11 Mei 2012

Menyikapi Janji Politik Pilkada DKI

It Was Published in Suara Pembaruan News Paper Kamis, 10 Mei 2012 OPINI Syahrul Kirom, M.Phil Penulis adalah Alumnus Program Master Filsafat, Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta Akhir-akhir ini, manuver politik yang dilakukan calon gubernur dan wakil gubernur Propinsi DKI Jakarta di antaranya Alex Noerdin dan Nono Sampono, Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnomo, Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli, Hidayat Nur Wahid dan Didik J Rachbini, Faisal Basri dan Biem Benjamin, Hendardji Soepandji dan Achmad Reza Patria dalam pemilukada 11 Juli 2012 semakin memanas. Kunjungan dan pendekatan kepada rakyat pun semakin menguat. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh dukungan suara dari warga Jakarta. Janji-janji politik yang dilakukan cagub-cawagub kian mewabah di berbagai iklan spanduk di Jakarta. Para cabup-cawabup menebar pesona dan pencitraan politik untuk mencapai kekuasaan. Padahal, sejatinya, itu semua hanya janji-janji politis belaka yang sesungguhnya jauh dari realitas kehidupan sosial-masyarakat. Pada kenyataannya, di sudut-sudut perkotaan Jakarta masih banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan dan pengangguran, politik dari hari ke hari kian menjauhkan diri dari pengabdian kepada rakyat, justru kekuasaan yang lebih dikedepankan. Karena itu, politik kerakyatan perlu dikedepankan untuk memajukan kepentingan masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Menyitir pernyataan Iwan Fals, lewat lagunya berjudul “Manusia Setengah Dewa”, turunkan harga sembako, berikan aku pekerjaan, tegakkan keadilan seadil-adilnya. Masyarakat Jakarta ini butuh kedamaian, butuh kesejahteraan, butuh keadilan, bukan janji-janji politik yang ada dalam iklan politik di televisi dan media cetak, yang hanya manis di bibir, tapi kenyataan tidak terimplementasikan secara komprehensif bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Jakarta. Maurizio Passerin d, Enteves, dalam karyanya “The Political Philosophy of Hannah Arendt” (1994) menyatakan secara tegas bahwa kekuasaan adalah fenomena sui generis, karena Ia adalah produk dari pelbagai aktivitas agen plural yang dilakukan bersama dan ia bersandar pada persuasi karena ia berada pada kemampuan untuk mendapatkan persetujuan orang lain dengan cara rasional, yaitu dengan datang ke pasar tradisional, ke tempat sampah, ke mall, pada saat jelang pemilukada Jakarta. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang/politisi atau suatu kelompok partai tertentu atau koalisi parpol untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau masyarakat sesuai keinginan dari pelaku, baik secara langsung dengan jalan memberi perintah maupun secara tidak langsung dengan menggunakan segala alat dan cara yang ada. Karena itu, kekuasaan bisa dipahami bagaimana cara cagub dan cawagub dalam pemilukada 11 Juli 2012. Sehingga mereka bisa mendulang suara banyak dari publik. Setiap pernyataan yang dimunculkan oleh cagub-cawagub sudah barangkali mempunyai entitas –entitas kepentingan politik. Karena itu, masyarakat harus kritis dan melek politik. Politik adalah cara atau seni untuk memperoleh kekuasaan, di mana terkadang politik sering diasumsikan sebagai perebutan kekuasan dengan cara yang kotor, kampanye-kampanye adalah bagian dari tugas poltik yang harus diwaspadai ketika mereka banyak menawarkan janji-janji yang belum pasti. Banyak berbagai konsep yang ditawarkan oleh cagub dan cawagub dengan berbagai alibi, mulai pro ekonomi kerakyatan dan program lain-lainnya. Apakah hanya sekedar janji-janji itu akan menyelesaikan persoalan kebangsaan dan kerakyatan? Masalah yang sangat kompleks seperti kemiskinan, banjir, kemacetan dan pengangguran saja belum selesai sudah banyak berjanji. Iklan politik yang ditayangan melalui spanduk, televisi dan media cetak itu sejatinya adalah ruang penampakan untuk memperoleh simpati dan dukungan dari warga Jakarta. Kampanye politik melalui iklan itu memang harus diciptakan oleh cagub-cawagub secara kontinu dengan tindakan, di mana keberadaannya dijamin kalau para pelaku berkumpul dengan maksud membicarakan dan membebaskan persoalan publik dari kemsikinan dan pengangguran. Karena itu, ruang penampakan senantiasa merupakan potential space yang menemukan aktualisasinya dalam tindakan dan ucapan pelbagai individu untuk berkumpul bersama untuk melakukan proyek bersama. Apakah dalam kampanye dan iklan politik di televisi dengan menebar janji-janji politik dapat dipercaya ? faktanya, dalam dunia perpolitikan, banyak para politisi yang telah jadi Gubernur, lupa akan janji-janjinya. Inilah fenomena perpoltikan dan kampanye yang terus menerus menebar kebohongan publik. Oleh karena itu, masyarakat harus kritis dan melek politik, janji-janji yang ditayangkan oleh para calon pemimpin itu dalam televisi dan media cetak hanyalah bias dan yang berada dalam ruang penampakan, dan belum terwujudkan dalam realitas kehidupan. Apakah rakyat tetap percaya begitu saja, rakyat harus cerdas dan melek politik dalam pemilukada 11 Juli 2012. Tindakan berkampanye adalah representasi dari dunia politik yang terpusat dan sekaligus realisasi dari vita activa tertinggi. Meminjam bahasa Hannah Arendt, ucapan, kata-kata yang disampaikan dalam kampanye dengan berbagai janji-janji politik, program yang ditawarkan, tanpa tindakan, karya dan kerja akan kehilanagan makna dan tidak berarti apa-apa (meaningless) bagi kepentingan warga Jakarta. Dengan demikian, pilihlah pemimpin yang memiliki kemampuan intelektual dan kecerdasan yang tinggi, integritas, loyalitas, komunikasi politik yang santun dan tegas, tidak pernah marah-marah, serta konsep-konsep yang jelas dari program yang ditawarkan untuk kepentingan masyarakat Jakarta ke depan. Karena itu, sudah seharusnya kekuasaan dalam pemilukada 11 Juli 2012 ini sudah semestinya dijadikan sebagai tujuan untuk mensejahterakan dan memberikan pelayanan kepada kepentingan masyarakat Jakarta. Semoga.