27 September 2008

Memberantas Korupsi Kaum Berdasi

OPINI

Oleh : Syahrul Kirom *

Dimuat Harian Umum Suara Karya
Rabu, 27 Agustus 2008

Dari orde lama hingga orde baru bahkan pascareformasi, persoalan korupsi semakin mengakar luas di tubuh parlemen dan pejabat negara yang seolah sulit dituntaskan. Pejabat negara yang sudah seharusnya menjadi teladan bagi rakyat Indonesia malah justru sebaliknya mereka melakukan perbuatan yang sangat memalukan bangsa Indonesia dengan mengorupsi uang negara, seperti kasus dugaan korupsi yang menimpa, anggota DPR RI, Al Amin Nur Nasution dan Bulyan Royan.

Akibatnya, kepercayaan rakyat kepada pejabat negara dan pemerintah akan semakin menipis. Sehingga, membuat masyarakat menjadi apatis dan masa bodoh serta masyarakat tidak akan peduli dengan Pemilu 2009. Ujung-ujungnya, elite politik dalam meraih kekuasaan hanya untuk melakukan tindakan korupsi dan mementingkan kelompok partainya, bukan untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Sejarawan Onghokham menyebutkan, korupsi mulai dikenal sebagai suatu penyimpangan ketika birokrasi atau suatu sistem melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Dalam konsep kekuasaan tradisional tidak dikenal model pemisahan keuangan tersebut.

Konsepsi mengenai korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara kepentingan keuangan pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan jabatannya. Prinsip ini muncul di barat setelah adanya revolusi Perancis dan di negara-negara Anglo-Sakson, seperti Inggris dan Amerika Serikat, timbul pada permulaan abad ke-19. Sejak itu penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi, khususnya dalam soal keuangan, dianggap sebagai tindak korupsi.

Dalam konteks ini korupsi memiliki wajah yang banyak. Korupsi bisa saja meliputi uang, janji-janji pemerintah, jabatan, waktu, kontrak kerja, memberikan imbalan, penyogokan, penyimpangan kekuasaan, perusahaan lewat manipulasi tender dan bahkan manipulasi lainnya yang menciptakan sistem "pembusukan" wajah peradaban bangsa Indonesia. Korupsi sudah mewabah "bak virus flu burung" hampir ada di semua kehidupan umat manusia mulai dari aspek politik, ekonomi, sosial hingga agama. Seolah-olah korupsi telah menjadi sistem budaya yang mengakar secara masif dan sulit dihilangkan di ubun-ubun pejabat negara.

Mc Mullan dalam A Theory of Corruption (1961) mendefinisikan bahwa korupsi adalah tingkah laku para pejabat negara yang menyimpang dari norma-norma umum dalam pelayanan masyarakat demi mencapai satu bentuk keuntungan untuk memperkaya diri sendiri dan kepentingan partai politik.

Sejak revolusi industri dan modernisasi berkembang di negara kita, korupsi semakin menunjukkan gigi taringnya. Ada tiga faktor yang menyebabkan itu semua. Pertama, manusia di era modern ini telah kehilangan intelektualisme dan daya nalar kritis-filosofis dalam membedakan mana kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Mereka juga tidak bisa membedakan tanggung jawab sosial dan peran individu sebagai penguasa.

Kedua, modernisasi juga menciptakan terjadinya korupsi, karena ia menciptakan sumber kekayaan dan kekuasaan baru. Korupsi dalam konteks ini adalah pada ekses peningkatan peran politik kelompok baru yang sarat dengan sumber-sumber korupsi serta upaya asimilasi kelompok baru ke dalam sistem politik dengan cara-cara yang menyimpang.

Di Afrika, korupsi dilakukan secara bersamaan oleh pemegang kekuasaan dan pejabat pengawasan sumber-sumber devisa negara, yang memungkinkan mereka berkolaborasi secara mencolok melakukan penyelewengan kekuasaan di awal proses modernisasi. Para jutawan baru di negara-negara Eropa berusaha menyuap para penguasa untuk diberi kesempatan menduduki posisi sebagai anggota senat atau parlemen dengan menjelmakan diri sebagai aktor yang terkait ketat yang merupakan sistem politik yang cenderung korup.

Masuknya salah satu partai politik di Indonesia dalam struktur birokrasi pemerintahan menambah "pembusukan" dan kehancuran bangsa Indonesia. Korupsi telah berjalan dalam setiap sistem pelembagaan partai politik. Dengan begitu, peluang terbuka lebar sekali untuk melakukan akses tindak korupsi.

Dalam masyarakat yang demikian, politik telah menjelma menjadi "berhala" sarana ampuh untuk memupuk kekayaan dan harta, di mana semua ambisi dan talenta yang tak mungkin bisa diperoleh pengusaha lewat jalur bisnis dapat dengan mudah dikumpulkan lewat aktivitas politik.

Sementara itu, saya hanya bisa memberikan kesadaran pendidikan politik kepada masyarakat. Sesungguhnya berdirinya partai politik di Indonesia, apalagi menjelang Pemilu 2009, menciptakan satu kekuatan legitimasi untuk melakukan korupsi. Hal ini terbukti pada Pemilu 2004 yang ternyata, tidak mampu mengakomodasi kepentingan rakyat dan menyelesaikan kompleksitas bangsa Indonesia. Lalu apa gunanya partai politik dan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali? Itu semua hanya lips service belaka untuk menciptakan sistem pemerintahan yang korup.

Ketiga, modernisasi telah mengubah sistem hukum. Peragaman hukum memperbesar kemungkinan korupsi. Perlu disadari bahwa hukum akan hancur berantakan bila tidak dibarengi dengan pengawasan efektif dan sejumlah kepentingan terbuka bagi segelintir orang. Lebih parahnya, jika para hakim tidak memiliki integritas, kejujuran, dan keberanian tinggi dalam menegakkan hukum tindak pidana korupsi yang melibatkan elite pejabat pemerintahan. Semua itu nonsens belaka.

Keempat, anehnya, di zaman saat ini korupsi telah "diamini" oleh masyarakat dan mendapatkan respons secara wajar saja. Sebab, penyimpangan tingkah laku telah lazim diterima karena tindakan korupsi merupakan suatu kebutuhan primer untuk memenuhi perekonomian keluarga.

Kalau sudah demikian, ketika korupsi telah membudaya dari kalangan bawah hingga atas, baik itu pada tingkatan birokrasi di pemerintahan pusat maupun daerah seolah telah menjadi pasangan suami istri yang setia untuk selalu menerima suap-menyuap demi kepentingan individu. Lalu bagaimana kita menuntaskan korupsi pejabat negara, dengan jalan moral dan agama, eksekusi mati ataukah lewat pendidikan antikorupsi? Ternyata semua itu hanya sia-sia saja dan tidak menyelesaikan masalah.

Kita hanya bisa berharap pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terutama Ketua KPK Antasari Azhar dan Ketua Kejaksaan Agung Hendarman Supandji untuk memberantas korupsi secara komprehensif yang dilakukan "kaum berdasi" yang terasa semakin akut. ***

*Penulis adalah peneliti pada Social and Philosophical
Studies Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar