1 November 2010

Mengembalikan Roh Sumpah Pemuda

It Was Published In EDISIS MINGGU BISNIS INDONESIA
Minggu, 31 Oktober 2010

KOLOM MOTIVASI

Oleh : Syahrul Kirom*

Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, UGM Yogyakarta

Menjelang hari Sumpah Pemuda Pada Tanggal 28 Oktober 2010 besok ini. Bangsa Indonesia harus banyak belajar dari sejarah masa lalu, karena apa, dengan belajar masa lalu akan menentukan sejarah masa kini dan menatap masa depan, terutama untuk mengembalikan semangat nasionalisme rasa persatuan, banyak kasus yang terjadi di Indonesia saat ini yang menimpa kaum pemuda, terutama masalah tawuran dan bentrokan antar warga di beberapa daerah di Indonesia dan bahkan yang baru saja terjadi di Tarakan dan di Jalan Ampera di Jakarta.

Hal itu menegaskan bahwa semangat nasional, dan makna nilai-nilai sumpah pemuda 1928 yang didengungkan oleh Boedi Oetomo terasa tak memiliki arti apapun (meaningless) saat ini. Sebab apa, banyak para pemuda yang tidak mampu menghayati arti sumpah pemuda sehingga melahirkan kekerasan dan konflik sosial antar warga.

Di dalam sumpah pemuda yang kedua, yakni : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa Yang Satu, Bangsa Indonesia). Makna sumpah pemuda yang kedua perlu ditafsirkan kembali, sebab apa, banyak kaum pemuda yang tidak mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, karena akhir-akhir ini kita di televisi seringkali menyaksikan bentrokan antar warga. Apakah itu yang dinamakan “berbangsa satu, bangsa Indonesia”?

Melainkan juga unsur–unsur primordialisme, atau kesukuan, harus dihindari, setidaknya faktor itulah atau mungkin sentimen antar warga yang melahirkan kekerasan antar pemuda di Indonesia. Kekerasan antar pemuda itu tercipta karena dipicu oleh kaum pemuda yang tidak memiliki pemahaman dan kemengertiaan makna dari sumpah pemuda. Kaum pemuda tidak mampu menghayati secara filosofis pernyataaan sumpah pemuda yang dinyatakan oleh Boedi Oetomo.

Djoko Suryo dalam karyanya “Transformasi Masyarakat Indonesia Dalam Historiografi Indonesia Modern “ (2010), mengatakan bahwa tanda-tanda kecenderungan tantangan di era globalisasi saat kini adalah datangnya anarki (the coming of anarchy), merebaknya aksi kekerasan antar kaum pemuda saat kini. Apabila pemerintah pusat dan daerah tidak mampu mengatasi aksi konflik horizontal itu, maka berarti pemerintah tidak mampu menghadapi tantangan di era globalisasi.

Sementara itu, Kenichi Ohmae dalam karyanya “ The End of The Nation State” (1996), menyatakan lebih ekstrim, banyak kekerasan kaum pemuda dan bentrokan antar masyarakat menjadi salah satu indikasi berakhirnya negara bangsa (nation state),bangsa Indonesia akan mengalami kehancuran. Karena itu, proses berakhirnya negara bangsa (nation state) harus segera diselesaikan dan bahkan dihindari oleh pemerintah pusat.

Revitalisasi Makna

Dengan demikian, sudah saatnya kaum pemuda di seluruh Indonesia saat ini harus berpikir ulang dalam melakukan aksi kekerasan dan tawuran antar pelajar yang sering kali terjadi di beberapa daerah di Indonesia termasuk di Jakarta. Peristiwa di lapangan menunjukkan bahwa kekerasan fisik antar pemuda masih mengkristal. Karena kaum pemuda tidak memahami arti dan ontologi sumpah pemuda.

Dalam ajaran Masyarakat Samin, di Jawa, memiliki Peribahasa yaitu ojo tukar padu, artinya jangan sering bertengkar. Sebab apa, orang yang sering bertengkar akan membawa kehancuran bagi dirinya sendiri dan bahkan bagi negara Indonesia. Dengan begitu, kaum pemuda perlu juga membangun nilai-nilai kesadaran moralitas dan arti dari nilai-nilai sumpah pemuda, yang sejatinya harus menjadi kesadaran secara bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Karena itu, Sumpah Pemuda merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Mulai sekarang marilah kita mengembalikan jati diri bangsa Indonesia dan mengembalikan roh sumpah pemuda dengan melihat kembali Makna Hari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 2010, yakni rasa persatuan dan kesatuan. Dengan begitu, identitas bangsa Indonesia yang menganut juga nilai-nila pancasila dan semangat Bhineka Tunggal Ika juga harus diimplementasikan oleh kaum pemuda saat ini, agar bangsa Indonesia terhindari dari budaya kekerasan dan anarkisme.

Lebih dari itu, saat ini kaum pemuda juga harus mereinterpretasikan kembali makna sumpah pemuda di era sekarang, sehingga semangat sumpah pemuda bisa dikontekstualkan, yaitu dengan selalu bercermin diri, pada moralitas dan etika pada diri masing-masing manusia, melainkan semangat menghindari praktek-praktek korupsi juga harus dilaksanakan. Sebab apa, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia akan hancur karena merebaknya praktek-praktek korupsi yang dilakukan kaum pemuda.

Dengan demikian, sumpah Pemuda yang sejatinya merupakan alat pemersatu bangsa Indonesia yang amat ampuh dalam perjuangan melawan Jepang dan Belanda, perlu direkontekstualisasi semangat pemuda saat ini yang sudah seharusnya untuk melawan moralitas kita sendiri, dari perbuatan anarkisme, kekerasan fisik dan itu perlu diwujudkan serta diterapkan dengan tujuan untuk mencintai nasionalisme negara Indonesia agar sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara baik dari bidang politik, ekonomi, sosial, dan pendidikan itu tidak rapuh.

20 Juli 2010

Pancasila : Upaya Menyelesaikan Persoalan Kebangsaan

OPINI

Dosen, Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU) Chozinatul Ulum Blora, Jawa Tengah

Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia, sudah seharusnya dijadikan langkah awal dan refleksi kritis sebagai upaya dalam memecahkan persoalan kebangsaan. Saat ini seolah-olah nilai-nilai pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia tidak mampu diimplementasikan oleh elite politik pejabat negara dan masyarakat, sehingga tak salah kiranya jika banyak terjadi kehancuran peradaban bangsa Indonesia.

Menguatnya praktek korupsi di Indonesia itu disebabkan para pejabat negara itu tidak mampu mengamalkan nilai-nilai pancasila. Bahkan mereka sangat apatis, dan tidak peduli dengan apa itu pancasila. Pancasila dijadikan sebagai sebuah identitas saja. Tapi, tidak pernah diimmplementasikan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Padahal, sebagaimana yang kita ketahui secara bersama. Pancasila sebagai sebuah pandangan hidup (way of life) itu memberikan suatu petunjuk bagi masyarakat Indonesia. Pancasila yang mempunyai nila-nilai luhur itu sudah seharusnya mampu dijadikan alat dan tindakan dalam setiap mengambil keputusan dan kebijakan di dalam sistem pemerintahan di Indonesia.

Pancasila yang juga memiliki sumber-sumber ilmu pengetahuan dan memiliki nilai-nilai yang luhur sudah seharusnya dapat diimplementasikan oleh setiap masyarakat Indonesia. Akan tetapi, persoalan secara filosofis adalah kenapa pancasila itu sulit diterapkan di dalam diri bangsa Indonesia? Seolah –olah pancasila itu hanya sebagai sebuah simbol, tapi tak memiliki arti dan sumbangasih dalam menyelesaikan persoalan negara.

Berdasarkan asumsi itu, persoalan mengenai lunturnnya pemahaman bangsa Indonesia mengenai Pancasila sebagai pandangan hidup (way of life) menjadi tugas dari disiplin filsafat ilmu. Filsafat ilmu sebagai dasar ilmu pengetahuan harus mampu mengembangkan pancasila sebagai dasar-dasar ilmu pengetahuan yang sesungguhnya mempunyai niai-nilai luhur untuk mengatasi persoalan kebangsaan. Dengan menggunakan aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi.

Filsafat ilmu sebagai dasar sebuah ilmu pengetahuan (science of knowledge) dapat digunakan untuk mengembangkan pancasila dan memecahkan persoalan kebangsaan dengan tiga cara. Pertama, secara ontologi, Pancasila pada hakekatnya, sebuah sistem nilai atau prinsip yang mendasari bangunan negara Indonesia. Sebagai nilai atau prinsip dasar, di dalamnya terkandung makna-makna kebijaksanaan reflektif yang menyiratkan idealisasi pada sesuatu yang dianggap baik, benar, indah dan bermanfaat bagi manusia.

Di dalam sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, itu pada dasarnya menegaskan secara ontologi, bahwa manusia hidup di dunia harus selalu bertaqwa dan beriman kepada Tuhan. Sila pertama yang memiki makna secara ontologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan harusnya bisa dipahami oleh masyarakat Indonesia. sehingga manusia itu diharapkan tidak melakukan perbuatan yang tercela dan merugikan orang lain, menghindari praktek korupsi.

Kedua, secara epistemologis, pancasila, pada mulanya adalah harmonisasi dari paham Barat modern sekuler, paham kebangsaan, islam dan pelbegai jenis pengetahuan lainnya yang melalui proses perdebatan panjang hingga mencapai titik temu. Kebenaran yang dikandung Pancasila adalah kebenaran konsensus. Watak konsensus berkonsekuensi pada fleksibilitas peninjauan atas konsensus, meskipun jika berubah dalam bentuk yuridis akan memiliki kekuatan mengikat. Pancasila, yang mengandung kebenaran konsensus adalah sistem terbuka yang dapat ditafsir dalam pelbagai arti, dinilai kelemahan dan kelebihannya dan dikontekstualisasikan dengan semangat perubahan.

Pengetahuan yang bersifat kefilsafatan mengenai pancasila memiliki kesesuaiaan dengan proses tercapainya kesiapan pribadi. Dengan adanya pengetahuan yang bersifat kefilsafatan mengenai yaitu pengetahuan tentang hakikat pancasila, maka berarti pula dimiliki dasar yang kuat dan kekal terbentuknya way of life negara, bangsa dan warga negara (Ferry Edwin, dkk, 2006:165).

Di samping itu, nila-nilai pancasila yang terdiri dari lima sila itu memiliki banyak sumber pengetahuan yang sudah seharusnya mampu diimplemenatsikan dalam kehidupan manusia dan sumber pengetahuan pancasila itu harus dijadikan petunjuk terhadap manusia dalam melakukan tindakan. Pengetahuan yang terkandung di dalam pancasila sesungguhnya sudah cukup untuk mengatasi persoalan kebangsaan dan untuk membawa kemajuan bangsa Indonesia yang lebih baik. Jika pengetahuan-pengetahuan pancasila itu diterapkan secara genuine terhadap manusia di dalam menjalan semua aktivitas dan bahkan dalam menjalankan tugas negara.

Ketiga, secara aksiologi, pancasila sebagai pandangan hidup mempunyai nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam sila-sila, yakni nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, persatuan dan kerakyatan serta keadilan sosial-yang memiliki sikap keberpihakan untuk membela dan menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai luhur seperti budi pekerti, cipta-rasa-karsa dan nurani yang terkandung di dalam butir-butir pancasila itu sudah seharusnya mampu diserap nilai dasar dari pancasila ke dalam jiwa dan tubuh masyarakat Indonesia.

Berpijak dari ketiga aspek di dalam filsafat ilmu tersebut, secara ontologis, epistemologis dan aksiologis nilai-nilai di dalam sistem filsafat mengandung ajaran tentang potensi dan martabat manusia yang dianugerahi martabat, sebagaimana telah dijelaskan dalam butir-butir pancasila, keunggulan dan kemuliaan di dalam pancasila itu adalah anugerah dari Tuhan.

Dengan di dasari oleh nilai-nilai luhur Pancasila diharapkan bisa menggugah manusia-manusia Indonesia untuk kembali bersetia dan konsisten meresapi dan mengamalkan nilai-nilai pancasila. Karena itu, sudah menjadi tanggung jawab kita semua baik itu, elite politik, pejabat negara, dan masyarakat Indonesa untuk mampu menerapkan nilai-nilai ajaran pancasila dalam kehidupan umat manusia. Sehingga ajaran dan nilai-nilai pancasila tidak menjadi sebuah simbol saja dan dijadikan sebagai alat kepentingan politik.

Karena itu, saya hanya bisa berharap kepada seluruh komponen masyarakat Indonesia untuk mampu menghayati dan menjiwai nilai-nilai budi pekerti dari pancasila ini. Dengan begitu, besar kemungkinan masyarakat Indonesia akan lebih baik dan lebih maju, melainkan juga, perilaku dan perbuatan bangsa Indonesia jauh akan menjadi manusia yang sempurna. Sehingga apa yang dicita-citakan bangsa Indonesia ini akan tercapai dan menjadikan jati diri bangsa Indonesia lebih bermartabat di hadapan negera-negara Eropa.

Neosaminisme dan Kritik Kebijakan pemerintah

OPINI

Dosen, Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU) Chozinatul Ulum Blora, Jawa Tengah

Membicarakan wacana neosaminisme sangatlah menarik di tengah krisis moral atas pejabat negara. Paradigma neosaminisme sangatlah tepat sekali sebagai upaya kritik terhadap atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengandung muatan politis dan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. Neosaminisme merupakan gerakan untuk membangun kesadaran sikap yang jujur, tidak suka berbohong, apalagi mengatasnamakan kepentingan rakyat.

Karena itu, pemahaman yang dibangun atas kaum neosaminisme inilah yang sebenarnya ingin ditunjukkan kepada pemerintah, bahwa selama ini kebijakan pemerintahan atas adanya kenaikan tarif dasar listrik (TDL), Dana Aspirasi, dan kebijakan lainnya, sesungguhnya tidak memiliki nalar kritis bagaimana memberikan kesejahteraan rakyat. Melainkan, setiap kebijakan yang diambil mesti berkaitan dengan kelompok tertentu maupu partai tertentu. Hal itu semakin menegaskan bahwa DPR bukanlah wakil rakyat yang benar-benar bisa dipercaya sepenuhnya.

Dengan begitu, pemerintah dan masyarakat Indonesia ini sesungguhnya harus banyak belajar dari masyarakat Samin. Dalam ajaran saminisme, mereka juga mempunyai nilai-nilai dan prinsip moral. Bagaimana manusia seharusnya bertindak yang baik, berwatak yang sopan dan santun, serta mengedepankan pada aspek keharmonisan satu dengan yang lainnya. Karena itu, pemerintah, elit politik, penguasa, dan anggota DPR kiranya perlu belajar banyak dari perilaku dan watak dari masyarakat Samin.

Di antara perilaku dan watak dari orang Samin, bahwa ia menekankan pada nila-nilai dan moralitas yang melarang untuk menganggu orang lain. menganggu orang lain, bisa kita maknai, bahwa pemerintah dan anggota DPR, jangan selalu merugikan orang lain atas kebijakan yang dibentuknya. Sebab apa, kebijakan dana aspirasi itu sama saja dengan menggangu orang lain. Karena itu, Orang samin dilarang mengganggu orang lain, dalam artian ini tujuan moralitas secara filosofis adalah bahwa masyarakat yang sering menggangu orang tidak baik. Hal itu menyalahi hati nurani manusia, menggangu sama dengan melukai hati orang lain, di sanalah keburukan akan terjadi.

Di sisi lain, bagi anggota DPR dan para penguasa yang dalam tugasnya sebagai wakil rakyat, hanya mengejar hawa nafsunya dan hanya memikirkan pemuasan kebutuhan-kebutuhan individu atau diri sendiri, melainkan juga dianggap rendah dan disayangkan. Kelakuan yang rakus akan harta dan uang itu menunjukkan bahwa para anggota DPR dan para penguasa belum mengerti cara hidup mana yang menjadi kepentinganya yang sebenarnya.

Masyarakat Samin juga melarang untuk mengambil barang orang lain, atau mencuri. Mencuri itu adalah perbuatan yang tidak baik dan merugikan orang lain. melainkan juga, secara filosofis kenapa mengambil barang orang dilarang ? Orang samin tidak memiliki sifat untuk mencuri, menipu, dan mengambil sesuatu orang lain spirit dan tindakan itulah kiranya yang perlu dijadikan tauladan bagi anggota DPR dan para penguasa, agar tidak mencuri uang rakyat, apalagi dengan segala kebijakan seperti Dana Aspirasi dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Akan tetapi, faktanya terkadang uang dari Dana Aspirasi itu juga belum tentu sampai kepada rakyat Indonesia. Karena itu, mengambil barang orang lain atau mencuri uang rakya, berarti juga telah mengotori jiwa dan meracuni diri manusia dari barang –barang yang bukan milikinya.

Orang Samin juga memiliki sikap yang jujur, masyarakat samin sebagai masyarakat yang lugu dan tidak pernah melakukan kebohongan, mereka kalau ditanya menjawab apa adanya, dan selalu jujur pada dirinya. Kejujuran adalah mencerminkan diri masyarakat yang bersih. Dengan berlaku pada sikap jujur masyarakat akan selalu memperoleh kebaikan dari yang lain. Dengan begitu, anggota DPR dan para penguasa harus selalu mengedepankan kejjujuran dalam setiap menentukan kebijakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan partai atau kelompok tertentu. Kejujuran adalah kunci sukses dalam membangun peradaban bangsa Indonesia.

Dalam masyarakat Samin ada hukum yang berbunyi: “aja drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, Aja dikutil jumput, mbhedog colong, maksudnya, warga samin dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati pada orang lain, dan dilarang mengambil milik orang lain. Apalagi menjumpai barang yang tercecer tidak boleh diambil.

Karena itu, ajaran masyarakat Samin yang mengedepankan pada kebaikan adalah benar. Sebab apa, semua perbuatan mereka berawal dari baik, maka berakhirnya juga harus baik. Dengan begitu, sikap-sikap yang baik itu dilestarikan masyarakat Samin sebagai hal itu diajarkan dalam kitab suci masyarakat Samin, terutama dalam serat uri-uri pambudi.

Dengan demikian, membangun gerakan neosaminisme adalah sebuah penyadaran terhadap pikiran, ucapan dan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran terhadap pejabat negara dan anggota DPR maupun DPRD. Karena itu, elit politik dan anggota DPR harus mampu mewujudkan perilaku dan sikap jujur yang dicontohkan oleh orang Samin. Dengan begitu, membangun paradigma neosaminisme merupakan suatu keniscayaan yang harus diimplementasikan oleh pejabat negara dan anggota DPR dalam mengambil setiap kebijakan-kebjakan yang berkaitan dengan kepentingan rakyat Indonesia. Semoga.

19 Juli 2010

Menjunjung Tinggi Keadilan Hukum di Indonesia

OPINI

Syahrul Kirom, S.Fil.I

Dosen, Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU) Chozinatul Ulum, Blora, Jawa Tengah


Keadilan hukum merupakan suatu keniscayaan yang harus ditegakkan di dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Keadilan hukum adalah kunci sukses dalam membangun setiap peradaban bangsa Indonesia, sebagai upaya dalam memberikan kesejahteraan dan pemerataan atas hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap manusia. Karena itu, prinsip-prinsip keadilan hukum harus mampu dimplementasikan sebagai upaya membangun kesadaran kepada setiap insan manusia dan pejabat negara.
Perlu kita sadari secara bersama, persoalan keadilan hukum, yang kelihatan kecil.

Akan tetapi, problem ini sering muncul di dalam kehidupan sekitar kita. Kita lihat saja banyak penjabat negara yang melakukan praktek korupsi uang rakyat, itu sesungguhnya mencerminkan ketidakadilan secara hukum terhadap rakyat kecil. Masih hangat dalam pikiran kita, kasus Mafia Pajak, yang dilakukan oleh Gayus Tambunan, dengan menggelapkan dan mengkorupsi uang pajak dari rakyat yang bermilyaran, untuk kepentingan diri sendiri, belum juga diberikan hukuman setimpal.

Selain itu, mereka yang terlibat kasus Bank Century, mampu lolos dari jeratan hukum,dan bahkan mafia peradilan, di mana para hakim dan penegak hukum justru bermain-main dengan hukum, para penegak hukum mudah disuap dan bahkan ketika para penegak hukum ketika dihadapkan dengan para penguasa yang terlibat dalam kasus korupsi pun, yang jelas-jelas terlibat sebaliknya diloloskan dari vonis hukuman. Praktek peradilan dan penegakan hukum di Indonesia itu pun menyebabkan kontroversi dan paradoksal dengan rakyat kecil. Realitas itu mencerminkan bahwa sejatinya di negara Indonesia banyak terjadi praktek-praktek ketidakadilan hukum. Di samping itu, para penegak hukum banyak yang kurang memahami apa itu yang dimaksud dengan keadilan hukum ?

Di sisi lain, terkadang keadilan hukum dijadikan alat jual beli hukum. Keadilan hukum seolah-olah menjadi sesuatu yang komersial dan bisa dijual kepada yang siapa saja yang memiliki uang banyak dan kekuasaaan. Itulah fakta yang saat ini sedang menimpa pengadilan hukum dan kejaksaan tinggi di Indonesia, yang dengan mudahnya para hakim dan jaksa bisa disuap. Karena jelas bahwa hukum atau perundangan, harusnya adil. Tapi nyatannya seringkali tidak. Hukum terkait dengan keadilan tanpa sepenuhya disadari oleh kaum penegak hukum di Indonesia. Karena itu, potret buram penegakan hukum di Indonesia ini disebabkan karena para penegak hukum tidak pernah memahami secara filosofis dan esensi dari apa itu yang disebut dengan “hukum”. Sehingga menyebabkan keadilan hukum terhadap masyarakat semakin terdiskriminasikan dan tergadaikan dengan uang.

Supremasi hukum dan penegakkan hukum harus ditegakkan saat ini dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran yang sesuai dengan tujuan hukum yakni, ketertiban, keamanan, ketentraman, kedamaiaan, kesejahteraan. Pemikiran filosofis keadilan yang berkaitan dengan filsafat hukum sangat terkait dengan pemikiran John Rawls yang mengungkapkan tiga faktor. Pertama, perimbangan hukum (gerechtigkeit). Kedua, kepastian hukum (Rechtessisherkeit). Ketiga, kemanfaatan hukum (Zweckmassigkeit).

Dalam buku Politeia Plato melukiskan suatu model tentang negara yang adil. Negara harus diatur secara seimbang menurut bagian-bagiannya, supaya adil. Dalam negara macam itu tiap-tiap golongan mempunyai tempat alamiahnya. Timbullah keadilan, bila tiap-tiap kelompok berbuat yang sesuai dengan tempatnya dan tugasnya (Theo Huijbers, 1995:23).

Karena itu, keberadaan hukum positif dan hukum normatf, tidak memberikan jaminan terhadap warga negara. Sebab apa, hukum positif merupakan ciptaan manusia dan bahkan hukum bisa dibuat karena ada kepentingan dari kekuasaan, sehingga pembuatan hukum positif dibuat tidak dilandasi karena kebenaran dan objektifitas dalam memberikan pelayanan untuk kepentingan umat manusia dan sebagai proses dalam rangkan menegakkan keadilan hukum secara komprehensif.

Keadilan senantiasa terpadu dengan azaz kepastian hukum (rechstsstchnkeit) dan kebudayaan hukum. Tiap makna (meaning) dan jenis keadilan merujuk nilai dan tujuan apa dan bagaimana keadilan distributif dan keadilan hukum mampu mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin warga negara, yang pada hakikatnya demi harkat dan martabat manusia. Hukum dan keadilan sungguh-sungguh merupakan dunia dari manusia sulit dipisahkan.

Pada dasarnya, setiap insan manusia akan memiliki rasa keadilan, menciptakan keadilan hukum sama saja dengan membangun kebersamaan dan memberikan yang terbaik terhadap sesama umat manusia. Dengan kata lain, manusia itu sejatinya memiliki tanggung jawab hidup di dalam hati nuraninya untuk saling memberikan keadilan.

Karena itu, Indonesia sebagai negara hukum (reschstaat) pada prinsipnya bertujuan untuk menegakkan perlindungan hukum (iustitia protectiva). Hukum dan cita hukum (rechtide) sebagai perwujudan budaya. Perwujudan budaya dan peradaban manusia tegak berkat sistem hukum, tujuan hukum, dan cita hukum (rechtide) ditegakkan dalam keadilan yang menampilkan citra moral dan kebajikan adalah fenomena budaya dan peradaban. Manusia senantiasa berjuang menuntut dan membela kebenaran, kebajikan dan menjadi cita dan citra moral kemanusiaan dan citra moral pribadi manusia.

Dengan demikian, bertindak adil berarti bertindak dengan memperhitungkan hak-hak politik orang lain. Karena itu, hukum yang adil bagi Aristoteles berarti hukum harus memihak pada kepentingan semua orang. Hukum harus membela kepentingan atau kebaikan bersama (common good). Tuntutannya untuk mengubah hukum ketika tidak lagi memadai juga harus ditempatkan dalam tujuan utama hukum, yakni demi kebaikan bersama. Semoga.

Kemanakah Kasus Bank Century ?

OPINI

Syahrul Kirom. S.FIl.I

Dosen, Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU) Chozinatul Ulum, Blora, Jawa Tengah


Di Tengah kondisi dan peradaban bangsa Indonesia yang penuh dengan perilaku yang korup. Karena itu, para pejabat negara, elite politik dan masyarakat Indonesia harus merefleksikan secara kritis-filosofis problem korupsi di Indonesia, sebab apa, pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang berupa “korupsi” itu masih sering terjadi di Indonesia.

Karena itu, penegakkan HAM di Indonesia harus dilakukan secara adil, hal itu telah dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right) pada 10 Desember 1948 di Paris. Namun demikian, komitmen moral dan politik tidaklah cukup bagi perlindungan umat manusia dari kesewenang-wenangan (violence by action) maupun kelalaian (violence by omission) para penguasa atau negara. Perlindungan bagi umat manusia harus dipertegas lagi dengan komitmen hukum yang dapat mengikat setiap negara.

Pada 16 Desember 1966, PBB menghasilkan dua kovenan (perjanjian), yaitu Kovenan Internasional Hak-hak sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political Right) serta Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Right). Kedua perjanjian tentang hak asasi manusia ini terbuka bagi setiap negara untuk menandatangani dan meratifikasi ke dalam hukum nasional.

Akan tetapi, persoalanya secara filosofis adalah apakah perjanjian-perjanjia Internasionnal tentang perlindungan Hak hak asasi manusia sudah diterapkan dan dimplementasikan oleh para pejabat negara, elite politik, maupun para pegawai di Instansi pemerintahan, mesti pada kenyataaan kekerasan atas nama hak asasi manusia masih sering terjadi di Indonesia ?

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat masih terus terjadi di Indonesia, akibatnya sejumlah orang telah banyak kehilangan, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa dan diperlakukan secara keji, hak untuk tidak diperbudak dan dipekerjakan secara paksa, hak untuk tidak dipenjara karena utang, hak atas perlindungan dari kesewenang-wenangan hukum pidana, hak atas pengakuan yang sama sebagai subjek hukum, hak atas kebebasan pikiran, keyakinan dan agama sebagaimana yang dilindungi dalam pasal 6, 7,8, 11,15, 16 dan 18.

Sebagai bukti nyata, kasus Bank Century yang telah menyebabkan uang para nasabah atau uang rakyat yang hilang, tanpa ada kejelasan atau pengembalian uang kepada para nasabah. Itu sama saja mereka yang terlibat dalam kasus Bank Century sama saja dengan melakukan pelanggaran hak asasi manusia, sebab apa, mereka telah mencederai hak manusia yang semestinya harus dikembalikan sebagai uang rakyat. Kasus Bank Century merupakan pelanggaran hak-hak asasi manusia, pelanggaran terhadap para nasabah.

Selain iru, praktek korupsi yang masih merajela di Indonesia, terutama yang seringkali menimpa para pejabat tinggi negara dan wakil rakyat kita yang duduk di lembaga eksekutif, yudikatif, maupun legislatif itu juga pada hakekatnya sama saja dengan melakukan kekerasan terhadap hak asasi manusia (HAM). Sebab apa, akibat dari perilaku yang korup itu dapat menimbulkan penderitaan seluruh rakyat Indonesia. Korupsi adalah pelanggaran HAM yang paling berat dan harus diadili para pelaku yang terlibat di dalam praktek korupsi uang negara dan bahkan para mafia peradilan juga harus di hukum secara berat, sebab apa, mereka, secara ontologis, telah melakukan kekerasan terhadap hak-hak asasi manusia.

Di sisi lain, praktek penggusuran merupakan pelanggaran hak atas kebebasan berpindah dan bertempat tinggal. Demikian pula akibat manipulasi aparat yang berurusan dengan tanah yang mengakibatkan tergusurnya orang dari tanahnya yang di diami, dapat digolongkan melanggar hak ini. Berpindah tangannya, hak atas tanah dari satu tangan ke tangan lain secara tidak sah juga merupakan kasus yang tetap saja masih terjadi di Indonesia.

Sementara itu, korban pelanggaran hak asasi manusia bisa saja disebabkan oleh penyalahgunaan kekuasaan baik melalui tindakan dan pembiaran maupun proses hukum. Jumlah korban pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah yang banyak seperti melimpahnya orang yang menggangur, miskin, dan tidak dapat menikmati pendidikan serta orang yang tidak dapat penghidupan secara layak.

Karena itu, norma-norma hak asasi manusia merupakan norma yang mengatur hubungan antar negara dengan individu warga. Dengan begitu, penegakan hukum terhadap hilangnya hak-hak asasi manusia harus selalu ditegakka di dalam sistem demokrasi di Indonesia. Hak-hak asasi manusia ini dimiliki manusia secara genuine sejak lahir. Sebagai makhluk yang dikaruniai akal-pikiran manusia dituntut menegakkan hukum terhadap hak-hak asasi manusia..

Perjanjian-perjanjian internasional tentang hak asasi manusia telah menimbulkan kewajiban bagi setiap negara untuk melaksanakan kewajiban dalam memperlakukan setiap orang warganya. Dalam perjanjian ini negara merupakan subjek hukum hak asasi manusia internasional.

Karena itu, negara dan pemerintah bertanggung jawab untuk mampu memberikan perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia . Pertama, setiap negara mempunyai kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia. Negara wajib mengakui bahwa setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berpendapat, dan berpikir. Kedua, setiap negara berkewajiban melindungi hak asasi manusia dan bahkan memberikan perlindungan secara adil. Ketiga, setiap negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak asasi manusia, yakni dengan cara memberikan pelayanan kepada seluruh rakyat Indonesia, atas hak yang seharusnya diperoleh, bukan, sebaliknya, menutup dan bahkan mencegah rakyatnya rakyat agar tidak memperoleh haknya.

Dengan demikian, negara wajib memulihkan hak-hak para korban pelanggaran hak asasi manusia baik hak-hak sipil dan politik maupun hak hak ekonomi, sosial , budaya dengan cara menyusun dan melaksanakan langkah-langkah yang cukup kritis-konstruktif untuk memperbaiki berbagai tindakan dan mengusut secara tuntas para pelaku pelanggaran hak asasi manusia terhadap kasus Bank Century. Semoga.

28 Juni 2010

Melemahnya Fungsi DPR

It Was Published In Bali Post News Paper
Senin, 28 Juni 2010

OPINI

Syahrul Kirom*

Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta

Tiga pilar utama penyangga demokrasi di Indonesia kian rapuh, terkikis dan diinjak-injak oleh para anggota legislatif sendiri. Lembaga parlemen yang terdiri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif ini diharapkan oleh rakyat untuk mampu membawa perjalanan demokrasi ke arah yang lebih sehat. Sebaliknya, mereka semakin tidak menunjukkan eksistensinya.

Dalam ketentuan undang-undang dasar 1954 telah disebutkan di antara fungsi DPR adalah mengawasi pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan Melainkan juga bisa menjadi fungsi legislasi dalam menentukkan peraturan perundang-undangan, dan anggaran pendapatan belanja negara (APBN). Karena itu, bahkan dapat dikatakan bahwa DPR mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi legislasi, pengawasan, dan fungsi anggaran.

Akan tetapi, persoalannya hingga kini peran tersebut tidak berjalan efektif dan DPR yang dipilih melalui pemilu oleh rakyat. Kini justru menjadi cambuk dan boomerang bagi masyarakat. Bagaimana tidak menjadi cambuk yang menyakitkan hati rakyat ketika peran dan fungsi DPR yang dipercaya (trust) oleh rakyat untuk menjadi sebagai pengawas atas segala kebijakan pemerintah yang diputuskan dan sebagai penyalur aspirasi rakyat. Sebaliknya, mereka justru larut dan luluh atas kebijakan eksekutif serta semakin memperparah krisis social distrust terhadap masyarakat Indonesia.

Hal ini terbukti ketika terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Kebijakan itu jelas sangat memberatkan rakyat. Namun, karena presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan wakil presiden Yusuf Kalla telah sukses menaklukkan parlemen, akhirnya keputusan tersebut berjalan terus.

Begitu pula, dengan kebijakan impor beras. Kebijakan itu merupakan kebijakan yang tidak pro rakyat.. Tapi, lagi-lagi DPR melemah dihadapan eksekutif. Kontrol yang dilakukan sejumlah anggota DPR, tidak mampu membendung arus besar yang mendukung. Dengan segala ketidakberdayaan DPR, mereka akhirnya hanya bisa menstempel kebijakan yang kontroversial itu.

Melemahnya Fungsi DPR

Berpijak dari asumsi diatas jelas, fungsi DPR dalam struktur pemerintahan menunjukkan bias dan kabur akan visi dan misi DPR sebagai lembaga parlemen. Ketidakjelasan DPR dalam berperan terhadap sistem pemerintahan secara genuine merupakan problem utama bagi publik. Ketidakjelasan dalam sistem kinerja di tubuh DPR ini akan berpengaruh lemah sekali terhadap idealisme DPR.

Ada beberapa faktor kenapa sistem DPR semakin melemah ketika bersentuhan dengan pemerintahan. Pertama, kelemahan yang sangat parah terletak ketika negara Indonesia menganut pada sistem pembagian kekuasan (division of power) dan pemisahan kekuasaan (separation of power), gagasan yang diusung oleh Montesque, yang sesungguhnya paradigma itu tidak kondusif untuk dimplementasikan di Indonesia.

Sebab apa, ketika paradigma itu digunakan maka yang terjadi adalah perebutan kekuasaan, antara fungsi legislatif, yudikatif dan eksekutif, yang ke semua pada akhirnya fungsi itu berkerja sendiri-sendiri. Tanpa mengutamakan kerja sama dalam membangun integritas yang tinggi untuk memperbaiki kebobrokan bangsa Indonesia.
Lebih ironisnya, dalam lembaga legislatif itu terpecah–pecah dari berbagai fraksi PKB, PDIP, Golkar dan Partai Demokrat dan lain-lain. Kondisi yang demikian inilah parlemen sangat mudah sekali untuk disulut konflik, melainkan juga mereka akan saling mencurigai dan menelingkung antarsesama anggota DPR untuk mencapai kekuasaan demi kepentingan partai.

Kedua, ketika dikaitkan dengan prinsip demokrasi atau kedaulatan dan kekuasaan ada di tangan rakyat. Maka dalam konsep pemisahan dan pembagian tersebut haruslah dikembangkan pandangan bahwa kedaulatan yang ada di tangan rakyat harus dibagi-bagi dan dipisah-pisahkan dengan tujuan untuk menjalin kebersamaan. Bukan tambah menjalankan fungsinya sendiri-sendiri.

Sehingga dapat diharapkan ketiga cabang kekuasaan tersebut bisa tetap berada dalam keadaan seimbang dan diatur oleh mekanisme hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain yang biasa disebut dengan prinsip ‘checks and balances’. Namun, sangat disayangkan, pemahaman yang seperti itu belum pernah diterapkan dalam sistem pemerintahan Indonesia. Inilah titik kelemahan yang sangat urgen untuk segera diperbaiki kembali oleh pejabat DPR.

Ketiga, ketiadaan visi DPR secara kolektif dalam menyelamatkan negeri ini dari segala bentuk kapitalisme dan neoliberalisme yang makin menggurita dalam bangsa Indonesa merupakan permasalahan yang multikompleks. Selain itu, mereka juga tidak mempunyai konsistensi dan visi yang riil, tujuan dari anggota DPR ini hanyalah untuk kepentingan politik dan kelompok dalam memperebutkan tahta kursi kekusaan di pemerintahan.

Dengan demikian, para anggota DPR jangan hanya berpikir bagaimana bisa mencapai kekuasaan. Akan tetapi, bagaimana cara mengatasi suatu permasalahan negara kita dan menggunakan kekuasaan tersebut untuk memenuhi kepentingan publik. Hal ini perlu ditekankan kembali bahwa keberadaan DPR tak lain hanyalah sebagai pelayan rakyat. Hal itulah yang perlu dicamkan oleh para anggota DPR.

Persoalannya secara filosofis kemudian adalah ketika lembaga DPR ini sudah dilengkapi dengan hak interpelasi, hak untuk menyelidiki (enquette), hak resolusi, hak memorandum, dan bahkan hak untuk menuntut pertanggung jawaban (impeachment).
Namun, mereka tidak pernah menggunakan kekuasan tersebut untuk menentang kebijakan pemerintah yang sangat kontroversial. Keberadaan kekuasaan DPR akan menjadi tak berarti (meaningless) di tengah rakyat yang lagi membutuhkan pertolongan dan pembelaan DPR atas keputusan pemerintah.

Sebaliknya, kekuasaan tersebut digunakan mereka untuk memuaskan kepentingan kelompoknya ketimbang kepentingan rakyat. Maka tak salah kiranya apa yang dikatakan Jurgen Habermas bahwa kekuasan dan kepentingan ini sarat dengan unsur-unsur pembusukan terhadap hancurnya nilai-nilai demokrasi. Gugatan inilah yang perlu dilontarkan pada anggota legislatif guna menatap masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik.

Ketika seseorang masih mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan, justru akan menciptakan perlawanan dan pertentangan, akan tetapi jika kepentingan tersebut diarahkan kepada kepentingan kolektif. Maka kehendak tersebut akan menjadi kehendak umum yang bisa diterima oleh rakyat secara keseluruhan (res publica).

Untuk memahami bagaimana kehendak rakyat. Maka meminjam istilah- Rousseau apa yang disebut dengan vertue (keutamaan). Seseorang haruslah dapat membedakan antara kepentingan yang sifatnya pribadi dan kepentingan umum. Atas dasar tersebut, untuk mengelola lembaga negara berdasarkan nilai-nilai demokrasi diperlukan moralitas, kemurnian hati, kejujuran, dan bebas dari rasa pamrih serta kepentingan tertentu.

Dengan demikian, sudah menjadi suatu kewajiban daripada tugas DPR untuk menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Menyetujui segala kebijakan lembaga eksekutif yang tidak pro rakyat, akan semakin menciptakan apatisme rakyat terhadap permasalahan negara dan bangsa. Jika para wakil rakyat tidak konsisten kepada kepentingan masyarakat, mereka hanya akan mengingkari kata hati sebagai “wakil rakyat” yang tidak memiliki tanggung jawab (responsibility) dan kepedulian terhadap kepentingan bangsa Indonesia.

6 Juni 2010

Membangun Kesadaran Ramah Lingkungan

It Was Published in Bali Post News Paper

OPINI

Sabtu, 5 Juni 2010

Syahrul Kirom
Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat,
UGM Yogyakarta

Pada momentum hari Lingkungan Sedunia yang tepat jatuh 5 Juni 2010 ini. Masyarakat Indonesia harus mampu merefleksikan secara kritis-filosfosis akan arti pentinganya menjaga lingkungan hidup. Sebab apa. Lingkungan adalah alam semesta yang seharusnya dipelihara dan dilestarikan dengan baik. Lingkungan hidup ini merupakan ruh dan nyawa dari manusia.

Saat ini krisis lingkungan tengah terjadi, degradasi lingkungan tengah dirasakan semakin memburuk akhir-akhir ini. Seperti pemanasan global, kepunahan jenis, kekeringan yang panjang, kelangkaan air bersih, pencemaran lingkungan dan polusi udara, serta bencana banjir yang melanda beberapa daerah di Indonesia. Itu merupakan salah satu dari beberapa deret yang bisa menghancurkan peradaban umat manusia.

Hutan–hutan tropis yang merupakan tempat tinggal bagi jutaan spesies ditebangi secara illegal untuk pertanian, padang rumput, dan tempat tinggal. Bahan baku diambil dari permukaan bumi untuk menjaga kestabilan ekonomi dunia. Kita telah memperlakukan erat atmosfir, tanah, dan air sebagai wadah bagi limbah yang dihasilkan dari penggunanan energi dan sumber daya alam dalam kehidupan manusia.

Komunitas alam ini yang terdiri dari tumbuhan-tumbuhan, hewan, air, dan tanah, udara, dan manusia, telah dirusak oleh perilaku manusia sendiri. Salah satunya yang menyebabkan kerusakan hutan adalah paradigma antroposentrisme yang selalu mengeksploitasi dan menguras alam semesta demi memenuhi kepentingan dan kebutuhan hidupnya.

Pandangan antroposentrisme, disadari atau tidak, telah menimbulkan kejahatan terhadap lingkungan, peristiwa yang paling banyak disoroti dalam kaitannya dengan tentang keberadaan hutan, yang paling sering kita dengar setiap harinya adalah kejahatan terhadap hutan dan lingkungan alam. Terjadinya polusi udara, air, tanah, illegal loging, dan yang lainnya merupakan bagian dari kejahatan terhadap lingkungan.

Pada saat ini kerusakan hutan dan kebakaran hutan serta bencana banjir dan tanah longsor yang menimpa sejumlah beberapa daerah di Tanah Air sudah seringkali terjadi. Akan tetapi, fenomena itu tidak pernah memberikan kesadaran penuh kepada insan manusia yang berkesadaran untuk berefleksi secara kritis-filosofis, kenapa bencana itu terus terjadi di Indonesia? Salah siapakah ini?.

Hutan merupakan sumber kehidupan ini telah banyak dieksploitasi oleh manusia-manusia yang tak bertanggung jawab (unresponsibility) dan hanya ingin memenuhi hawa nafsu demi memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyak bagi individu. Yaitu dengan cara melakukan penjarahan hutan dan penebangan secara liar (illegal logging).

Karena itu, pemerintah dan masyarakat setempat harus melakukan langkah-langkah konstruktif dalam upaya menanggulangi kerusakan hutan di antaranya mengkampanyekan reboisasi dan penanaman pohon-pohon di daerah yang gundul dan gersang sebagai salah tindakan paling efektif. Maka dari itu, perlu digalakkan gerakan penanaman pohon-pohon atau penghijauaan di sekitar rumah kita dan sudut-sudut perkotaan sebagai bentuk untuk melestarikan hutan kita yang mengalami banyak penggundulan akibat ulah manusia yang tak bertanggung jawab.

Sementara itu, pemerintah dan aparat penegak hukum harus bersikap tegas untuk segera melakukan investigasi dan menangkap siapa saja para pelaku illegal logging yang sering menjarah hasil kekayaan alam Indonesia. Sehingga dengan upaya penangkapan oknum-oknum yang mengeskploitasi bisa menimbulkan efek jera agar aksi kejahatan tersebut tidak terjadi lagi.

Kerusakan hutan di Indonesia juga semakin dipertegas dalam Guiness Book World of Records tahun 2008. Bahwa Indonesia adalah negara yang mengalami deforestasi terbesar dunia. Indonesia kembali memperoleh nilai buruk pengelolaan hutan. Kerusakan hutan itu diakibatkan adanya kebakaran yang terus terjadi. Bahkan Indonesia di tuduh sebagai penghasil karbon terbesar dan memperoleh peringkat kinerja lingkungan ke-102 dari 149 negara yang tercatat dalam EPI (Enviromental Performance Index) tahun 2008. Peringkat itu dirilis dalam World Economic Forum di Davos AS, Januari 2008.

Ramah Hutan

Karena itu, tak salah kiranya jika hampir setiap hari terdengar laporan pengurangan lahan hutan karena penggundulan. Setiap tahun kita juga mendengar laporan menipisnya lapisan ozon di atmosfir bumi. Peristiwa kerusakan hutan jelas juga menyebabkan terjadi bencana banjir, tanah longsor dan gempa bumi.

Henry Skolomowski, seorang filsuf, filsafat lingkungan menyebutnya sebagai permasalah lingkungan. Itu semua mengacu pada adanya sebuah akibat dari interaksi antara manusia dan lingkungan alam sekitarnya. Dalam skala yang lebih besar bisa disebut sebagai masalah ekologis.

Krisis ekologi, krisis bumi dan krisis hutan yang seolah tak berujung. Hal ini merupakan implikasi dari perbuatan dan tindakan manusia yang melakukan pejarahan hasil bumi dan menimbulkan kehancuran hutan. Di sisi lain, kejahatan hutan ini ternyata juga dilakukan karena ada muatan kepentingan ekonomi dan kecanggihan alat teknologi.

Kenyataan itu semakin menegaskan bahwa manusia telah kehilangan nilai-nilai moralitas untuk memelihara hutan. Karena itu, manusia harus mampu mengatur hubungannya dengan hutan dan alam sekitarnya. Manusia harus memandang bahwa hutan merupakan kesatuan utuh yang saling melengkapi. Akan tetapi, sebaliknya hutan justru tambah disakiti oleh manusia sendiri yang tak bermoral. Tak salah kirannya, jika hutan mengamuk dan memorak-porandakan segala harta dan menghilangkan nyawa manusia.

Oleh karena itu, cara pandang manusia terhadap keberadaan hutan inilah yang perlu diubah agar sikap dan perilaku manusia lebih sedikit arif dan bijaksana dalam memaknai eksistensi hutan Karena itu, manusia harus mengembangkan konsepsi tentang hutan yang mengagungkan dan menghormati hutan, juga menganggap hutan sebagai sesuatu yang sakral dan hidup. Dengan begitu, akan melahirkan sikap yang menghormati dan peduli terhadap hutan dan alam sekitarnya.

Dengan demikian, kita harus menyadari bahwa keberadaan hutan dan alam semesta sama dengan posisi manusia yang juga perlu dirawat dan dipelihara dengan baik. Sehingga adanya bencana banjir, angin puting beliung, gempa bumi dan tanah longsor, kita perlu mengedepankan nilai-nilai moralitas terhadap eksistensi hutan. Umat manusia bisa tergugah untuk kembali merekonstruksi dan melestarikan kondisi hutan kita yang semakin hari demi hari mengalami kehancuran. Semoga ***

16 April 2010

Menegakkan Tinggi Etika Politik Pilkada

It Was Published in Bali Post Newspaper

Selasa, 13 April 2010

DEBAT PUBLIK

Syahrul Kirom

Mahasiswa Pascasarjana, Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta

Suhu perpolitikan semakin menghangat, menjelang digelarrnya pilkada di beberapa daerah di Indonesia. Pilkada merupakan hajatan demokrasi untuk memilih bupati daerah. Tak dapat dihindari bila dalam setiap pilkada, praktek kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan itu mesti terjadi. Karena itu, etika politik sebagai langkah dan tindakan yang mengedepankan kejujuran dan transparansi ini perlu diimplementasikan dalam kehidupan berpolitik di dalam pilkada.

Pada umumnya, KPU, Bawaslu dan Panwaslu harus mengawasi dan memantau secara ketat dan dispilin di dalam sistem penyelenggaran pilkada. Sebab apa, terkadang, para calon bupati dan tim sukses, mencuri start dalam pemilukada, pengelembungan suara, pengandaan daftar pemilih tetap (DPT), politik uang, dan “jual beli suara”, menyisipkan iklan politik di dalam pemberian sembako, Praktek-praktek kecurangan dan tindakan yang kotor itu perlu mendapatkan perhatian secara serius dari pihak KPU, dan Panwaslu.

Kejahatan dalam pilkada terutama pada saat pencoblosan, terkadang, ada orang suruhan dari tim sukses untuk mencoblos dari salah satu pasangan calon bupati, bahkan yang harus diawasi, sebelum masyarakat mencoblos dan memasuki Tempat Pemungutan Suara (TPS), dari luar sudah dikasih uang, dengan tujuan mencoblos pasangan tertentu. tindakan kotor inilah yang perlu diwaspadai oleh Panwaslu.

Karena itu, di dalam pemilihan kepala daerah, praktek kejujuran, transparan, dan etika politik perlu diwujudkan dan diejawantahkan di dalam sistem perpolitikan di Indonesia yang menganut demokrasi. Sehingga diperoleh suatu hasil yang baik dan mendapatkan pemimpin yang ideal dan bersih dari tindakan kejahatan korupsi, dan hasil-hasil yang tidak jujur.

Wujudkan Etika Politik

Menurut Aristoteles dalam karyanya “Nichomacean Ethic” mengatakan bahwa etika politik merupakan salah satu sikap atau tindakan yang menginginkan hidup bersama secara baik dan adil, etika politik lebih mengedepankan pada rasionalitas politik sebagai upaya menjalankan penyelenggaraan pilkada yang berprinsip pada moralitas.

Jadi, posisi etika politik, sesungguhnya ingin memberantas segala praktek kecurangan, kebohongan publik, mereduksi manipulasi data, kejahatan kerah putih, dan jual beli suara serta permainan politik uang yang sesungguhnya akan menghancurkan peradaban bangsa Indonesia.

Praktek pelanggaran politik dalam pilkada yang biasanya dan bahkan mesti itu terjadi, menyadarkan pada kita semua bahwa akan sangat penting dan urgensi menerapkan etika politik. Secara ontologi, etika politik itu sesungguhnya ingin membangun sikap kritis terhadap penyelenggaraan pilkada. Etika politik itu ingin mengarahkan pada manusia agar selalu transparan dan akuntabilitas dalam mengambil segala kebijakan terutama di dalam sistem penyelenggaraan pilkada.

Menurut Haryatmoko, dalam tulisannya “Etika Politik : Akuntabilitas dan Prediktibilitas”, mengatakan etika politik itu pada dasarnya sebagai upaya bentuk perlawanan terhadap pemiskinan politik ketika di ruang publik direduksi menjadi pasar, melainkan juga, terhadap penyelenggaraan negara seperti pilkada yang terkadang dipergunakan sebagian untuk kepentingan kelompok tertentu.

Karena itu, etika politik memberikan satu pendasaran moral terhadap para calon bupati dan tim sukses agar di dalam memperebutkan kekuasaan, itu harus menggunakan cara cara yang bijak dan adil, dalam artian sikap dan contoh yang baik seperti tidak menggunakan politik uang, itu harus ditunjukkan oleh setiap calon bupati, sehingga masyarakat yang akan memilih mempunyai kepercayaan yang tinggi, mereka yang akan dipilih oleh masyarkat, sehingga bisa melahirkan pemimpin ideal, yang memiliki integritas, dan moralitas yang tinggi dalam membangun daerah dan warganya, serta mampu mensejahterakan masyarakatnya.

Namun demikian, etika politik itu juga harus didukung dengan hukum sebagai penegakan keadilan dan bagi siapa saja yang melanggar di dalam pemilukada itu harus diberikan sanksi secara tegas, dengan begitu, refleksi kritis atas penyelenggaran pilkada untuk menciptakan kehidupan berpolitik yang sehat dan demokrasi akan tercapai, apabila itu semua di dukung dengan sikap yang selalu mengedepankan etika politik dan hukum, hukum menjadi kekuatan dan jaminan dalam penegakan sistem demokrasi di Indonesia.

Sementara itu, keadilan merupakan suatu keniscayaan di dalam pilkada, sebagaimana dikatakan seorang filsuf asal Yunani, Plato. Etika Politik Plato menjelaskan seseorang bukan merupakan individu yang adil jika ia diperintah oleh nafsu atau nafsu badaninya, Negara bukan merupakan negara yang adil apabila diperintah oleh pemimpin yang bodoh dan tidak peka terhadap realitas sosial masyarakatnya.

Di dalam proses penyelenggaraan pilkada di beberapa daerah di Indonesia ini sudah seharusnya mampu mencerminkan proses pemilihan seorang pemimpin yang bersih, jujur, tidak korup, serta memiliki integritas tinggi, moralitas politik yang baik, melainkan selalu menjunjung etika politik dan bahkan mengedepankan nilai-nilai transparansi dan akuntabilitas. Tindakan itu yang menjadi faktor penting dalam merajut demokrasi yang adil, dengan tujuan untuk membangun peradaban yang lebih baik dan pendidikan politik yang berkualitas. Pola-pola permainan yang kotor di dalam pilkada sudah semestinya harus direduksi sebagai upaya untuk menghindari noda-noda hitam dalam sistem perpolitikan dan demokrasi di Indonesia.

Dengan demikian, pilkada sebagai wadah dalam mencari calon pemimpin seharusnya dapat berjalan secara sehat, dan lebih mengutamakan aspek etika politik, dengan maksud demi menciptakan calon bupati yang terlahir dari rahim kejujuran, dan moralitas politik yang bersih, dan cara-cara yang halal. Karena itu, pilkada kali ini harus dijadikan langkah awal dalam menjalankan sistem perpolitikan yang mengutamakan etika intelektual, etika keutamaan dan etika politik yang jujur, santun dan transparan. Semoga.

22 Februari 2010

Hedonisme Pejabat Negara

It Was Published in Merapi Newspaper

Jum’at, 5 Februari 2010

NGUDA RASA

Syahrul Kirom, S.Fil.I

Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.



Wakil rakyat seharusnya merakyat. Lirik lagu Iwan Fals itu memberikan saran dan kritik kepada pejabat negara. Wakil rakyat yang duduk di DPR RI, sudah seharusnya mampu merepresentasikan kepentingan rakyat. Akan tetapi, pertanyaan secara filosofis adalah apakah selama ini wakil rakyat yang duduk di dalam DPR RI dan pejabat negara itu sudah menunjukkan dan mewakili kepentingan masyarakat Indonesia atas kebijakan yang diputuskannya?

Di tengah-tengah rakyat Indonesia yang masih mengalami banyak penderitaan, kemiskinan, dan pengganguran, pemerintah malah membuat kebijakan yang sesungguhnya telah melukai hati nurani dan prinsip-prinsip moral seluruh bangsa Indonesia. Justru pemerintah membuat kebijakan yang sesungguhnya malah memihak terhadap kebijakan penguasa.

Pertama, pembelian mobil mewah untuk para kabinet Indonesia bersatu dengan harga mencapai 1 Miliar. Sungguh hidup yang mewah dan nyaman sekali. Para pejabat negara telah menerima mobil dinas baru. Kalau sebelumnya pejabat tinggi negara mendapat mobil dinas Toyota Camry, mulai kemarin diganti Toyota Crown Super Saloon. Harganya Rp 1,3 miliar.

Pembelian mobil dinas yang mencapai sangat mahal, itu sangat kontroversial dengan kerja Kabinet dan program yang ditawarkan yang masih belum berpihak kepada rakyat Indonesia. Karena itu, kerja dan kegiatan untuk menyejahterkan rakyat Indonesia harus diprioritaskan dahulu, belum melakukan kerja maksimal sudah dikasih mobil dinas yang mewah dan mahal. Hedonisme telah menjiwai para pejabat tinggi negara.

Kedua, pembelian pesawat untuk kepresidenan yang mencapai 200 miliar. Harga itu sangat mahal sekali, pembelian kepresidenan itu ada. Apakah harga pembelian pesawat itu tidak sebaiknya ditunda lebih dahulu, atau anggaran dana itu diperuntukkan kepada rakyat Indonesia yang lagi membutuhkan santunan dan pemberian guna untuk memenuhi hidupnya. Itu merupakan tindakan yang mulia dan cintai oleh Tuhan

Ketiga, lebih parahnya, setelah mobil mewah, pembelian pesawat presden, pembelian Laptop anggota DPR dan pembenahan rumah dinas DPR, serta pembenahan tembok atau pagar Istana yang mencapai miliaran. Kini, pemerintah pusat akan memberikan kenaikkan gaji sekitar 20 persen untuk presiden dan wakil presiden dan anggota DPR. Sungguh hidup yang bergelimpangan penuh kemewahan yang sesungguhnya telah melukai hati nurani. Apakah kebijakan itu yang mencerminkan watak dan perilaku pejabat negara?

Berdasarkan asumsi di atas, apakah kebijakan itu semua, mencerminkan wakil rakyat yang seharusnya. Ternyata belum tentu, wakil rakyat dan pejabat negara yang kita bayangkan untuk mampu mensejaheterakan dan memberikan rasa keadilan, kemakmuran untuk seluruh kepentingan rakyat Indonesia, ternyata pejabat negara itu belum mampu memberikan jawaban. Sungguh hidup di negara yang semrawut, segala kebijakan itu lebih pro terhadap para penguasan, lalu di mana kebijakan yang pro rakyat ?

Aristoteles, seorang filsuf Yunani (384SM) mengatakan jika manusia ingin hidup yang baik maka manusia harus bisa mencapai kebahagian. Manusia hidup di dunia ini tidak hanya memperoleh suatu kenikmatan (hedonism) semata, ketika kita sudah memperoleh kenikmatan material, namun kebahagian tidak diperoleh. Itu sama saja tidak mencapai kebahagian.

Kebahagian itu harus dicapai dengan melalui tindakan. Nilai tertinggi manusia mesti terletak dalam suatu tindakan yang merealisasikan kemampuan atau potensialitas manusia untuk kepentingan publik. Ketika kebahagian dilakukan melalui tindakan, maka kebahagaian pejabat negara itu jelas akan dirasakan oleh umat manusia.

Hedonisme telah menjangkiti para pejabat negara, kepuasan dan kenikmatan dunia telah merambah para penguasa, apakah mereka tidak pernah berpikir untuk memberikan yang terbaik untuk kepentingan bangsa Indonesia. Plato (427SM) mempunyai pendapat, tentang hidup yang baik. Hidup yang baik adalah hidup yang bermutu, yang terasa berhasil, hidup yang terasa bernilai, yang mencapai kualitas maksimum yang dapat direalisasikan. Pandangan Plato, menegaskan pada kita bahwa manusa itu apabila ingin mencapai suatu kebahagian dan kebaikan adalah manusia harus berguna terhadap sesama dan mampu memberikan yang terbaik bagi kualitas dirinnya.

Karena itu, kebijakan untuk menaikkan gaji pejabat negara, itu tidak memberikan kualitas hidup yang baik. Apakah dengan adanya kenaikkan gaji pejabat negara itu akan memberikan kerja mereka semakin baik ? atau apakah dengan memberikan kenaikkan gaji dan fasilisitas yang mewah itu akan memberikan jaminan terhadap mereka untuk tidak melakukan korupsi ?

Meminjam analisis Franz Magnis Suseno, orang itu dikatakan baik, apabila manusia itu mampu menguasai nafsunya, jika manusia tidak mampu mengendalikan hawa nafsu, maka selama itu juga, manusia akan hidup dalam ketidakteraturan, dalam artian manusia akan memiliki kesalahan dan kelemahan di diri manusia dan bahkan karma Tuhan akan mengancam kehidupan manusia yang tidak mampu mengendalikan nafsunya. Karena manusia hidup hanya menuruti hawa nafsu, bukan menuruti hati nurani dan akal budinya. Untuk mencapai suatu hidup yang baik dan bahagia, manusia tidak perbolehkan untuk menuruti segala hafsu dan emosi. Sebab apa, di dalam benih-benih hawa nafsu dan emosi itu tersimpan nilai-nilai kejahatan dan keburukan.

Dengan demikian. kita hanya berharap terhadap Susilo Bambang Yudhoyono untuk menunda segala kebijakan untuk menaikkan gaji pejabat negara dan kebijakan mobil mewah atau pembelian pesawat. Karena itu, sesungguhnya mereka telah menari-nari diatas penderitan rakyat kecil. Apakah itu yang dinamakan tauladan wakil rakyat ? Dengan begitu, pemerintahan SBY harus memberikan dan membuat kebijakan yang pro kepentingan rakyat kecil. Sehingga, menurut Aristoteles, hidup yang baik adalah bagi mereka yang mampu membuat kebijakan pemerintah yang berguna dan bernilai, bermanfaat bagi seluruh kepentingan rakyat Indonesia dan bangsa Indonesia. Semoga.

29 Januari 2010

Menguak Sejarah RI Modern

It Was Published in Koran Jakarta Newspaper

Jum’at, 8 Januari 2010

PERADA

Oleh : Syahrul Kirom

Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.


Sejarah Indonesia di masa lampau merupakan salah satu pintu masuk menuju kesejarahan masa kini dan untuk menatap masa depan. Apabila bangsa Indonesia ini tidak mau belajar dari sejarah-sejarah masa lampau. Maka negara Indonesia yang kita cintai saat ini akan menghadapi problem besar. Pertanyaan secara filosofis adalah apakah pejabat negara dan bangsa Indonesia ini sudah bercermin dari sejarah masa lalu ?

Melalui buku dengan judul “Transfomasi Masyarakat Indonesia Dalam Historiografi Indonesia Modern” (2009) yang ditulis Djoko Suryo ini pada hakekatnya ingin menjelaskan bagaimana proses sejarah dan perubahan masyarakat Indonesia di era modernisasi. Melainkan juga, perjalanan Indonesia menuju modernisasi ternyata menyimpan sekian permasalahan besar. Djoko Suryo, seorang sejarawan sosial-politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, ia ingin mengkritisi secara filosofis munculnya benih-benih permasalahan besar arus modernisasi yang harus diperhatikan oleh pemerintah pusat maupun daerah.

Kota-kota di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta yang sekarang ini mengalami perkembangan cukup pesat dari segi gedung dan prasana itu, tak bisa dilepaskan dari sejarah masa lalu. Masa lalu memberikan sumbangan yang berarti untuk menuju ke arah masa kini dan masa yang akan datang. Transformasi perubahan masyarakat Indonesia nampak terlihat dari budaya hidup yang begitu tinggi dan life style yang mewah dan segi konsumerisme yang sangat tinggi. Selain itu, saat ini segala kebutuhan manusia modern telah tersedia secara praktis.

Seiring dengan perkembangan perubahan kebudayaan Indonesia menuju budaya modern. Ternyata, kota-kota di Indonesia pada hakekatnya sedang menghadapi, persoalan-persoalan baru dalam arus dinamika kebudayaan baru, seperti kecenderungan budaya Kitsch, budaya kapitalis (capitalist culture), budaya industrial (industrial culture), budaya pop (pop culture), konsumerisme, materialisme dan budaya urban (urban culture) (hlm: 114).

Sementara itu, sejarah Indonesia modern itu kini telah menjadi budaya-budaya kapitalis dan budaya konsumerisme serta budaya urban yang sangati tinggi untuk tinggal di kota-kota besar. Perubahan dinamika dalam kebudayaan menuju Indonesia modern, tak selamanya juga memiliki nila-nilai positif, efek negatif ternyata juga ditimbulkan oleh adanya arus modernisasi yang semakin membahayakan umat manusia.
Dengan demikian, apabila kota-kota Indonesia tidak ditanggulangi dengan perencanaan dan kebijakan yang tepat melalui perkembangan kota-kota di Indonesia dapat terjerumus menjadi tempat kehidupan yang penuh horror & terror, mengerikan (dreadful night), kemiskinan-kekumuhan di tengah gedung-gedung pencakar langit, seperti yang pernah terjadi di kota-kota Eropa pada abad ke-19. (hlmL115).

Di sisi lain, banyak pandangan-pandangan dari para ahli sejarah mengenai makna dari kecenderungan-kecenderungan mutakhir tersebut pada masa kini. Paling tidak ada ada 4 perspektif pandangan para ahli mengenai hakekat perubahan tatanan global. Pertama, perspektif berakhirnya sejarah (the end of history). Kedua, perspektif homogenisasi desa global yang mendunia (global village-global homogenization perspective). Ketiga, perselisihan peradaban (clash of civilization) dan datangnya anarki (the coming of anarchy) (hlm:32).

Oleh karena itu, jika perubahan budaya di Indonesia, yang diakibatkan oleh perubahan tatanan global dunia itu tidak disikapi lebih serius oleh pemerintah pusat. Maka problem besar akan dihadapi bangsa Indonesia pada masa mendatang, budaya-budaya kapitalis dan materialisme itulah yang justru akan menggusur nilai-nilai luhur budaya masa lalu yang sesungguhnya mencerminkan nilai-nilai moral dan etika yang menekankan pada hidup sederhana dan tidak mementingkan individualisme.

Dengan begitu, belajar dari sejarah masa lalu juga sangat signifikant, dalam artian memetik hal-hal yang positif dari masa lalu, dengan tujuan untuk memperbaiki masa kini dan untuk menatap masa depan. Sehingga dengan memiliki pengetahuan masa lampau bisa dijadikan sebagai pegangan (guidance), arahan dan kebijakan untuk menyusun kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia yang lebih baik.

Kehadiran buku ini sangat signifikan sekali bagi para sejarawan, peneliti dan bahkan masyarakat Indonesia untuk mengetahui secara utuh sebuah transformasi masyarakat Indonesia dalam historiografi Indonesia menuju masyarakat modern,. Karena itu, Djoko Suryo berharap kepada peminat sejarah agar selalu meningkatkan ketekunan, ketelitian dan ketuntasan dalam pengkajian dan penelitian sejarah masyarakat Indonesia, demi untuk kemajuan bangsa dan negara. Semoga.