunya Sultan menjadi capres mendapat banyak dukungan dari elemen masyarakat seperti Gerakan Kawula Mataram Manunggal (GKMM), Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) DI Yogyakarta, Manunggaling Pasederekan Sleman, Kelompok Perajin, Masyarakat Seniman Tradisional, Paguyuban 21, Komunitas Pendidikan, Forum Petani dan Paguyuban Pedagang, termasuk kelompok masyarakat non-golongan yang berasal dari Demak, Grobogan, Magelang, Purworejo, Wonogiri, dan Malang, Jawa Timur.

Sultan merupakan salah seorang "satrio piningit" satu-satunya yang bisa diharapkan orang-orang Jawa dan bahkan banyak masyarakat dari kerajaan lainnya untuk memegang tampuk kekuasaan dalam Pemilu 2009. Satrio piningit, dalam kisah Jawa ini, merupakan pemimpin yang bisa membawa perubahan.

Dalam diskusi di salah satu stasiun televisi, ketika diwawancarai, Sultan maju ke pentas politik nasional atas kehendak rakyat dan karena hati nuraninya untuk memimpin kerajaan Indonesia. Sultan maju menjadi capres bukan karena faktor memperebutkan kekuasaan. Sultan ingin mengabdikan diri kepada masyarakat serta menjalankan fungsi sebagai manusia biasa sebagai pemimpin yang bisa mengayomi, melindungi, bahkan memberikan ketenteraman rakyat.

Majunya Sultan menjadi capres sangat menarik ditelaah secara kritis. Pasalnya, banyak tokoh reformasi yang sangat berambisi merebut kekuasaaan untuk memperoleh keuntungan pribadi dan kelompoknya serta berkoar-koar dengan lantang mencalonkan diri sebagai capres tanpa memahami kapasitasnya. Namun, Sultan begitu tenang dan lebih banyak melakukan semadi dan diam seolah melihat keadaan yang sedang dialami, yaitu penderitaan rakyat Indonesia.

Masih proses
Dalam konteks perpolitikan di Indonesia, banyak pakar politik mengatakan, ketika HB X maju menjadi capres 2009, pertanyaan yang mengemuka adalah apa kendaraan politik yang digunakan? Apakah Sultan sudah mengalkulasi jumlah pemilih? Apakah HB X bisa memperoleh suara 20 persen dalam pemilu legislatif?

Dalam perhitungan dan peta politik, sementara kalangan menilai HB X kurang memiliki dukungan yang kuat dari massa lainnya untuk menjadi capres. Akan tetapi, itu semua masih menjadi sebuah proses. Pemilu masih sekitar tujuh bulan, waktu yang masih panjang untuk Sultan membangun koalisi dan komunikasi lainnya dengan partai-partai kecil. Tentu kita berharap partai-partai kecil seperti PAN, PKS, PKB, PBB, PKNU bisa berkoalisi mencalonkan Sultan menjadi presiden. Sebab, inilah pemimpin yang layak bagi rakyat Indonesia.

Perlu kita sadari bahwa politik dalam menentukan siapa yang pasti dan bakal menjadi calon presiden tidak bisa ditentukan dengan hitung-hitungan angka dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Karena bagaimanapun ketika Ngarsa Dalem Sultan HB X maju tentu banyak dukungan dan arahan yang jelas serta kemungkinan peluang- peluang untuk mendukungnya sangat besar.

Sementara itu, meminjam bahasa Agus Wibowo, bahwa Sultan adalah seorang yang memiliki karisma pribadi yang penuh dengan keteladanan. Karisma dan kewibawaan dalam memimpin bisa dilihat dari kemampuannya menafsirkan filosofi Takhta (kekuasaan) hanyalah untuk rakyat dan mengabdi untuk bangsa dan negara Indonesia tercinta ini.

Raja Keraton Kasultanan Yogyakarta tersebut, oleh sebagian kalangan, dianggap mumpuni untuk melanjutkan estafet kepemimpinan nasional. Satu hal yang pasti, rakyat menghendaki figur pemimpin yang terbaik, yang bisa membawa kehidupan bangsa ini menjadi semakin baik ke depan. Karena itu, majunya Sultan juga harus mendapat dukungan seluruh masyarakat Indonesia.

Sultan merupakan tokoh yang ideal untuk menjadi pemimpin karena ia mempunyai karakter yang sesuai dengan keadaan bangsa kita yang sangat plural, demokratis, dan multireligius. Sultan memiliki kepemimpinan dan keteladanan serta keberpihakan kepada rakyat Indonesia, tanpa ada tendensi apa pun dalam mencalonkan menjadi presiden pada Pemilu 2009 untuk merebut kekuasaan, bahkan untuk menjual aset-aset negara. Sultan adalah raja Jawa, sosok linuwih dan penuh pengabdian yang diberi mandat dari raja leluhurnya untuk menjadi pemimpin masa depan yang mampu membawa kemajuan dan perubahan bagi Republik Indonesia. Semoga.

* Syahrul Kirom Alumnus Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

5 November 2008

Empat Tahun SBY

Dilansir dari Koran Jurnas

Jakarta | Sabtu, 01 November 2008

Surat Pembaca

Empat tahun sudah kini perjalanan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam memimpin bangsa Indonesia sudah dilaluinya dari 20 Oktober 2004-20 Oktober 2008. Banyak hal yang telah diupayakan dan dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memperbaiki kondisi bangsa Indonesia mulai dari aspek bidang eknomi, sosial, politik, hukum dan agama. Dalam kepemimpinannya SBY banyak sekali menunjukkan perubahan ke arah titik terang untuk masyarakat Indonesia tercinta ini.

Pertama, dalam bidang ekonomi, indikator-indikator makro ekonomi terus menunjukkan perbaikan. Tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 2007 mencapai 6,3 persen, tertinggi dalam tujuh tahun terakhir. Pada tahun 2001 tingkat pertumbuhan 3,6 persen, lalu 4,5 persen pada 2002, 4,8 persen (2003), 5 persen (2004), 5,7 persen (2005), dan 5,5 persen (2006).

Tingkat pengangguran terbuka bisa ditekan hingga 8,5 persen pada 2008 berdasar survei Badan Pusat Statistik semester pertama tahun ini. Bahkan angka tingkat kemiskinan bisa dikatakan semakin menurun drastis. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Maret 2008 ini akan kemiskinan sangat menurun sekali sekitar 34, 96 juta orang miskin. Karena itu, kita harus berbangga diri atas kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono

Kedua, dalam bidang sosial, misalnya mengenai bencana alam, gempa bumi dan banjir serta tanah longsor sudah banyak diselesaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Melainkan juga, masalah sosial lainnya seperti gizi buruk, kasus kekerasan dan tawuran antar mahasiswa, penjarahan, pencurian, perampokan dan pembunuhan sudah banyak diselesaikan secara hukum dengan adil dan demokrasi.

Di sisi lain, di bidang politik, kemajuan telah banyak diraih. Dalam perkembangan perpolitikan di Indonesia sistem demokrasi hampir berjalan di beberapa daerah wilayah di Indonesia. Bahkan Indonesia merupakan negara paling demokrasi ketiga dunia setelah Amerika Serikat, dan India.

Ketiga, di bidang hukum, pemberantasan terhadap praktik korupsi yang sangat merugikan uang negara dan rakyat Indonesia pun membawa ke arah kemajuan yang sangat pesat. Di era kepemimpinan SBY banyak para pelaku korupsi yang di tangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai dari anggota DPR RI, Kejaksaan Tinggi Negara, DPRD, Gubernur hingga pada Bupati.

Keempat, di bidang agama, upaya yang dilakukan SBY untuk merajut perdamaiaan dan toleransi antarumat beragama pun cukup berhasil, terutama dalam memberikan perdamaiaan misalnya antara Jemaat Ahmadiyah dan masyarakat muslim lainya. Praktik pluralisme, sikap inklusivisme terus di contohkan oleh pemerintahan SBY sebagai upaya untuk mewujudkan perdamaiaan antar umat beragama secara nasional.

Karena itu, semua keberhasilan SBY perlu diapreasiasi. Sebab kinerja SBY telah memberikan sumbangsih yang berarti bagi rakyat Indonesia dan seluruh peradaban bangsa Indonesia. Kerja keras yang dilakukan pemerintahan SBY bersama kabinetnya adalah yang terbaik. Kita semua juga harus menghargai dan menghormati hasil kerja keras yang telah dilakukan pemerintahan SBY.

Syahrul Kirom
Sleman, Yogyakarta

3 November 2008

Membangun Akses Partisipasi bagi Rakyat

Telah Dimuat di Harian Bali Post
Senin, 3 November 2008

OPINI

Oleh : Syahrul Kirom*

Dalam karya masterpiece Aristoteles 'The Nichomachean Ethic' (1998) menguraikan secara komprehensif bagaimana manusia harus menjalankan kewajiban prinsip-prinsip dan ajaran etika politik dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Politik sendiri secara etis merupakan suatu ilmu dan seni untuk mencapai kekuasaan demi kepentingan seluruh umat manusia. Bukan atas nama kepentingan individu, kelompok maupun partai politik (parpol).

Pertanyaannya secara filosofis yang perlu diajukan kenapa makna politik mengalami pergeseran paradigma yang melenceng begitu jauh dari maksud dan tujuan politik? Sehingga kita bisa melihat bagaimana kondisi perpolitikan di Indonesia menjelang Pemilu 2009 semakin carut-marut dan tidak mampu membawa suatu perubahan dan kemajuan bangsa Indonesia. Hal itu disebabkan para elite politik tidak mampu dan mengerti secara esensial apa itu tujuan politik secara komprehensif?

Pemahaman yang tidak utuh tentang tujuan politik dan dibentuknya partai politik akan menyebabkan kehancuran peradaban bangsa Indonesia. Adanya partai politik dibentuk adalah sebagai upaya untuk mencari wakil rakyat yang duduk di DPR maupun DPRD sehingga aspirasi seluruh rakyat Indonesia bisa tersampaikan, bukan aspirasi kelompok partai politik saja. Itu yang perlu diperhatikan kepada elite politik.

Sebab, fenomena untuk mementingkan partai politiknya sendiri nampak jelas dalam sikap dan perilaku elite politik dalam menentukan kebijakan pemerintah pusat maupun daerah. Sehingga pada akhirnya, telikungan antarpartai politik untuk menjatuhkan akan saling terjadi. Pada akhirnya, persoalan-persoalan kebangsaan semakin tidak dapat diselesaikan. Karena, elite politik hanya sibuk mengurus dan mementingkan parpolnya.

Karena itu, etika politik perlu dijalankan dalam roda demokrasi menjelang Pemilu 2009, sebagai upaya mewujudkan pemerintahan yang adil, demokratis dan beradab. Dengan begitu, elite politik harus belajar dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika politik serta prinsip-prinsipnya.

Menurut Franz Magnis Suseno, satu prinsip dasar yang diandaikan ialah bahwa manusia-apriori dan prima facie --harus bersikap baik dan tidak buruk terhadap siapa saja dan apa saja yang ada, jadi bahwa terhadap kita apriori mengambil sikap yang mendukung, membela, menyetujui, memajukan, melindungi, memberi ruang perkembangan daripada merusak, menyiksa, mencekik dan membatasi hak rakyat Indonesia.

Prinsip-prinsip itu perlu diimplementasikan oleh elite politik dan para politisi sekarang ini sebagai wujud dari pengejawantahan dalam prinsip kesejahteraan umum -- yang mempunyai relevansi politik tinggi -- yang mempunyai tujuan bahwa semua tindakan dan kebijaksanaan para politisi, elite politik dan pejabat birokrasi, harus demi keuntungan yang sebesar-besarnya dari orang sebanyak-sebanyaknya, asal tidak melanggar hak dan keadilan.

Pada dasarnya, prinsip keadilan adalah bagian etika politik, yang mengatakan bahwa kita wajib memperlakukan semua orang dengan adil. Artinya, menghormati hak-hak masyarakat Indonesia dan memberikan perlakuan yang sama dalam situasi yang sama. Prinsip keadilan itu adalah sikap para elite politik untuk bisa menghormati siapa pun bahkan terhadap dirinya sendiri.

Dengan demikian, prinsip itu juga berarti telah menuntut tanggung jawab manusia terhadap dirinya sendiri demi tujuan tertentu, bahkan demi tujuan yang baik dan ia jangan pernah membiarkan dirinya dimanfaatkan oleh orang lain sebagai alat saja, dengan diperas, diperkosa atau diperbudak oleh siapa pun untuk bisa memperoleh kekuasaan dengan jalan yang kotor.

Keutamaan Moral
Keutamaan-keutamaan moral dalam politik perlu dijunjung tinggi dalam perpolitikan di Indonesia dengan selalu mengedepankan keutamaan moral seperti kejujuran, keadilan, kesejahteraan dan pengabdian terhadap rakyat. Hal ini sesungguhnya akan membangun perilaku para politisi dan elite politik untuk mengendalikan terjadinya perilaku korupsi yang saat ini marak dilakukan oleh wakil rakyat.

Maka dari itu, etika politik telah memberikan landasan yang positif sebagai rambu-rambu untuk tidak melakukan perbuatan buruk. Ketika kita melakukan yang baik, jelas itu akan berimplikasi yang baik pula pada diri sendiri. Memiliki pengendalian diri untuk tidak korupsi, dengan mengendalikan diri merupakan nilai-nilai dari etika politik. Menjadi pemberani dengan melakukan tindakan-tindakan yang berani dalam pemberantasan korupsi adalah suatu kebaikan.

Di sisi lain, hal itu juga diperkuat dengan apa yang terjadi dalam negara Indonesia. Penegak hukum menjadikan warga negara baik dengan cara mengajarkan secara berulang-ulang kebiasaan baik dengan selalu menegakkan hukum seadil-adilnya. Ini merupakan tujuan dari penegak hukum. Jika ia tidak berhasil melakukan itu, penegakan hukum dianggap gagal. Di sinilah sebuah undang-undang yang baik dibedakan dari yang buruk.

Etika politik pada dasarnya mengajarkan pada sikap-sikap politik yang lebih etis, dengan selalu mengedepankan nilai-nilai moralitas, kejujuran, keadilan dan kesejehateraan. Sikap etis dengan sangat tegas melarang adanya memanipulasi, mengibuli dan menyalahgunakan kekuasaan. Hal itu merupakan salah satu pelanggaran dalam esensi etika politik.

Kebaikan dalam berpolitik harus diwujudkan dalam setiap partai politik dan bahkan dalam menentukan setiap kebijakan pemerintah. Sementara itu, koalisi antar-parpol harus juga dijadikan langkah awal dalam merajut nilai-nilai etis dalam politik. Tujuannya satu, bahwa koalisi untuk mencapai kekuasaan secara bersama harus dilandasi untuk membangun dan memperbaiki kondisi kebangsaan yang saat ini sedang dilanda berbagai musibah dan krisis keuangan global. Karena itu, kesejahteraan rakyat Indonesia harus menjadi prioritas paling utama.

Dengan demikian, dalam konteks perpolitikan di Indonesia menjelang Pemilu 2009, persoalan yang baik harus dikedepankan, baik dalam arti mampu membawa politik ke dalam sistem demokrasi yang lebih adil dan bermartabat. Sehingga, tujuan politik adalah yang baik bagi manusia, baik bagi seluruh bangsa Indonesia. Perpolitikan di Indonesia akan lebih maju, manakala elite politik mampu menjalankan peran dan fungsi sebagai abdi negara dalam melakukan kebijakan-kebijakan demi kepentingan rakyat Indonesia.

* Penulis, peneliti tinggal di Yogyakarta

27 September 2008

Membumikan Teologi Zakat

OPINI
Dimuat Harian Bisnis Indonesia
Sabtu, 27 September 2008

Oleh : Syahrul Kirom*

Alumnus Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta

Pada pengujung Ramadan 1429 H, seluruh umat Islam yang memiliki kemampuan secara finansial, harta dan kekayaan yang melimpah dianjurkan untuk menyempurnakan ibadah dengan menunaikan zakat fitrah dan zakat mal kepada kaum fakir miskin sebagai pengejawantahan dalam membersihkan harta yang kita miliki dari barang subhat.

Zakat menurut bahasa (lughatberarti: tumbuh, berkembang, kesuburan atau bertambah, dan dapat juga berarti sebagai upaya untuk membersihkan atau menyucikan diri manusia (QS. At-Taubah: 10).

Berdasarkan hukum Islam (istilah syara'), zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu (Al Mawardi dalam kitab Al Hawiy).

Di dalam wacana saat ini, zakat lebih dimaknai umat Islam sebagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan dan pengangguran. Berdasarkan data dari BPS Maret 2008 ini kemiskinan mencapai 34, 96 juta orang miskin. Kemiskinan dalam konteks zakat sering dihubungkan untuk mencapai kesejahteraan kaum fakir miskin.

Memang benar, tujuan dari zakat adalah sebagai upaya untuk mengangkat harkat dan martabat dari ka-um fakir miskin. Yakni sebagai upaya untuk memperbaiki nasib kaum duafa. Hal itu sudah dijelaskan dalam Al-Qur'an yang berbunyi: "Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang fakir, orang miskin, pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana" (QS. At Taubah : 9: 60).

Meski demikian, esensi daripada zakat bukanlah yang berkutat pada wilayah sosial saja dengan memberikan zakat fitrah dan zakat mal dalam bentuk uang beras ataupun pakaian. Akan tetapi, apakah selama ini umat Islam yang telah memberikan zakat fitrah dan zakat mal sudah mampu untuk memperbaiki perilaku dan sikap dari umat Islam?

Ritualitas zakat kali ini terasa hampa dan tanpa makna, banyak elite politik dan pengusaha yang telah melakukan zakat fitrah dan zakat mal. Namun, setelah ibadah puasa selesai perilaku para elite politik tetap saja buruk. Kita lihat saja, maraknya perilaku korupsi adalah konsekuensi logis dari mereka yang telah berzakat, tetapi tidak memahami sejatinya apa makna zakat secara genuine.

Oleh karena itu, umat Islam yang memberikan zakat fitrah maupun zakat mal, sudah seharusnya memahami makna dari tujuan zakat. Dengan mengerti sebuah esensi dari zakat, berarti mereka yang memberikan zakat tidak akan sia-sia. Berpijak dari situlah, niat umat Islam untuk memberikan zakat hanya untuk menjalankan ibadah dan rida dari Allah SWT.

Persoalannya, kenapa memberikan zakat harus dijalankan sebagai bentuk ibadah? Hal itu untuk menegaskan kepada umat Islam bahwa terkadang mereka yang berzakat mempunyai tujuan tertentu, dengan sifat takabur, pamer harta, ingin dihormati atau untuk mencari popularitas bagi caleg dan khususnya elite politik menjelang Pemilu 2009.

Oleh karena itu, revitalisasi makna dari tujuan zakat harus ditegaskan lagi. Sebab apa, umat Islam pada era modern dalam memberikan zakat mempunyai tujuan politis. Sudah barangkali niat mereka untuk berzakat akan menjadi kurang sempurna. Karena itu, niatan yang buruk dalam memberikan zakat harus direduksi.

Esensi zakat

Ada beberapa faktor teologis yang memengaruhi kenapa zakat itu harus ditunaikan oleh umat Islam dari usahanya yang baik-baik itu. Pertama, umat Islam harus menyadari dengan sepenuh hati bahwa sesungguhnya segala kekayaan alam yang ada di langit dan di bumi adalah milik Tuhan (QS.3:180).

Itu yang perlu diperhatikan oleh umat Islam bahwa rezeki yang kita cari di dunia ini adalah milik Tuhan.

Oleh karena itu, umat Islam harus belajar ikhlas untuk mengorbankan sedikit harta dan kekayaan yang dimiliki untuk diberikan kepada kaum fakir miskin. Dengan adanya zakat ini, mental umat Islam dalam mengikhlaskan dari sebagian kecil hasil kerjanya itu diuji oleh Allah SWT.

Kedua, perlu disadari juga bahwa sesungguhnya umat Islam yang berasal dan akan kembali kepada Yang Maha Tunggal. Dalam konteks ini zakat lebih ditekankan sebagai upaya untuk menghilangkan adanya penumpukan harta secara berlebihan pada individu ataupun kelompok tertentu, sementara yang lainnya hidup dalam kemiskinan yang akut.

Harta benda dan kekayaan yang umat Islam miliki sekarang ini adalah suatu ujian dari Allah. Karena itu, gunakanlah kekayaanmu untuk kebaikan umat manusia dan untuk dijalan Allah. Harta benda dan kekayaan tidaklah akan dibawa mati oleh umat Islam.

Akan tetapi, nilai-nilai amal ibadah, sedekah, dan anak yang suka mendoakan orang tua inilah yang akan memberikan manfaat di akhirat kelak. Karena itu, janganlah umat Islam terlalu mendewakan harta benda dan kekayaan yang dimilikinya. Menolong mereka yang menderita kemiskinan dan kelaparan adalah bagian dari ibadah.

Dalam buku Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (2003) dinyatakan bahwa sudah semestinya keberadaan zakat itu harus digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umat Islam. Karena itu, zakat kali ini harus dijadikan sarana paling utama sebagai upaya kesejahteraan terhadap rakyat miskin yang ditimpa kelaparan dan kekurangan dalam menjalani hidupnya dijalan Allah SWT. Dengan adanya zakat ini diharapkan bisa menjadi pintu masuk untuk mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran yang kian meningkat.

Oleh karena itu, kemiskinan juga bisa dikatakan sebagai bencana yang bisa mengancam nyawa manusia. Hal itu terbukti atas tragedi pembagian zakat di Pasuruan beberapa waktu lalu. Karena itu, kemiskinan dan pengangguran di Indonesia ini harus dikurangi dengan memberikan zakat.

Dengan demikian, sudah semestinya apabila zakat yang merupakan kewajiban umat Islam ini harus bisa digunakan secara penuh untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh umat manusia. Melalui zakat diharapkan dapat memberikan manfaat untuk kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Semoga.

Memberantas Korupsi Kaum Berdasi

OPINI

Oleh : Syahrul Kirom *

Dimuat Harian Umum Suara Karya
Rabu, 27 Agustus 2008

Dari orde lama hingga orde baru bahkan pascareformasi, persoalan korupsi semakin mengakar luas di tubuh parlemen dan pejabat negara yang seolah sulit dituntaskan. Pejabat negara yang sudah seharusnya menjadi teladan bagi rakyat Indonesia malah justru sebaliknya mereka melakukan perbuatan yang sangat memalukan bangsa Indonesia dengan mengorupsi uang negara, seperti kasus dugaan korupsi yang menimpa, anggota DPR RI, Al Amin Nur Nasution dan Bulyan Royan.

Akibatnya, kepercayaan rakyat kepada pejabat negara dan pemerintah akan semakin menipis. Sehingga, membuat masyarakat menjadi apatis dan masa bodoh serta masyarakat tidak akan peduli dengan Pemilu 2009. Ujung-ujungnya, elite politik dalam meraih kekuasaan hanya untuk melakukan tindakan korupsi dan mementingkan kelompok partainya, bukan untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Sejarawan Onghokham menyebutkan, korupsi mulai dikenal sebagai suatu penyimpangan ketika birokrasi atau suatu sistem melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Dalam konsep kekuasaan tradisional tidak dikenal model pemisahan keuangan tersebut.

Konsepsi mengenai korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara kepentingan keuangan pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan jabatannya. Prinsip ini muncul di barat setelah adanya revolusi Perancis dan di negara-negara Anglo-Sakson, seperti Inggris dan Amerika Serikat, timbul pada permulaan abad ke-19. Sejak itu penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi, khususnya dalam soal keuangan, dianggap sebagai tindak korupsi.

Dalam konteks ini korupsi memiliki wajah yang banyak. Korupsi bisa saja meliputi uang, janji-janji pemerintah, jabatan, waktu, kontrak kerja, memberikan imbalan, penyogokan, penyimpangan kekuasaan, perusahaan lewat manipulasi tender dan bahkan manipulasi lainnya yang menciptakan sistem "pembusukan" wajah peradaban bangsa Indonesia. Korupsi sudah mewabah "bak virus flu burung" hampir ada di semua kehidupan umat manusia mulai dari aspek politik, ekonomi, sosial hingga agama. Seolah-olah korupsi telah menjadi sistem budaya yang mengakar secara masif dan sulit dihilangkan di ubun-ubun pejabat negara.

Mc Mullan dalam A Theory of Corruption (1961) mendefinisikan bahwa korupsi adalah tingkah laku para pejabat negara yang menyimpang dari norma-norma umum dalam pelayanan masyarakat demi mencapai satu bentuk keuntungan untuk memperkaya diri sendiri dan kepentingan partai politik.

Sejak revolusi industri dan modernisasi berkembang di negara kita, korupsi semakin menunjukkan gigi taringnya. Ada tiga faktor yang menyebabkan itu semua. Pertama, manusia di era modern ini telah kehilangan intelektualisme dan daya nalar kritis-filosofis dalam membedakan mana kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Mereka juga tidak bisa membedakan tanggung jawab sosial dan peran individu sebagai penguasa.

Kedua, modernisasi juga menciptakan terjadinya korupsi, karena ia menciptakan sumber kekayaan dan kekuasaan baru. Korupsi dalam konteks ini adalah pada ekses peningkatan peran politik kelompok baru yang sarat dengan sumber-sumber korupsi serta upaya asimilasi kelompok baru ke dalam sistem politik dengan cara-cara yang menyimpang.

Di Afrika, korupsi dilakukan secara bersamaan oleh pemegang kekuasaan dan pejabat pengawasan sumber-sumber devisa negara, yang memungkinkan mereka berkolaborasi secara mencolok melakukan penyelewengan kekuasaan di awal proses modernisasi. Para jutawan baru di negara-negara Eropa berusaha menyuap para penguasa untuk diberi kesempatan menduduki posisi sebagai anggota senat atau parlemen dengan menjelmakan diri sebagai aktor yang terkait ketat yang merupakan sistem politik yang cenderung korup.

Masuknya salah satu partai politik di Indonesia dalam struktur birokrasi pemerintahan menambah "pembusukan" dan kehancuran bangsa Indonesia. Korupsi telah berjalan dalam setiap sistem pelembagaan partai politik. Dengan begitu, peluang terbuka lebar sekali untuk melakukan akses tindak korupsi.

Dalam masyarakat yang demikian, politik telah menjelma menjadi "berhala" sarana ampuh untuk memupuk kekayaan dan harta, di mana semua ambisi dan talenta yang tak mungkin bisa diperoleh pengusaha lewat jalur bisnis dapat dengan mudah dikumpulkan lewat aktivitas politik.

Sementara itu, saya hanya bisa memberikan kesadaran pendidikan politik kepada masyarakat. Sesungguhnya berdirinya partai politik di Indonesia, apalagi menjelang Pemilu 2009, menciptakan satu kekuatan legitimasi untuk melakukan korupsi. Hal ini terbukti pada Pemilu 2004 yang ternyata, tidak mampu mengakomodasi kepentingan rakyat dan menyelesaikan kompleksitas bangsa Indonesia. Lalu apa gunanya partai politik dan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali? Itu semua hanya lips service belaka untuk menciptakan sistem pemerintahan yang korup.

Ketiga, modernisasi telah mengubah sistem hukum. Peragaman hukum memperbesar kemungkinan korupsi. Perlu disadari bahwa hukum akan hancur berantakan bila tidak dibarengi dengan pengawasan efektif dan sejumlah kepentingan terbuka bagi segelintir orang. Lebih parahnya, jika para hakim tidak memiliki integritas, kejujuran, dan keberanian tinggi dalam menegakkan hukum tindak pidana korupsi yang melibatkan elite pejabat pemerintahan. Semua itu nonsens belaka.

Keempat, anehnya, di zaman saat ini korupsi telah "diamini" oleh masyarakat dan mendapatkan respons secara wajar saja. Sebab, penyimpangan tingkah laku telah lazim diterima karena tindakan korupsi merupakan suatu kebutuhan primer untuk memenuhi perekonomian keluarga.

Kalau sudah demikian, ketika korupsi telah membudaya dari kalangan bawah hingga atas, baik itu pada tingkatan birokrasi di pemerintahan pusat maupun daerah seolah telah menjadi pasangan suami istri yang setia untuk selalu menerima suap-menyuap demi kepentingan individu. Lalu bagaimana kita menuntaskan korupsi pejabat negara, dengan jalan moral dan agama, eksekusi mati ataukah lewat pendidikan antikorupsi? Ternyata semua itu hanya sia-sia saja dan tidak menyelesaikan masalah.

Kita hanya bisa berharap pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terutama Ketua KPK Antasari Azhar dan Ketua Kejaksaan Agung Hendarman Supandji untuk memberantas korupsi secara komprehensif yang dilakukan "kaum berdasi" yang terasa semakin akut. ***

*Penulis adalah peneliti pada Social and Philosophical
Studies Yogyakarta

25 September 2008

Netralitas Birokrasi Dalam Pemilu 2009

Dimuat di Bali Post, 23 September 2008
OPINI
Oleh Syahrul Kirom

Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 mendatang, iklim politik semakin hangat dan menegangkan. Mesin-mesin politik bergerak secara progresif untuk menggolkan hasrat politik kandidat masing-masing. Menyoal mesin politik, posisi birokrasi sangat rawan terpolitisasi oleh calon presiden dan wakil presiden yang akan maju nantinya.

Birokrasi merupakan suatu instrumen negara, pelaksana kebijakan pemerintah pusat maupun daerah dan abdi masyarakat yang seharusnya bekerja profesional, netral, nondiskriminatif dan bekerja untuk kepentingan nasional. Dengan memberikan pelayanan publik dalam rangka memajukan kesejahteraan, menciptakan keadilan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.

Meski demikian, birokrasi akan menjadi suatu trouble maker dan penghambat bagi perubahan serta penguat inovasi kemajuan masyarakat. Jika birokrasi terus 'berpolitik' atau dikooptasi untuk dijadikan instrumen kekuasaan bagi para politisi, peranannya akan semakin tereduksi dari tujuan semula dibentuknya birokrasi.

Idealnya, para birokrat pemerintahan pusat dan daerah, menurut Gladden, dalam suatu negara demokrasi, civil servants devote their to the service of community (mengabdikan hidupnya untuk melayani masyarakat). Karena itu, dalam peranannya birokrasi untuk menentukan kebijakan tanpa ada tendensi apa pun.

Menurut Syafuan Rozi dalam bukunya 'Zaman Bergerak, Birokrasi Dirombak: Potret Birokrasi dan Politik di Indonesia' (2007), sistem zaman prakolonial, orde lama, orde baru bahkan pada masa reformasi mengalami pembusukan politik yang korup. Dengan satu titik tekan bahwa selama ini politisasi birokrasi menjadi problem dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Zaman terus bergerak. Dulu di masa kolonial Belanda di negeri kita ada gejala negara pegawai (beambtenstaat). Saat itu pegawai yang sering dipanggil tuan Ambtenaar atau pengreh praja cenderung menjadi komprador, mematai-matai masyarakat dan menjadi kaki tangan kepentingan politik asing di negeri sendiri.

Pada masa orde baru sampai menjelang masa transisi, tahun 1998, kondisi di Indonesia tampaknya mengalami penyakit bureaumania yaitu sebuah penyakit yang disebabkan adanya sosok birokrasi yang bersifat infinitas, maksudnya suatu institusi melakukan pengaturan yang memiliki ketidakerbatasan wewenang dan ruang gerak di suatu negara.

Dalam konteks pemerintahan pusat dan daerah, birokasi cenderung dijadikan alat kepentingan status quo oleh pemerintah dengan tujuan untuk mempertahankan satu sistem kekuasaan yang monolitik dan otoriter. Selain itu, muncul kekhawatiran penyalahgunaan dana APBN dan APBD.

Karena itu, untuk menjaga netralitas birokrasi perlu upaya-upaya strategis dan serius. Gerakan ini berupaya mensinergikan apa yang dilakukan oleh beberapa pihak atau kelompok dalam civil society yang menginginkan terbentuknya keadaan relatif tidak terjadinya pemihakan politik oleh birokrasi terhadap partai politik mana pun.

Untuk melakukan gerakan netralitasi birokrasi ini masyarakat harus keluar dari keanggotaan institusi kooptasi birokrasi dengan melepaskan baju seragam Korpri dari parpolnya masing-masing. Selain itu, perombakan birokrasi di setiap lembaga eksekutif, lembaga ilmiah nondepartemen, departemen negara dan bahkan parlemen pemerintahan harus dilakukan dan tidak boleh ditawar lagi. Ini sebuah keniscyaan untuk menciptakan good governance dari unsur korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Buruknya sistem birokrasi di Indonesia menuntut kita harus melakukan suatu reformasi total pada semua aspek kehidupan politik yang lebih demokratis. Hal ini guna mendorong terwujudnya aspek kedaulatan rakyat, kebebasan, persamaan dan keadilan.

Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing (ekspatriat) yang berada di Asia termasuk Indonesia. Mereka menilai birokrasi Indonesia terburuk. Hal ini disebabkan banyak para pejabat tinggi pemerintahan yang memanfaatkan posisi untuk memperkaya diri sendiri.


Distorsi Fungsi

Berdasarkan pengalaman dalam pilkada di beberapa daerah, masih banyak oknum yang duduk dalam sistem birokrasi termasuk pegawai negeri sipil (PNS) bermain politik. Karena itu, mereka sangat mungkin diiming-imingi jabatan dan kekuasaan. Maka dari itu, kita harus bisa menjaga netralitas dan profesionalitas birokrasi.

Sebab, politisasi birokrasi telah menimbulkan gejala distorsi fungsi birokrasi. Seperti, terjadinya diskriminasi dalam pelayanan publik terhadap kelompok yang berbeda afiliasi politik, praktik ekonomi biaya tinggi untuk pendanaan orsospol tertentu, politisasi bahasa untuk status quo kekuasaan, mobilisasi politik dan bahkan kolusi, nepotisme pribadi.

Karena itu, revolusi adalah satu kata pasti untuk membongkar aktor dan institusi penyebab akar 'pembusukan politik' yang ada dengan melakukan perubahan struktur dan kultur dengan evolusi yang berlangsung secara bertahap demi menciptakan stabilitas politik yang bebas dari praktik politisasi birokrasi.

Birokrasi kita diharapkan bisa menjadi birokrasi yang otentik, yakni mempunyai kapasitas memberikan jalan keluar dan penyelesaian masalah nasional dan lokal. Birokrasi terbaik yang bisa mengantarkan Indonesia menjadi negeri yang makmur berkecukupan, ada keteraturan dan kejelasan dalam standar operasional, memiliki kepastian soal kualitas pelayanan, memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi warga negara, bukan janji-janji belaka.

Filsuf Jerman Friedrich Hegel menilai bahwa birokrasi seharusnya melayani kepentingan umum, karena dalam kenyataannya kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah seringkali hanya menguntungkan sekelompok partai atau orang dalam masyarakat.

Kita hanya bisa berharap pada pejabat negara, DPR dan anggota DPRD yang duduk dalam sistem birokrasi daerah, agar bisa menjadi kekuatan untuk mendorong perubahan atau perbaikan birokrasi lokal demi menjaga netralitas birokrasi dalam Pemilu 2009 mendatang. Sehingga, bisa mengantarkan bangsa Indonesia ke arah kemajuan yang lebih demokratis dan bebas dari unsur KKN.

Penulis, peneliti pada Social and Philosophical Studies Yogyakarta

23 September 2008

Instruktur TNI Kok Jadi Kolumnis

Kepada :
Redaksi Harian Umum SUARA MERDEKA
dan juga SUARA KARYA
di tempat

URGEN: Artikel Ganda, Mohon Penulis Ini Di-Blacklist

URGEN :Ada Artikel Ganda, Mohon Penulis ini di-BLACKLIST

Salam hormat,

Melalui surat email ini, pada pagi hari ini kami selaku kolumnis sekaligus Instruktur Diklat di Lingkungan TNI-AD serta pembaca setia HU Suara Merdeka sekaligus HU Suara Karya memohon dengan sangat agar penulis di bawah ini dimasukkan dalam penulis daftar hitam (BLACKLIST), sebab mengirimkan satu artikel pada dua media berbeda dalam waktu bersamaan. Dan penulis ini terbilang nakal, sebab kasus ini sudah kerap ia lakukan.
Penulis yang kami maksudkan tersebut bernama : Saudara Syahrul Kirom (Yogyakarta)

Tulisan milik penulis itu berjudul : "Merefleksikan Makna Nuzulul Quran", hari ini, Rabu, 17 September 2008; seperti diketahui, tulisan tersebut dimuat bersamaan di HU Suara Karya dan HU Suara Merdeka. Aplagi dengan judul yang sama, substansi sama dan penulis juga sama.

Sebagai informasi tambahan, pihak redaksi (khususnya Pemimpin Redaksi plus Redaktur Opini dan Sekretaris Redaksi) kami mohon pula "berhati-hati" terhadappara penulis Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta dan lembaga lain yang bernaung di bawahnya; sebab merupakan organisasi para penulis "nakal" yang kerap mengirimkan satu artikel ke banyak media.
Bila pihak redaksi memerlukan infonya, siapa saja penulis-penulis "nakal" yang kerap mengirimkan satu artikel ke banyak media--tanpa menunggu jeda waktu masa tunggu--sesuai kaidah etika dunia kepenulisan (jurnalistik); kami memiliki data semuanya.

Dengan kasus tulisan ganda ini, selain pihak redaksi sendiri dirugikan karena "dikibuli" oleh penulis; para pembaca juga amat dibodohi dengan informasi yang "membodohi" opini publik tersebut.
Semoga bermanfaat, salam sukses selalu untuk redaksi HU Suara Merdeka dan HU Suara Karya!

NB : Sebagai bahan komparasi, berikut ini juga saya tampilkan attachment opini ganda yang dimaksud.

Jogja, 17 September 2008
Salam hormat,
ttd,
Instruktur Diklat di Lingkungan TNI-AD dan Kolumnis; PPWI-DIY dan ICRC Jateng-DIY

4 Agustus 2008

Membumikan Teologi Persaudaraan

Telah Dimuat di SUARA MERDEKA
Jum’at 1 Agustus 2008

Wacana

Oleh : Syahrul Kirom*


Dalam acara Konferensi International tentang Dialog Antar-penganut Agama dan Kepercayaan di Madrid Spanyol, 16-18 Juli 2008 lalu. Menteri Agama, Muhammad Maftuh Basyuni menegaskan bahwa munculnya konflik di muka bumi ini bukan disebabkan oleh agama, namun justru manusia yang keliru dan memanfaatkan agama demi tujuan jahat.

Tetapi, dalam realitas kehidupan tak jarang ada berbagai konflik dan kekerasan yang menyeret agama. Agama seolah menjadi legitimasi untuk melakukan peperangan dan kekerasan.

Yang membuat kita tak habis pikir adalah di Indonesia kekerasan dan konflik antar satu agama saja bisa terjadi. Padahal, mereka satu keyakinan yakni dalam bingkai agama Islam. Kenyataan itulah yang membuat kita semakin prihatin terhadap agama Islam sendiri.

Menurut Rosullulah SAW peperangan antar suku dan agama, yang disebabkan hanya membela materi, kekuasaan, jabatan, bukan karena membela kebenaran agama Islam serta ajaran Nabi Muhammad yang terkandung dalam al-Qur’an, maka secara tegas mereka meninggal dalam keadaan jahiliyah.

Menurut Staf Khusus Menag dan Rais Syuri’ah PBNU, Prof. Dr. KH. Maghfur Usman dalam bukunya “Mari Menebar Ukhuwwah” (2007) menyatakan secara tegas bahwa untuk merajut konflik dan kekerasan perlu membangun kesadaran ukhuwwah Islamiyah, ukhuwwah basyariyah dan ukhuwwah wathoniyah atau yang disebut teologi persaudaraan. Maka dari itu, dibutuhkan pemahaman ajaran dan tradisi Islam berdasarkan pada al-Qur’an dan Hadits secara komprehensif.

Ukhuwwah Islamiyah merupakan hubungan antar sesama umat Islam tanpa membedakan secara luas dan sempitnya kapasitas hubungan, mulai hubungan keluarga, masyarakat kecil sampai hubungan ras, suku, kekayaan antar bangsa. Hubungan itu bisa meliputi baik di tingkat nasional maupun international dan menyangkut aspek kehidupan ibadah, mu’amalah, munakahat, dan mu’asyarah yang pada nantinya akan menciptakan pesaudaraan secara hakiki.
Ukhuwwah Wathoniyyah adalah hubungan antara sesama manusia yang berkaitan dengan persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Persaudaraan ini berhubungan dengan kemasyarakatan, di mana umat Islam sebagai warga negara Indonesia ini memiliki kebebasan dan kesamaan derajat serta tanggung jawab dalam menyejahterakan antar sesama umat manusia.

Ukhuwwah Basyariyah adalah persaudaranan ini muncul berdasarkan atas rasa kemanusiaan yang bersifat universal dengan memiliki kesamaan harkat dan martabat kemanusiaan dalam mencapai kehidupan yang sejahtera, adil dan damai dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.


Beberapa Langkah

Dalam membangun kesadaran teologi persaudaraan ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh umat Islam. Pertama, umat Islam harus seringkali melakukan tabayyun jika kita menerima berita yang mencurigakan. Tabayyun berarti menyelidiki kesahihan satu berita dengan melakukan check and recheck dari sumber berita lain sebelum bertindak melakukan kekerasan.

Kedua, umat Islam harus selalu melakukan Islah, jika ada teman yang berseteru. Lebih-lebih pada persoalan partai politik yang menimpa PKB, yang kini menjadi problem aktual di dalam bangsa Indonesia. Akibat dari perpecahan di tubuh internal PKB menjadi dua, yakni antara PKB kubu Muhaimin Iskandar dan Kubu KH. Abdurrahman Wahid.

Lebih parahnya, perpecahan itu akan merembet ke warga Nahdiyin. Karena itu, konflik di tubuh PKB itu harus diselesaikan dengan cara islah, dengan cara perdamaiaan di antara sesama umat Islam.

Dalam al-Qur’an telah dijelaskan “Tuhanmu tidak akan menghancurleburkan suatu negeri secara lalim, jika warga negeri ini termasuk orang-orang yang selalu mengibarkan bendera islah atau perdamaiaan”. (Q.S. Hud:117).

Jurgen Hubermas dalam karyanya “Communication and the evoution of society” (1979), umat Islam harus menciptakan budaya komunikatif terhadap sesama umat Islam. Masyarakat muslim yang komunikatif bukanlah masyarakat muslim yang bertindak secara revolusi melawan dengan kekerasan, tetapi melalui argumentasi (musyawarah).

Bukankah Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan, jika kita mempunyai masalah, alangkah lebih baiknya diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mencapai kata mufakat.

Ketigat, umat Islam perlu menumbuhkan sikap jangan menghina orang lain, tetapi hendaklah saling menghormati dan menghargai setiap perbedaan agama dan keyakinan. Penghinaan hanya akan menyebabkan sakit hati dan sikap permusuhan. Sebaliknya, saling menghormati dan menghargai hak asasi orang lain akan menumbuhkan kedekatan dan persaudaraan antar sesama umat Islam.

Keempat, umat Islam tidak boleh berburuk sangka kepada orang lain. berburuk sangka jelas akan memperkeruh pertengkaran yang hanya menumbuhkan sikap saling mencurigai yang pada titik nadirnya dapat menciptakan destruktifitas hubungan sesama umat manusia.

Kelima, umat Islam hendaklah bersikap terbuka, inklusif dan suka berta’aruf (saling berkenalan) dengan orang lain. sikap seperti ini jelas memiliki muatan yang positif dengan menimbulkan simpati kepada orang lain. sebaliknya, sikap eksklusif, akan menimbulkan efek yang negatif dengan menciptakan perseteruan sesama orang lain.

Michael Keene dalam karyanya “Agama-Agama Dunia” (2006) yang menyatakan bahwa agama-agama di dunia termasuk agama Islam mengajarkan kepada umatnya untuk saling mencintai, menciptakan kasih sayang, persaudaraan, perdamaiaan, dan kerinduan yang mendalam akan lahirnya dunia bak surga, di mana cinta kasih dan saling berbagi dan tak ada kebencian di dalamnya. Inilah yang menjadi dasar utama pertemuan agama-agama dunia termasuk agama Islam untuk hidup harmonis, dalam perbedaan keyakinan beragama.

Keenam, diperlukan sikap yang akomodatif dengan kesediaan menampung banyak kepentingan pendapat dan aspirasi dari berbagai pihak kelompok, melainkan juga dibutuhkan sikap yang sangat selektif dan cerdas dalam setiap menentukan sebuah pilihan dan kebijakan pemerintah yang dapat memberi manfaat bagi kepentingan umat manusia.

Ketujuh, diperlukan sikap yang integratif dengan selalu mengakomodasi kepentingan rakyat Indonesia dan bersikap kooperatif untuk selalu hidup bersama meski berbeda agama dan bekerja sama dengan siapapun dalam kegiatan antar sesama manusia untuk kepentingan bangsa Indonesia.

Karena itu, teologi persaudaraan harus diwujudkan oleh umat Islam dalam kehidupan berjamaah sebagai khilafah 'ala minhajin nubuwwah, tanpa itu tak mungkin ukhuwwah sesama umat Islam bisa terwujud. Teologi persaudaraan wajib diimplementasikan oleh umat Islam dengan Jama'atul Muslimin wa Imaamahum.

Dengan demikian, umat Islam harus memahami ajaran moral dan tradisi Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan selalu mengedepankan nilai-nilai teologi persaudaraan ini diharapkan bisa meminimalisir dan mereduksi setiap konflik sosial dan kekerasan atas nama agama yang selalu senantiasa muncul di dalam masyarakat Islam dan bangsa Indonesia tercinta ini. Semoga.


* Penulis adalah Alumnus Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Teologi Manusia Modern

Telah Dimuat di MEDIA INDONESIAJum’at 27 Juni 2008

OPINI

Oleh : Syahrul Kirom*

Manusia modern adalah anak rahim yang tercipta dari aliran rasionalisme dan emprisisme melalui jargonnya “Aufklarung”. Idealisme filsafat modern seolah ingin menggugat doktrin gereja yang membelenggu dan mengekang akan keberadaan serta eksistensi manusia yang terkena logosentrisme gereja.

Semenjak itu, muncul beberapa penemuan baru yang diusung semisal oleh Issac Newton, Charles Darwin, Albert Einstein, meruntuhkan paradigma gereja-konservatif. Konstruksi gereja sudah tak ada harganya dihadapan realitas manusia modern. Teologi gereja telah mengalami keterkikisan akibat manusia tidak mempercayai akan keberadaan agama yang bersifat abstrak dan penuh dengan dogma.

Filsuf-filsuf besar, seperti Thomas Hobbes, John Locke, Rene Descartes, Immanuel Kant dan David Hume mulai mempertanyakan tentang Tuhan. Maka praktis setelah Hegel, garis filsafat Ketuhanan yang telah ada sejak masa Klasik, Abad Pertengahan, hingga awal modernitas mendadak putus.

Bahkan, yang muncul di panggung filsafat abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah gerakan ateisme yang dipelopori filsuf-filsuf seperti Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Jean-Paul Sartre dan Sigmund Freud. Para filosof tersebut mengalami skeptisisme terhadap pencarian Tuhan. Itu merupakan tamparan telak terhadap orang-orang yang selama ini mempercayai eksistensi Tuhan.

Manusia modern telah mendewakan materi dan segala sesuatu yang dianggap bermakna bagi kehidupan umat manusia. Secara filosofis persoalannya adalah bagaimana konstruksi pemikiran manusia modern dalam menalar Tuhan? Melainkan juga paradigma apa yang digunakan manusia modern dalam memahami teologi? Pertanyaan inilah kirannya sangat urgen untuk dikemukakan dalam tulisan ini.

Dalam paradigma manusia modern, agama dan spiritualisme cenderung sulit mendapat ruang dan waktu. Sebab apa, posisi agama mulai termaginalkan dan tersingkirkan dalam konsepsi manusia modern. Apalagi mengenai Tuhannya. Dunia modern lebih cenderung mengandalkan ilmu empiris dan teknologi yang menyebabkan berlebihan terhadap dunia materi. Implikasinya, realitas yang diakui keberadaan hanyalah berwujud material, fisik dan natural.

David Ray Griffin dalam “Visi-Visi Postmodern” (2005), mengasumsikan ada empat konstruksi yang dibangun oleh manusia modern tentang Tuhan. Pertama, dunia diciptakan oleh tuhan yang berpribadi. Kualitas-kualitas pribadi atau personal yakni kualitas yang dikandung oleh manusia dianggap abadi, asali, dan menjadi dasar. Kualitas-kulitas pribadi yang menyebabkan segala sesuatu terjadi melalui kekuatan tertinggi alam semesta.

Kedua, manusia dalam kehidupan mempunyai power dan kekuasaan untuk menentukkan segala sesuatu yang diinginkan di mana pandangan materialistik-antroposentris yang telah menjadi kerangka pikir manusia modern. Ketiga, manusia modern menganggap dirinya paling hebat (meminjam istilahnya Nieztsche manusia adalah makhluk superman yang bebas sesuai dengan kehendaknya) dan istemewa dalam tata susunan semua benda.

Menurut Erich Fromm, manusia telah dimabukkan dengan suatu kemakmuran material karena sukses dalam menguasai alam. Manusia tidak lagi menganggap dirinya sendiri sebagai perhatian utama dari kehidupan. Nalar manusia sebagai sarana untuk menemukkan kebenaran telah dilepaskan sebagai instrumen belaka untuk memanipulasi benda-benda dan manusia.

Tuhan dalam Nalar Manusia Modern.

Etienne Gilson dalam “God and Philosophy” (1941) menjelaskan teologi adalah proses refleksi rasional tentang hal-hal yang kita anggap suci yang memiliki nilai terpenting (ultimate importance) demi dirinya sendiri. Di era modern teologi mengalami penurunan derajat. Setelah banyak manusia yang mendewakan ilmu pengetahuan sebagai segala-galanya. Konsep teologi cenderung tidak memiliki sumbangan dalam kehidupan ini harus disingkirkan dan dienyahkan dari realitas manusia.

Secara historis, sebelum munculnya penolakan modern. Manusia pramodern membagi teologi menjadi dua. Pertama, teologi konservatif-fundamentalis yang mendasarkan diri pada kekuatan supernatural, yang tidak dapat diuji kebenaranya melalui kacamata ilmu pengetahuan. Kedua, teologi liberal modern berusaha menghindari konflik dengan ilmu pengetahuan. Teologi ini lebih mendekati pada unsur kemodernan.

Di samping itu, ada sebuah pertanyaan filosofis mengapa teologi pada zaman modern mengalami nasib yang tidak terhormat. Pertama, Tuhan, nilai-nilai transenden dan jiwa manusia (dengan kebebasannya) yang merupakan inti dari visi religius berdasarkan tradisi kitab suci tidak lagi diizinkan berperan dalam alam semesta oleh “pandangan dunia ilmiah modern”.

Dalam konteks modern inilah teologi harus memilih dan menolak serta mengabaikan ilmu pengetahuan. Teologi di era modern menyebabkan tersisihkan dalam dunia modern adalah karena ia sudah tidak relevan dengan zaman. Modernitas sudah memiliki pengganti teologi. Masyarakat liberal modern, keselamatan dianggap bisa diperoleh melalui kemajuan materi, yang dimungkinkan oleh pasar dan teknologi sains. Ilmu ekonomi dan ilmu alam dengan dukungan filsafat ilmu merupakan dua cabang pengganti teologi di zaman modern.

Pendek kata, teologi tersisih karena pandangan dunia modern tidak memberikan kemungkinan suatu visi teologis yang berbasis pada rasionalisme dan materialisme. Selain itu, kehausan religius masyarakat modern untuk mendapat keselamatan telah menciptakan pengganti teologi. Karena dianggap tidak relevan dan tidak mungkin, maka pada zaman modern teologi mengalami masanya yang paling sulit.

Pandangan manusia modern, saat ini telah mendominasi lingkungan-lingkungan intelektual yang tidak memberikan landasan apa-apa demi suatu displin spiritual. Yang terjadi adalah memupuk apa yang disebut antispiritualitas. Manusia modern hidupnya hanya diorientasikan pada sesuatu yang bersifat material, nilai-nilai fisik seperti kepuasan daging dan pemilikan benda-benda material. bukan pada sesuatu yang mengandung nilai-nilai moral dan religius.

Di sadari atau tidak, Tuhan telah dicitrakan seperti penjaga surga, sementara nabi adalah salesman. Mata uang untuk membeli semua itu adalah pahala. Proses beragama telah menjadi seperti sebuah praktek perdagangan antara Tuhan dan manusia. Hubungan antara Tuhan dengan manusia ialah hubungan antara pedagang dengan calon konsumen surga.

Berpijak dari paradigma orang-orang modern bahwa segala sesuatu adalah materi. Tuhan dalam konteks manusia modern ini dibentuk sebagai sesembahan tatkala manusia butuh dan dikala duka atau pun suka sehingga persepsi manusia tentang Tuhan adalah bagaimana posisi Tuhan sebagai penguasa, pencipta alam semesta ini serta kemahapenyayangan dan kemahakekuasaan terhadap umat manusia mampu menjadi alat perintah kekuasaan manusia.

Dengan demikian, ketika umat manusia memahami Tuhan sebagai penghasil materi. Maka materi ini mengukuhkan dan menyebabkan manusia modern menjadi atheis. Manusia telah kehilangan kepercayaannya tentang keberadaan Tuhan. Tuhan dalam nalar manusia modern dianggap rendah dan buruk. Singkat kata, Tuhan dipahami manusia modern jika mampu memberikan kebutuhan pada manusia.

Penulis adalah Peneliti Pada Social and Philosophical Studies Yogyakarta.

TEOLOGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Telah Dimuat Harian UMUM SOLOPOS
Jum’at 27 Juni 2008

Gagasan


Oleh : Syahrul Kirom*

Teologi adalah membahas ajaran-ajaran dari sesuatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agamanya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat, yang tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman.

Dalam istilah Arab ajaran-ajaran dasar itu disebut Usul al Din,’aqa’id, credos atau keyakinan-keyakinan. Teologi Islam disebut ‘ilm al tawhid. Selanjutnya kalau yang dimaksud dengan kalam ialah kata-kata manusia, maka teologi dalam Islam disebut ‘ilm al kalam, karena kaum teolog Islam bersilat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing. Teolog dalam Islam memang diberi nama mutakallim yaitu ahli debat yang pintar memakai kata-kata.

Teologi Islam yang diajarkan di Indonesia pada umumnya adalah teologi dalam bentuk ‘ilm tawhid. Ilmu tauhid biasanya kurang bersifat filosofis. Selanjutnya, ilmu tauhid biasanya memberi pembahasan sepihak dan tidak mengemukakan pendapat dan paham dari aliran-aliran atau golongan-golongan lain yang ada dalam teologi Islam. Ilmu tauhid diajarkan dan dikenal di Indonesia pada umumnya ialah ilmu tauhid. Menurut aliran asy ‘ariah, sehingga timbullah kesan dilarang sementara orang Islam Indonesia menganggap inilah satu-satunya teologi yang ada dalam Islam.

Dalam Islam sebenarnya terdapat lebih dari satu aliran teologi. Ada aliran yang bersifat liberal, ada yang bersifat tradisional, dan ada pula yang mempunyai sifat antara liberal dan tradisional.

Warna teologi kita selama ini masih tetap di dominasi pandangan dunia “hitam dan putih”(a dualistic world view), yang mengembangkan paradigma “halal-haram”, ”dosa-pahala”, dalam melihat suatu masalah. Paradigma semacam ini, selayaknya diperiksa kembali, agar lebih relevan dengan tuntutan realitas. Isu “kebebasan” memang penting, namun rasanya “kebebasan untuk siapa” lebih penting lagi. Apakah “kebebasan” dalam pengertian intelectual freedom itu yang lebih mendesak, atau teologi yang mampu membebaskan kaum dhuafa’, dalam proses transformasi diri umat Islam. Itu yang lebih dibutuhkan dalam konteks sosial sekarang ? Begitu juga, apakah isu Islam alternatif sebagai apologi terhadap Barat yang perlu dilanjutkan? Sebab, ternyata kita juga butuh melihat ke Barat dalam usaha reformasi konsep-konsep Islam selama ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu kita renungkan kembali jika kita tidak menginginkan apa yang hendak kita perbaharui hanya terliput secara semantis saja, atau hanya menyentuh segi-segi yang semu belaka. Pesan mendasar universal itu nampaknya baru bisa digiring ke dalam pertautan historis jika kita berani menghadapkannya dengan realitas. Jadi bukan hanya berdasarkan rasionalitas kita sendiri.

Kesejahteraan Masyarakat Islam

Teologi spekulatif yang dibangun pada masa klasik sejarah Islam tidak mendapat dukungan yang berarti dari Al-qur’an. Kitab Suci ini “pada hakekatnya adalah sebuah dokumen agamis dan etik yang punya tujuan praktis bagi penciptaan sebuah masyarakat yang baik dan adil secara moral”. Masyarakat tipe ini haruslah terdiri dari manusia yang soleh secara agama dengan kesadaran yang tajam dan kuat tentang Allah yang memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan*. Dalam bahasa yang sangat populer adalah ‘amrun bi al ma’ruf wan nahyun ‘ani al munkar’.

Dalam al-qur’an, doktrin”amrun bi al ma’ruf wan nahyu ‘ani al munkar” dijumpai dalam delapan ayat, tersebar dalam lima surat, dua Makkiyah dan tiga Madaniyah. Yang Makkiyah adalah surat al A’raf ayat 157 dan surat Luqman ayat 17. Kemudian yang Madaniyah adalah surat Ali Imran ayat 104, 110, dan 114; surat at Taubah ayat 41. Yang tegas-tegas berupa perintah terdapat dalam surat Luqman, yaitu perintah terhadap anaknya agar mendirikan shalat, mendirikan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, serta tabah menghadapi cobaan. Ayat-ayat yang lain sekalipun memuat perintah, susunan bahasanya berbentuk dan bernada afirmatif (penegasan).

Apa hubungan pembicaraan kita tentang ayat-ayat ini dengan pemberdayaan masyarakat? Pemberdayaan masyarakat hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang berdaya secara politik, ekonomi, sosial, iptek, dan kultural. Orang yang tidak berdaya tetapi ingin memberdayakan masyarakat tidak akan pernah berhasil. Tingkatnya hanya tingkat angan-angan.

Umat yang terlalu banyak berangan-angan tetapi tidak berdaya adalah beban Islam dan beban sejarah. Oleh sebab itu Al qur’an menyuruh kita bercermin kepada yang kongkret, kepada yang empirik, sebab di sana juga terdapat ayat-ayat Allah. Oleh sebab suatu sistem teologi yang terlalu sibuk mengurus yang serba ghaib dan lupa terhadap yang kongkret tidak akan menang dalam kompetisi duniawi. Padahal kejayaan di dunia diperlukan untuk meraih kejayaan diakherat. Karir hidup di dunia, menurut pandangan al qur’an akan sangat menentukan corak kehidupan di alam sana.

Berpijak dari asumsi diatas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, teologi klasik sudah tidak relevan lagi bila dikaitkan dengan masalah pemberdayaan masyarakat karena terlalu intelektual spekulatif. Teologi murni spekulatif tentang Tuhan hampir-hampir tidak dijumpai dalam al qur’an.

Kedua, doktrin tauhid yang menegaskan keesaan Allah memerlukan dimensi sosial, politik, ekonomi, iptek,dan kebudayaan dalam makna yang sempit. Tanpa terkait dengan semua dimensi ini, tawhid yang serupa itu pasti tidak berasal dari al qur’an.

Ketiga, prinsip egaliter adalah sisi sosial dari doktrin tauhid. Prinsip ini terlalu lama terbenam dalam sejarah umat Islam. Oleh sebab itu prinsip ini perlu dibongkar kembali untuk memberdayakan umat secara keseluruhan. Tanpa tegaknya prinsip ini, sistem sosial dan sistem politik dengan label Islam sekalipun pasti akan memperpanjang sistem pemasungan dan bahkan penindasan terhadap sektor masyarakat yang lemah dan tak berdaya. Al Qur’an sejak masa dini telah menyatakan perang terhadap segala macam bentuk pemasungan dan penindasan karena kitab suci ini sangat menghargai martabat manusia.

Penulis adalah Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

23 Juni 2008

Agama Bukan Sumber Kekerasan

Dimuat di Harian Umum Solopos.
Pada hari Jum’at 25 April 2008.


* Oleh : Syahrul Kirom

Agama turun tidak diruang hampa. Tuhan menurunkan agama di dunia ini mempuyai tujuan tertentu. Kehadiran agama-agama dunia dan kepercayaan lain seperti Hinduisme, Yudaisme, Budhaisme, Kristianitas, Islam, Sikhisme, Konfusianisme, Taoisme, Zoroastrianisme dan Shintoisme merupakan simbol suci kepercayaan yang dianut umat manusia.

Agama-agama tersebut, disadari atau tidak telah memebrikan nuansa perdamaian, kesejahteraan dan ketentraman dalam setiap agama sebagai tempat berteduh dan mengadu seluruh keluh kesah serta penderitaan yang kita alami di dunia ini.

Agama merupakan seperangkat institusi dengan sekelompok orang-orang yang berkumpul secara teratur untuk suatu ibadat dan seperangkat ajaran yang menawarkan cara menghubungkan individu dengan suatau yang dipandang sebagai hakikat tertinggi.

Michael Keene dalam bukun-nya Agama-Agama Dunia (2006) menegaskan bahwa keberadaan agama dan aliran kepercayaan adalah memberikan kesadaran kepada setiap pemeluk agama bahwa keberadaan bukan sebagai sumber kekerasan dan konflik sosial. Akan tetapi, kita harus menyadari bahwa perbedaan keyakinan, ajaran, dan kitab suci merupakan suatu rahmat bagi seluruh umatnya.

Di era zaan modern yang semakin sekuler, liberal, dan pluralis ini agama memainkan peranan dan fungsi yang sangat signifikant bagi kehidupan umat beragama. Penyelidikan-penyelidikan menyatakan bahwa lebih dari 70% penduduk dunia menunjukkan bahwa mereka menganut salah satu agama.

Di Eropa Timur misalnya, semakin banyak orang mengikuti ibadat di sinagoga, mesjid, kuil, dan gereja. Di banyak tempat di dunia imam, rabi, dan pendeta bekerja bersama-sama untuk menciptakan dunia yang semakin baik dan damai dengan ajaran dan kepercayaan masing-masing umat beragama.

Sementara itu, perbedaan-perbedaan agama terkadang juga sering menjadi pusat ketidaktenangan internasional dan ketidaktentraman penduduk seperti yang terjadi di Yugoslavia, Pakistan, Timur Tengah, Irak, dan Irlandia Utara.

Ciptakan Perdamaian
Masih hangat dalm pikirn kita peperangan antara Israel dan Libanon, Iran dan Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Itu salah satu bukti nyata bahwa agama sebaliknya makin membuat dunia tidak nyaman, hanya karena persoalan yang remeh-temeh, yakni perbedaan agama dan keyakinan saja konflik sosial pun akhirnya terjadi dengan sangat mengerikan. Karena itu, agama mengambil bagian pada momentum yang paling penting untuk menciptakan perdamaian.

Agama-agama dunia juga merayakan kelahiran, menandai pergantian jenjang masa dewasa, mengesahkan perkawinan serta kehidupan kelurga dan melapangkan jalan dari kehidupan kini menuju kehidupan yang akan datang. Bagi berjuta-juta manusia, agama berada dalam kehidupan mereka pada saat-saat yang paling khusus maupun pada saat yang mengerikan.

Agama juga memberikan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyan yang membingungkan kita. Adakah kekuatan tertinggi lain yang mampu memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan kita? Bagaimanakah kehidupan di mulai?apa arti semuanya dunia ini?Mengapa orang menderita? Bagaimanakah kehidupan sesudah kematian? Siapa yang paling benar di dunia ini? Apa yang akan terjadi terhadap kita apabila kita telah mati?

Mengingat semua ini tidak mengherankan jika agama memberikan banyak inspirasi terhadap karya-karya terbesar dunia seperti dalam seni, musik, dan literatur. Dalam perspektif perenial, semua agama memang dapat dikatakan mengacu pada pengakuan yang suci. Bahwa setiap agama mempunyai kekuatan Yang Maha Dahsyat dan Maha Kuasa di luar kemampuan manusia dan alam semesta ini, yakni menurut ajaran dan kepercayaan masing-masing agama.

Di sisi lain, agama sebenarnya berasal dari perasaan kebergantungan mutlak kepada yang tak terhingga. Rudolf Otto menyebutkan agama sebagai pengalaman pertemuan dengan The Wholly Other yang menimbulkan rasa ngeri dan cinta, sebuah misteri yang menakutkan dan sekaligus memesona, misterium tremendium et fascinnas.

Persoalannya adalah kenapa terkadang agama dianggap mengerikan bagi umat manusia? Sebab agama sering dituding sebagai sumber konflik bagi umat manusia. Terlepas dari perdebatan apakah benar agama menjadi faktor timbulnya kekerasan atas nama agama, fakta berbicara bahwa konflik sosial yang terjadi salah satunya disulut oleh isu agama.

Kebenaran Mutlak
Meski demikian, bukan lantas atas nama agama kita bisa melakukan aksi kekerasan secara semena-mena dengan perbuatan yang merugikan publik. Sebab ajaran agama, tidak pernah mengajarkan pada umatnya untuk melakukan peperangan dan konflik. Karena itu, janganlah agama dibuat kedok untuk bertindak radikal. Akan tetapi, yang jelas agama-agama dunia tidak pernah mengajarkan kekerasan dan konflik. Agama hadir bertujuan untuk menciptakan rasa solidaritas, toleran, bresikap inklusif, damai, dan membawa misi kemanusiaan yang menekankan pada cinta kasih, budi baik, belas kasih dan kegembiraan terhadap sesama umat manusia.

Pemahaman agama perlu dipelajari lagi oleh setiap pemeluk agama termasuk, agama Islam secara komprehensif, bagaimana Tuhan mengajarkan kepada umatnya untuk selalu melakukan kebaikan dan menghormati setiap perbedaan keyakinan agama. Agama merupakan mediator saja bagi manusia untuk menuju kepada Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi, janganlah sampai kemudian jika kita sebagai pemeluk agama kemudian merumuskan pemikiran Tuhan dengan membentuk peraturan,upacara dan tradisi yang sangat jumud. Lebih dari itu, kita sebagai pemeluk agama seolah-olah telah memutlakkan ajaran dan peraturan. Hal itulah yang menyebabkan timbulnya kekerasan.

Kita sebagai pemeluk agama harus kembali membaca pemahaman agama kita. Bahwa agama itu adalah alat dan mediator. Dan kebenaran hanya di tangan Tuhan. Tuhan adalah yang Mutlak, manusia hanya bisa memberikan interpretasi yang belum tentu benar, apalagi jika penafsirannya penuh dengan muatan kepentingan dan kekuasaan. Kebenaran hanya milik Tuhan.

Karena itu, pemahaman yang sempit itu harus kita transformasikan sebagai pemahaman yang mengkontekstualisasikan segala zaman agar tidak menimbulkan aksi kekerasan atara sesama agama.Semoga.

* Penulis adalah Almunus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

19 Juni 2008

Meretas Jalan Spiritualisme Orang Kota

Di Muat di Harian Sore Sinar Harapan.
Pada tanggal 12, Juni 2008.

* Oleh : Syahrul Kirom


Kota adalah tumpuan masyarakat Indonesia sebagai tempat harapan dan cita-cita untuk memperoleh pekerjaan. Banyak orang-orang desa berbondong-bondong pergi ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya demi mencapai masa depan kehidupan yang lebih baik.

Itulah persepsi yang mungkin dibayangkan orang desa untuk hidup di kota dengan memperoleh pekerjaan layak dan mudah, dengan penghasilan yang cukup tinggi. Di sisi lain, kebutuhan hidup di kota begitu mudah untuk diperoleh, segala prasarana tercukupi, baik, transportasi, entertainment, shopping, mall, dan museum, universitas-universitas besar di kota metropolitan sudah pasti ada.

Namun demikian, hidup di kota tidaklah mudah, dibalik gemerlapnya kota metropolis juga banyak menyimpan penderitaan dan kesengsaraan. Kota besar dan metropolitan bagaikan magnet yang mempunyai daya tarik kuat bagi banyak orang. Akan tetapi, tak semua orang yang datang mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi kota yang begitu keras dan persaingan kerja yang sangat kompetitif. Kehidupan di kota itu penuh dengan ketakutan, kengerian, kecemasan, kemarahan, kekecewaan, hingga kehampaan dan kekosongan spiritual ketika dibenturkan dengan kerasnya kehidupan perkotaan.

Menurut Muhammad Muhyidin dalam karyanya “Orang Kota Mencari Allah”(2008), menyatakan secara tegas bahwa orang-orang kota mengalami tingkat penurunan spritualitas terhadap cara ibadah dan intensitasnya untuk taat kepada Allah Swt. Hal itu disebabkan, karena orang kota terlalu sibuk terhadap kehidupan duniawinya.

Orang-orang kota adalah orang-orang yang mempunyai mobilitas begitu tinggi dan kegiatan yang sangat padat. Waktu bagi mereka terasa sangat sempit. Hampir setengah dari waktu duapuluh empat jam dihabiskan oleh orang –orang kota untuk menekuni pekerjaan yang itu-itu juga.

Kekeringan Spiritualitas
Mereka sangat sulit sekali untuk meluangkan waktunya beristirahat dan menjalankan ibadah keagamaanya. Belum lagi, dengan adanya kemacetan kota semakin menyita waktu kita untuk beribadah kepada sang khaliknya. Inilah fenomena kota yang sekarang terjadi. Orang kota seolah mengalami kekeringan spiritualitas di hadapan Allah Swt.

Harta dan benda duniawi ini memang penting bagi kita untuk dicari dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan dan minum serta untuk mencapai segala prasana kehidupan demi memperoleh kebahagian dan kesuksesan di dunia. Akan tetapi, kehidupan di muka bumi ini tak selamanya. Sehingga amalan-amalan ibadah dan tingkat spiritualitas kepada sang khalik inilah yang abadi di kehidupan nantinya.

Kesibukan dunia telah melalaikan banyak orang akan kesibukan akhirat. Banyak orang yang sudah tidak peduli lagi akan pentingnya, sholat, membaca Al-Qur’an, membaca kitab-kitab para ulama, membaca buku-buku agama, menghadiri pengajian-pengajian dan berpuasa. Orang kota tenggelam dalam kubangan pekerjaan.

Orang-orang kota, yang tergambarkan sebagai ekonomi mapan, segala kebutuhan hidupnya sudah lebih dari cukup, saat ini terserang “penyakit-pemyakit jiwa” lantaran lupa terhadap jagat spiritualitasnya sebagai makhluk Allah. Jadilah mereka terserang kegelisahan, kecemasan hingga kehampaan dan ketidakbermaknaan hidup akibat kekosongan jiwa. Hidup menjadi serba monoton, tanpa warna, tanpa referensi spiritual dan itulah yang menjadikan mereka mudah kalut, emosi, stres, dan bahkan gila atau bunuh diri.

Melihat realitas kehidupan di perkotaan yang multikompleks baik dari aspek sosial, ekonomi, politik dan agama. Mereka yang sedang dihimpit masalah dalam kehidupannya. Itu disebabkan mereka sangat jauh dengan Allah SWT. Karena, terlalu sibuk mengurusi kehidupan duniawinya.
Pada hakikatnya orang-orang kota telah kehilangan Allah swt. Orang kota telah kehilangan pegangan terhadap sang khaliknya di satu sisi, dan menyadarkan diri pada mereka untuk berpegang pada pegangan yang tidak kuat yang bisa musnah dan hilang, termasuk, uang dan harta benda lainnya.

Diniatkan Sebagai Ibadah
Tatkala hubungan kita jauh dari Allah swt, maka saat itulah kita akan diterpa dengan berbagai macam tragedi, seperti kebakaran, perampokan, pembunuhan, penculikan bayi, penggusuran, kesulitan ekonomi, terlibat kasus narkoba dan korupsi, kekerasan seksual, banjir, kelaparan, gizi buruk. Hal itu disebabkan hubungan kita dengan Allah sangat jauh sekali. Sebab kita hanya mendekatkan diri pada tujuan-tujuan yang bersifat duniawi semata-mata, yang meliputi harta, uang, jabatan, kedudukam, kekuasaan dan popularitas.

Kini, sudah saatnya orang-orang kota menata hati dan menjernihkan pikirannya untuk selalu menjalankan ibadah kepada sang khaliknya. Pertama, Segala aktivitas kehidupan yang berkaitan dengan dunia ini harus diniatkan sebagai ibadah sehingga nilai-nilai amaliah dan pahala itu akan berguna (meaningfull) di akhirat nantinya. Dengan kata lain, ketika kita telah menetapkan niat bahwa kita bekerja itu semata-mata untuk beribadah kepada Allah swt. Di mana hasil pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan hidup kita dan keluarga serta orang-orang yang menjadi tanggungan kita. Maka niat tersebut merupakan ikrar dan janji kepada Allah swt.

Kedua, dengan melakukan niat ibadah dalam mengerjakan pekerjaan. Kita berarti telah melakukan terobosan spiritual sebagai payung yang melindungi setiap gerak dan langkah kita. Dengan niat sebagai ibadah, berarti kita telah mengetuk pintu langit untuk memohon berkah, perlindungan, pertolongan dan rahmat Allah swt.

Dengan demikian, rendahnya spritualitas menjadi penyebab lahirnya kekerasan, kekejian dan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. Karena itu, pada zaman modern ini kita perlu menciptakan dan menyediakan ruang-ruang energi spiritualitas dalam diri kita. Sesungguhnya, sifat dari semua energi itu kekal. Makna “kekal” itu berarti bahwa energi tersebut selalu ada dalam ranah ciptaan relatif. Meminjam istilahnya-Fritchouf Schoun dalam karyanya Filsafat Perennial (2001), itu merupakan kekekalan yang relatif (relativity absolut).

Karena itu, kita perlu menumbuhkan dan menciptakan keseimbangan energi spritual yang harus di pegang oleh setiap pemeluk agama yang tinggal di kota-kota besar. Sehingga kita harus meretas jalan kembali menuju agama dan spiritualitas, dari kejumudan menuju kreativitas, dari kelalaian menuju pencerahan. Semoga.

* Penulis adalah Peneliti Pada Social and Philosophical Studies Yogyakarta.

12 Juni 2008

Terlalu Sulit Dimaafkan

Di Muat di Jawa Pos.
Pada Hari Selasa, 16 Mei 2006.

Oleh : Syahrul Kirom *

Kontroversi status hukum mantan Presiden Soeharto yang berkaitan dengan kasus tindak pidana korupsi di tujuh yayasan di Indonesia menjadi diskursus publik yang cukup menarik seiring munculnya Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) oleh Kejaksaan Agung.

SKPP tersebut keluar karena pengendapan proses penyidikan akibat penguasa Orde Baru (Orba) yang telah berusia 84 tahun itu sakit-sakitan. Kondisi manta Presiden Soeharto Kembali memburuk dan mengalami pendarahan lambung. Kadar hemoglobinnya terus menurun. Bila sebelumnya 8,1 gram persen (normal antara 11-13 gram), kemarin drop ke angka 6,8 gram persen (Jawa Pos, 14/05/2006). Namun, persoalannya, kenapa dia masih sering tampil di depan
publik dengan menghadiri pernikahan cucunya beberapa waktu lalu?

Karena itu, kasus hukum Soeharto harus tetap dijalankan. Dosa-dosa sejarah Orde Baru, tindakan otoriter, represif yang dilakukan beserta kroni-kroninya selama 32 tahun berkuasa harus dipertanggungjawabkan di hadapan publik.

Bukan sebaliknya, dengan sangat mudahnya pemerintah serta Jaksa Agung Abdurahman Saleh menyatakan agar status hukum mantan Soeharto dihentikan. Apakah kita tidak mendengar jeritan hati seorang tahanan politik (tapol), seperti Pramoedya Ananta Toer, tokoh komunis asal Blora. Karya-karyanya yang pedas di telinga rezim Soeharto terpaksa diberedel serta tidak boleh diterbitkan sehingga dengan sangat terpaksa dia harus keluar masuk penjara.

Pernahkah kita merasakan bagaimana tersenyum di tengah derita rezim Soeharto? Siksaan demi siksaan ditimpakan atas diri kaum pemuda, bagi siapa pun yang menentang kekuasaan rezim Orba. Begitu juga, tatkala kayu pemukul dan pentungan besi harus dihantamkan pada tubuh-tubuh yang lunglai. Ketika kuku-kuku jemari dicabuti, kumis, dan tubuh dililit kawat bermuatan listrik.

September 1984, peristiwa Tanjung Priok terjadi. Manusia ditembak bagai binatang buruan. Awal 1989, tragedi Lampung berdarah. Laki-laki dibunuh karena dituduh pembangkang. Bayi, anak-anak, dan ibu mereka jadi sasaran kemarahan. Mereka dipanggang hidup-hidup di dalam rumah yang sengaja dibakar. Sebanyak 50 ibu-ibu, 80 anak-anak, pria dan wanita, jadi korban pembantaian biadab. Menyusul pembunuhan muslim di Aceh pada 1990. Jasad manusia bergelimpang di jalanan.

Begitu pula, tragedi menjelang reformasi pada 12 Mei 1998, yang menuntut lengsernya Soeharto, memakan korban yang tidak sedikit. Empat orang mahasiswa Trisakti tewas saat aparat kepolisian dan tentara menembakkan peluru tajam ke arah Kampus Trisakti di Grogol. Elang Mulya Lesmana (19) luka tembak di dada, Hafidin Royan (21) luka tembak di kepala, Hendriawan Sie (20) luka tembak di leher, dan Hery Hartanto (21) luka tembak di punggung, tewas akibat terjangan timah panas tentara dan polisi.

Beberapa hari sebelumnya, 8 Mei 1998, seorang mahasiswa di Jogjakarta, Moses Gatotkaca, juga tewas dalam bentrokan dengan aparat ketika aksi unjuk rasa menuntut Presiden Soeharto mundur.

Gerakan reformasi 21 Mei 1998, yang dipelopori mahasiwa, mampu memaksa mundur singgasana kekuasaan yang telah diduduki Soeharto selama tujuh periode (1986-1998). Di balik gerakan reformasi, kita bisa mengungkap politik rezim Orde Baru, yang selama bertahun-tahun mencekam dan menipu berjuta-juta rakyat Indonesia.

Dengan begitu, mata kita bisa terbuka, ternyata ada yang salah dalam sistem pengelolaan negara ini. Akibatnya, bangsa Indonesia ditimpa musibah dahsyat di bidang ekonomi, politik, sosial, dan moral serta krisis mulitidemsi.

Sejak rezim Soeharto berkuasa, dia dengan cerdik melahirkan banyak produk hukum dengan cara mengadopsi hukum warisan kolonial untuk digunakan sebagai katup penyumbat terhadap partisipasi politik. Mulai Kopkamtib, Asas Tunggal, UU Perkawinan, hingga pembantaiaan serta penangkapan aktivis, seperti tragedi DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh dan kasus-kasus lain yang dikategorikan melanggar UUD 1945.

Permaafan

Karena itu, sejarah kelam rezim Soeharto harus dijadikan bahan pertimbangan utama ketika pemerintah Indonesia dan Kejaksaan Agung saat ini ingin menghentikkan kasus hukum Soeharto. Akibat sikap dan tindakan yang sangat kejam, tidak ada permohonan maaf bagi Soeharto dan antek-anteknya.

Bagaimana kita harus memaafkan seorang penguasa zalim dengan hanya mengucapkan kata-kata maaf. Kejahatan yang berlalu tetap tidak akan bisa tergantikkan dengan pernyataan maaf. Alih-alih Soeharto mendapatkan hukuman berat, itu menandakan permaafan dan hukum yang diberikan Soeharto pun tidak setimpal dengan tindakan yang menyakitkan rakyat Indonesia.

Meminjam analisis Jacques Derrida dalam Cosmopolitanism and On Forgiviness (2003), meski Soeharto memperoleh amnesti, abolisi, rehabilitasi, situasi trauma berdarah, seperti tragedi Semanggi I dan II, meminta bentuk-bentuk permaafan.

Permaafan atau pengampunan sesungguhnya yang kita berikan kepada mantan Presiden Soeharto mengandung ciri memaafkan apa yang tak bisa dimaafkan.

Ketika Soeharto meminta maaf kepada bangsa Indonesia, mereka yang pernah merasakan siksaan rezim Soeharto tidak akan pernah mengatakan maaf. Sekalipun luka dalam hati, mereka sudah dilambari jasa-jasa Soeharto yang cukup besar terhadap bangsa dan negara Indonesia.

* Syahrul Kirom, mahasiswa Aqidah Filsafat UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.

Memberdayakan Kesejahteraan Guru Honorer

Oleh : Syahrul Kirom*

Keluh kesah yang dialami guru bantu atau honorer lama terpendam. Permintaan mereka untuk menjadi seorang PNS tak bisa dibendung. Mereka berusaha ekstrakeras memperjuangkan nasib dengan menuntut haknya kepada pemerintah, DPR,dan Depdiknas.

Hasilnya, pemerintah mengabulkan dengan akan mengangkat sekitar 236. 011 orang guru bantu di seluruh Indonesia. Namun, hanya 110 ribu orang yang akan diproses pada September 2005. Pengangkatan itu diprioritaskan bagi guru yang rata-rata memiliki masa pengabdian 10 tahun-20 tahun.

Pengalaman mereka yang sangat lama menjadi pertimbangan utama untuk diangkat tanpa tes. Sementara itu, guru bantu yang belum berpeluang menjadi PNS akan diperpanjang kontrak dan ditambah honornya dari Rp 460.000 menjadi Rp 710.000 per bulan.

Sudah sewajarnya bila jeritan guru honorer itu dibarengi dengan tuntutan tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi mereka menuntut menjadi PNS. Pertama, ketidakjelasan status guru honorer itu mengakibatkan mereka mudah diperlakukan sewenang-wenang. Terkadang, jatah mengajar pun bergantung dari belas kasihan kepala sekolah.

Bahkan, mereka bisa dipecat dari sekolah seandainya tidak memenuhi kualitas dalam mengajar. Jadi, jaminan untuk mendapatkan gaji pensiunan tidak ada.

Kedua, tidak adanya standar gaji guru honorer di sekolah mengakibatkan kepala sekolah memberikan gaji seenaknya. Padahal, gaji yang sangat minim itu pun tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga.

Sangat disayangkan jika ada kepala sekolah yang memberikan gaji sangat rendah. Pemberian honor yang tidak manusiawi tersebut sama dengan mengeksploitasi tenaga guru honorer. Itu merupakan cermin bahwa pemerintah dan Depdiknas tidak serius memperhatikan nasib mereka.

Ketiga, ketika bertahun-tahun mengabdikan diri di sekolah, mereka khawatir justru malah dipermainkan sekolah, terutama masalah tunjangan yang seharusnya didapatkan dari pemerintah. Misalnya, ketika tunjangan turun dan masuk dalam birokrasi pendidikan dan sampai pada tangan kepala sekolah, jumlahnya mungkin disunat/dikorupsi. Fenomena itu sangat riskan dan sering kali mengakar dalam sistem birokrasi pendidikan di Indonesia.

Karena itu, mereka harus membela hak serta nasibnya yang selama ini termarginalkan dan tidak pernah hidup selayaknya. Kita sering melihat kondisi guru bantu di pelosok pedesaan yang terlunta-lunta dan terkatung-katung. Mereka rela berkorban berangkat mengajar ke sekolah sambil jalan kaki atau memakai sepeda ontel, yang jaraknya sangat jauh dan memakan waktu berjam-jam. Tak salah bila guru itu dimitoskan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

Melihat realitas tersebut, pemerintah sudah seharusnya memprioritaskan kesejahteraan hidup mereka. Upaya pemerintah untuk mengangkat para guru bantu menjadi PNS merupakan salah satu solusi alternatif yang sangat tepat. Pengorbanan dan perjuangan mereka demi generasi anak bangsa ini harus dijadikan fokus utama dalam memperbaiki kinerja pemerintah secara genuine.

Mereka tentu selalu mengharapkan menjadi seorang PNS. Keinginan pemerintah dalam memenuhi aspirasi mereka itu merupakan salah satu bukti riil perhatian pemerintah terhadap nasib guru. Peralihan guru bantu menuju PNS lebih banyak membawa nilai positif bagi perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan kita.

Bila gaji guru honorer dinaikkan dan dijadikan PNS, mungkin semangat mereka dalam proses belajar-mengajar meningkat. Sebab, mereka merasa ditantang belajar lagi menjadi orang yang profesional dan mumpuni. Selain itu, dengan kepastian status tersebut, setidaknya para guru lebih tenang dan lebih berkonsentrasi dalam mendidik muridnya.

Pemberian honor yang rendah harus direduksi. Sebab, mereka juga sama-sama menjalankan fungsi pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahkan, guru bantu inilah yang justru lebih tekun, rajin, dan kreatif, tanpa pamrih, serta penuh kesabaran dalam mengajarkan ilmunya.

Kita juga tidak menafikan bahwa ada guru PNS yang justru menambah persoalan. Masih hangat dalam ingatan kita, banyak guru PNS yang melakukan korupsi jam. Waktu mereka lebih banyak digunakan untuk ngerumpi, baca koran, ngopi, jalan-jalan, dan lain-lain.

Biasanya, mereka selalu diidentikkan dengan malas, tidak serius, dan bekerja kurang maksimal. Parahnya lagi, mereka sering menggantungkan kegiatan proses belajar-mengajar pada guru bantu.

Dengan demikian, tanggung jawab pemerintah terhadap guru honorer harus ditingkatkan. Janji pemerintah untuk menjadikan mereka sebagai PNS harus segera direalisasikan dan diimplementasikan, jangan hanya lips service belaka. Sebab, itu menyangkut harkat dan martabat kehidupan mereka serta mutu dan masa depan pendidikan nasional sebagai garda terdepan dalam menyongsong kemajuan bangsa
Indonesia.

* Syahrul Kirom, mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat UIN Sunan Kalijaga
Jogjakarta.