27 September 2008

Membumikan Teologi Zakat

OPINI
Dimuat Harian Bisnis Indonesia
Sabtu, 27 September 2008

Oleh : Syahrul Kirom*

Alumnus Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta

Pada pengujung Ramadan 1429 H, seluruh umat Islam yang memiliki kemampuan secara finansial, harta dan kekayaan yang melimpah dianjurkan untuk menyempurnakan ibadah dengan menunaikan zakat fitrah dan zakat mal kepada kaum fakir miskin sebagai pengejawantahan dalam membersihkan harta yang kita miliki dari barang subhat.

Zakat menurut bahasa (lughatberarti: tumbuh, berkembang, kesuburan atau bertambah, dan dapat juga berarti sebagai upaya untuk membersihkan atau menyucikan diri manusia (QS. At-Taubah: 10).

Berdasarkan hukum Islam (istilah syara'), zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu (Al Mawardi dalam kitab Al Hawiy).

Di dalam wacana saat ini, zakat lebih dimaknai umat Islam sebagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan dan pengangguran. Berdasarkan data dari BPS Maret 2008 ini kemiskinan mencapai 34, 96 juta orang miskin. Kemiskinan dalam konteks zakat sering dihubungkan untuk mencapai kesejahteraan kaum fakir miskin.

Memang benar, tujuan dari zakat adalah sebagai upaya untuk mengangkat harkat dan martabat dari ka-um fakir miskin. Yakni sebagai upaya untuk memperbaiki nasib kaum duafa. Hal itu sudah dijelaskan dalam Al-Qur'an yang berbunyi: "Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang fakir, orang miskin, pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana" (QS. At Taubah : 9: 60).

Meski demikian, esensi daripada zakat bukanlah yang berkutat pada wilayah sosial saja dengan memberikan zakat fitrah dan zakat mal dalam bentuk uang beras ataupun pakaian. Akan tetapi, apakah selama ini umat Islam yang telah memberikan zakat fitrah dan zakat mal sudah mampu untuk memperbaiki perilaku dan sikap dari umat Islam?

Ritualitas zakat kali ini terasa hampa dan tanpa makna, banyak elite politik dan pengusaha yang telah melakukan zakat fitrah dan zakat mal. Namun, setelah ibadah puasa selesai perilaku para elite politik tetap saja buruk. Kita lihat saja, maraknya perilaku korupsi adalah konsekuensi logis dari mereka yang telah berzakat, tetapi tidak memahami sejatinya apa makna zakat secara genuine.

Oleh karena itu, umat Islam yang memberikan zakat fitrah maupun zakat mal, sudah seharusnya memahami makna dari tujuan zakat. Dengan mengerti sebuah esensi dari zakat, berarti mereka yang memberikan zakat tidak akan sia-sia. Berpijak dari situlah, niat umat Islam untuk memberikan zakat hanya untuk menjalankan ibadah dan rida dari Allah SWT.

Persoalannya, kenapa memberikan zakat harus dijalankan sebagai bentuk ibadah? Hal itu untuk menegaskan kepada umat Islam bahwa terkadang mereka yang berzakat mempunyai tujuan tertentu, dengan sifat takabur, pamer harta, ingin dihormati atau untuk mencari popularitas bagi caleg dan khususnya elite politik menjelang Pemilu 2009.

Oleh karena itu, revitalisasi makna dari tujuan zakat harus ditegaskan lagi. Sebab apa, umat Islam pada era modern dalam memberikan zakat mempunyai tujuan politis. Sudah barangkali niat mereka untuk berzakat akan menjadi kurang sempurna. Karena itu, niatan yang buruk dalam memberikan zakat harus direduksi.

Esensi zakat

Ada beberapa faktor teologis yang memengaruhi kenapa zakat itu harus ditunaikan oleh umat Islam dari usahanya yang baik-baik itu. Pertama, umat Islam harus menyadari dengan sepenuh hati bahwa sesungguhnya segala kekayaan alam yang ada di langit dan di bumi adalah milik Tuhan (QS.3:180).

Itu yang perlu diperhatikan oleh umat Islam bahwa rezeki yang kita cari di dunia ini adalah milik Tuhan.

Oleh karena itu, umat Islam harus belajar ikhlas untuk mengorbankan sedikit harta dan kekayaan yang dimiliki untuk diberikan kepada kaum fakir miskin. Dengan adanya zakat ini, mental umat Islam dalam mengikhlaskan dari sebagian kecil hasil kerjanya itu diuji oleh Allah SWT.

Kedua, perlu disadari juga bahwa sesungguhnya umat Islam yang berasal dan akan kembali kepada Yang Maha Tunggal. Dalam konteks ini zakat lebih ditekankan sebagai upaya untuk menghilangkan adanya penumpukan harta secara berlebihan pada individu ataupun kelompok tertentu, sementara yang lainnya hidup dalam kemiskinan yang akut.

Harta benda dan kekayaan yang umat Islam miliki sekarang ini adalah suatu ujian dari Allah. Karena itu, gunakanlah kekayaanmu untuk kebaikan umat manusia dan untuk dijalan Allah. Harta benda dan kekayaan tidaklah akan dibawa mati oleh umat Islam.

Akan tetapi, nilai-nilai amal ibadah, sedekah, dan anak yang suka mendoakan orang tua inilah yang akan memberikan manfaat di akhirat kelak. Karena itu, janganlah umat Islam terlalu mendewakan harta benda dan kekayaan yang dimilikinya. Menolong mereka yang menderita kemiskinan dan kelaparan adalah bagian dari ibadah.

Dalam buku Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (2003) dinyatakan bahwa sudah semestinya keberadaan zakat itu harus digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umat Islam. Karena itu, zakat kali ini harus dijadikan sarana paling utama sebagai upaya kesejahteraan terhadap rakyat miskin yang ditimpa kelaparan dan kekurangan dalam menjalani hidupnya dijalan Allah SWT. Dengan adanya zakat ini diharapkan bisa menjadi pintu masuk untuk mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran yang kian meningkat.

Oleh karena itu, kemiskinan juga bisa dikatakan sebagai bencana yang bisa mengancam nyawa manusia. Hal itu terbukti atas tragedi pembagian zakat di Pasuruan beberapa waktu lalu. Karena itu, kemiskinan dan pengangguran di Indonesia ini harus dikurangi dengan memberikan zakat.

Dengan demikian, sudah semestinya apabila zakat yang merupakan kewajiban umat Islam ini harus bisa digunakan secara penuh untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh umat manusia. Melalui zakat diharapkan dapat memberikan manfaat untuk kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Semoga.

Memberantas Korupsi Kaum Berdasi

OPINI

Oleh : Syahrul Kirom *

Dimuat Harian Umum Suara Karya
Rabu, 27 Agustus 2008

Dari orde lama hingga orde baru bahkan pascareformasi, persoalan korupsi semakin mengakar luas di tubuh parlemen dan pejabat negara yang seolah sulit dituntaskan. Pejabat negara yang sudah seharusnya menjadi teladan bagi rakyat Indonesia malah justru sebaliknya mereka melakukan perbuatan yang sangat memalukan bangsa Indonesia dengan mengorupsi uang negara, seperti kasus dugaan korupsi yang menimpa, anggota DPR RI, Al Amin Nur Nasution dan Bulyan Royan.

Akibatnya, kepercayaan rakyat kepada pejabat negara dan pemerintah akan semakin menipis. Sehingga, membuat masyarakat menjadi apatis dan masa bodoh serta masyarakat tidak akan peduli dengan Pemilu 2009. Ujung-ujungnya, elite politik dalam meraih kekuasaan hanya untuk melakukan tindakan korupsi dan mementingkan kelompok partainya, bukan untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Sejarawan Onghokham menyebutkan, korupsi mulai dikenal sebagai suatu penyimpangan ketika birokrasi atau suatu sistem melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Dalam konsep kekuasaan tradisional tidak dikenal model pemisahan keuangan tersebut.

Konsepsi mengenai korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara kepentingan keuangan pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan jabatannya. Prinsip ini muncul di barat setelah adanya revolusi Perancis dan di negara-negara Anglo-Sakson, seperti Inggris dan Amerika Serikat, timbul pada permulaan abad ke-19. Sejak itu penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi, khususnya dalam soal keuangan, dianggap sebagai tindak korupsi.

Dalam konteks ini korupsi memiliki wajah yang banyak. Korupsi bisa saja meliputi uang, janji-janji pemerintah, jabatan, waktu, kontrak kerja, memberikan imbalan, penyogokan, penyimpangan kekuasaan, perusahaan lewat manipulasi tender dan bahkan manipulasi lainnya yang menciptakan sistem "pembusukan" wajah peradaban bangsa Indonesia. Korupsi sudah mewabah "bak virus flu burung" hampir ada di semua kehidupan umat manusia mulai dari aspek politik, ekonomi, sosial hingga agama. Seolah-olah korupsi telah menjadi sistem budaya yang mengakar secara masif dan sulit dihilangkan di ubun-ubun pejabat negara.

Mc Mullan dalam A Theory of Corruption (1961) mendefinisikan bahwa korupsi adalah tingkah laku para pejabat negara yang menyimpang dari norma-norma umum dalam pelayanan masyarakat demi mencapai satu bentuk keuntungan untuk memperkaya diri sendiri dan kepentingan partai politik.

Sejak revolusi industri dan modernisasi berkembang di negara kita, korupsi semakin menunjukkan gigi taringnya. Ada tiga faktor yang menyebabkan itu semua. Pertama, manusia di era modern ini telah kehilangan intelektualisme dan daya nalar kritis-filosofis dalam membedakan mana kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Mereka juga tidak bisa membedakan tanggung jawab sosial dan peran individu sebagai penguasa.

Kedua, modernisasi juga menciptakan terjadinya korupsi, karena ia menciptakan sumber kekayaan dan kekuasaan baru. Korupsi dalam konteks ini adalah pada ekses peningkatan peran politik kelompok baru yang sarat dengan sumber-sumber korupsi serta upaya asimilasi kelompok baru ke dalam sistem politik dengan cara-cara yang menyimpang.

Di Afrika, korupsi dilakukan secara bersamaan oleh pemegang kekuasaan dan pejabat pengawasan sumber-sumber devisa negara, yang memungkinkan mereka berkolaborasi secara mencolok melakukan penyelewengan kekuasaan di awal proses modernisasi. Para jutawan baru di negara-negara Eropa berusaha menyuap para penguasa untuk diberi kesempatan menduduki posisi sebagai anggota senat atau parlemen dengan menjelmakan diri sebagai aktor yang terkait ketat yang merupakan sistem politik yang cenderung korup.

Masuknya salah satu partai politik di Indonesia dalam struktur birokrasi pemerintahan menambah "pembusukan" dan kehancuran bangsa Indonesia. Korupsi telah berjalan dalam setiap sistem pelembagaan partai politik. Dengan begitu, peluang terbuka lebar sekali untuk melakukan akses tindak korupsi.

Dalam masyarakat yang demikian, politik telah menjelma menjadi "berhala" sarana ampuh untuk memupuk kekayaan dan harta, di mana semua ambisi dan talenta yang tak mungkin bisa diperoleh pengusaha lewat jalur bisnis dapat dengan mudah dikumpulkan lewat aktivitas politik.

Sementara itu, saya hanya bisa memberikan kesadaran pendidikan politik kepada masyarakat. Sesungguhnya berdirinya partai politik di Indonesia, apalagi menjelang Pemilu 2009, menciptakan satu kekuatan legitimasi untuk melakukan korupsi. Hal ini terbukti pada Pemilu 2004 yang ternyata, tidak mampu mengakomodasi kepentingan rakyat dan menyelesaikan kompleksitas bangsa Indonesia. Lalu apa gunanya partai politik dan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali? Itu semua hanya lips service belaka untuk menciptakan sistem pemerintahan yang korup.

Ketiga, modernisasi telah mengubah sistem hukum. Peragaman hukum memperbesar kemungkinan korupsi. Perlu disadari bahwa hukum akan hancur berantakan bila tidak dibarengi dengan pengawasan efektif dan sejumlah kepentingan terbuka bagi segelintir orang. Lebih parahnya, jika para hakim tidak memiliki integritas, kejujuran, dan keberanian tinggi dalam menegakkan hukum tindak pidana korupsi yang melibatkan elite pejabat pemerintahan. Semua itu nonsens belaka.

Keempat, anehnya, di zaman saat ini korupsi telah "diamini" oleh masyarakat dan mendapatkan respons secara wajar saja. Sebab, penyimpangan tingkah laku telah lazim diterima karena tindakan korupsi merupakan suatu kebutuhan primer untuk memenuhi perekonomian keluarga.

Kalau sudah demikian, ketika korupsi telah membudaya dari kalangan bawah hingga atas, baik itu pada tingkatan birokrasi di pemerintahan pusat maupun daerah seolah telah menjadi pasangan suami istri yang setia untuk selalu menerima suap-menyuap demi kepentingan individu. Lalu bagaimana kita menuntaskan korupsi pejabat negara, dengan jalan moral dan agama, eksekusi mati ataukah lewat pendidikan antikorupsi? Ternyata semua itu hanya sia-sia saja dan tidak menyelesaikan masalah.

Kita hanya bisa berharap pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terutama Ketua KPK Antasari Azhar dan Ketua Kejaksaan Agung Hendarman Supandji untuk memberantas korupsi secara komprehensif yang dilakukan "kaum berdasi" yang terasa semakin akut. ***

*Penulis adalah peneliti pada Social and Philosophical
Studies Yogyakarta

25 September 2008

Netralitas Birokrasi Dalam Pemilu 2009

Dimuat di Bali Post, 23 September 2008
OPINI
Oleh Syahrul Kirom

Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 mendatang, iklim politik semakin hangat dan menegangkan. Mesin-mesin politik bergerak secara progresif untuk menggolkan hasrat politik kandidat masing-masing. Menyoal mesin politik, posisi birokrasi sangat rawan terpolitisasi oleh calon presiden dan wakil presiden yang akan maju nantinya.

Birokrasi merupakan suatu instrumen negara, pelaksana kebijakan pemerintah pusat maupun daerah dan abdi masyarakat yang seharusnya bekerja profesional, netral, nondiskriminatif dan bekerja untuk kepentingan nasional. Dengan memberikan pelayanan publik dalam rangka memajukan kesejahteraan, menciptakan keadilan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.

Meski demikian, birokrasi akan menjadi suatu trouble maker dan penghambat bagi perubahan serta penguat inovasi kemajuan masyarakat. Jika birokrasi terus 'berpolitik' atau dikooptasi untuk dijadikan instrumen kekuasaan bagi para politisi, peranannya akan semakin tereduksi dari tujuan semula dibentuknya birokrasi.

Idealnya, para birokrat pemerintahan pusat dan daerah, menurut Gladden, dalam suatu negara demokrasi, civil servants devote their to the service of community (mengabdikan hidupnya untuk melayani masyarakat). Karena itu, dalam peranannya birokrasi untuk menentukan kebijakan tanpa ada tendensi apa pun.

Menurut Syafuan Rozi dalam bukunya 'Zaman Bergerak, Birokrasi Dirombak: Potret Birokrasi dan Politik di Indonesia' (2007), sistem zaman prakolonial, orde lama, orde baru bahkan pada masa reformasi mengalami pembusukan politik yang korup. Dengan satu titik tekan bahwa selama ini politisasi birokrasi menjadi problem dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Zaman terus bergerak. Dulu di masa kolonial Belanda di negeri kita ada gejala negara pegawai (beambtenstaat). Saat itu pegawai yang sering dipanggil tuan Ambtenaar atau pengreh praja cenderung menjadi komprador, mematai-matai masyarakat dan menjadi kaki tangan kepentingan politik asing di negeri sendiri.

Pada masa orde baru sampai menjelang masa transisi, tahun 1998, kondisi di Indonesia tampaknya mengalami penyakit bureaumania yaitu sebuah penyakit yang disebabkan adanya sosok birokrasi yang bersifat infinitas, maksudnya suatu institusi melakukan pengaturan yang memiliki ketidakerbatasan wewenang dan ruang gerak di suatu negara.

Dalam konteks pemerintahan pusat dan daerah, birokasi cenderung dijadikan alat kepentingan status quo oleh pemerintah dengan tujuan untuk mempertahankan satu sistem kekuasaan yang monolitik dan otoriter. Selain itu, muncul kekhawatiran penyalahgunaan dana APBN dan APBD.

Karena itu, untuk menjaga netralitas birokrasi perlu upaya-upaya strategis dan serius. Gerakan ini berupaya mensinergikan apa yang dilakukan oleh beberapa pihak atau kelompok dalam civil society yang menginginkan terbentuknya keadaan relatif tidak terjadinya pemihakan politik oleh birokrasi terhadap partai politik mana pun.

Untuk melakukan gerakan netralitasi birokrasi ini masyarakat harus keluar dari keanggotaan institusi kooptasi birokrasi dengan melepaskan baju seragam Korpri dari parpolnya masing-masing. Selain itu, perombakan birokrasi di setiap lembaga eksekutif, lembaga ilmiah nondepartemen, departemen negara dan bahkan parlemen pemerintahan harus dilakukan dan tidak boleh ditawar lagi. Ini sebuah keniscyaan untuk menciptakan good governance dari unsur korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Buruknya sistem birokrasi di Indonesia menuntut kita harus melakukan suatu reformasi total pada semua aspek kehidupan politik yang lebih demokratis. Hal ini guna mendorong terwujudnya aspek kedaulatan rakyat, kebebasan, persamaan dan keadilan.

Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing (ekspatriat) yang berada di Asia termasuk Indonesia. Mereka menilai birokrasi Indonesia terburuk. Hal ini disebabkan banyak para pejabat tinggi pemerintahan yang memanfaatkan posisi untuk memperkaya diri sendiri.


Distorsi Fungsi

Berdasarkan pengalaman dalam pilkada di beberapa daerah, masih banyak oknum yang duduk dalam sistem birokrasi termasuk pegawai negeri sipil (PNS) bermain politik. Karena itu, mereka sangat mungkin diiming-imingi jabatan dan kekuasaan. Maka dari itu, kita harus bisa menjaga netralitas dan profesionalitas birokrasi.

Sebab, politisasi birokrasi telah menimbulkan gejala distorsi fungsi birokrasi. Seperti, terjadinya diskriminasi dalam pelayanan publik terhadap kelompok yang berbeda afiliasi politik, praktik ekonomi biaya tinggi untuk pendanaan orsospol tertentu, politisasi bahasa untuk status quo kekuasaan, mobilisasi politik dan bahkan kolusi, nepotisme pribadi.

Karena itu, revolusi adalah satu kata pasti untuk membongkar aktor dan institusi penyebab akar 'pembusukan politik' yang ada dengan melakukan perubahan struktur dan kultur dengan evolusi yang berlangsung secara bertahap demi menciptakan stabilitas politik yang bebas dari praktik politisasi birokrasi.

Birokrasi kita diharapkan bisa menjadi birokrasi yang otentik, yakni mempunyai kapasitas memberikan jalan keluar dan penyelesaian masalah nasional dan lokal. Birokrasi terbaik yang bisa mengantarkan Indonesia menjadi negeri yang makmur berkecukupan, ada keteraturan dan kejelasan dalam standar operasional, memiliki kepastian soal kualitas pelayanan, memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi warga negara, bukan janji-janji belaka.

Filsuf Jerman Friedrich Hegel menilai bahwa birokrasi seharusnya melayani kepentingan umum, karena dalam kenyataannya kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah seringkali hanya menguntungkan sekelompok partai atau orang dalam masyarakat.

Kita hanya bisa berharap pada pejabat negara, DPR dan anggota DPRD yang duduk dalam sistem birokrasi daerah, agar bisa menjadi kekuatan untuk mendorong perubahan atau perbaikan birokrasi lokal demi menjaga netralitas birokrasi dalam Pemilu 2009 mendatang. Sehingga, bisa mengantarkan bangsa Indonesia ke arah kemajuan yang lebih demokratis dan bebas dari unsur KKN.

Penulis, peneliti pada Social and Philosophical Studies Yogyakarta

23 September 2008

Instruktur TNI Kok Jadi Kolumnis

Kepada :
Redaksi Harian Umum SUARA MERDEKA
dan juga SUARA KARYA
di tempat

URGEN: Artikel Ganda, Mohon Penulis Ini Di-Blacklist

URGEN :Ada Artikel Ganda, Mohon Penulis ini di-BLACKLIST

Salam hormat,

Melalui surat email ini, pada pagi hari ini kami selaku kolumnis sekaligus Instruktur Diklat di Lingkungan TNI-AD serta pembaca setia HU Suara Merdeka sekaligus HU Suara Karya memohon dengan sangat agar penulis di bawah ini dimasukkan dalam penulis daftar hitam (BLACKLIST), sebab mengirimkan satu artikel pada dua media berbeda dalam waktu bersamaan. Dan penulis ini terbilang nakal, sebab kasus ini sudah kerap ia lakukan.
Penulis yang kami maksudkan tersebut bernama : Saudara Syahrul Kirom (Yogyakarta)

Tulisan milik penulis itu berjudul : "Merefleksikan Makna Nuzulul Quran", hari ini, Rabu, 17 September 2008; seperti diketahui, tulisan tersebut dimuat bersamaan di HU Suara Karya dan HU Suara Merdeka. Aplagi dengan judul yang sama, substansi sama dan penulis juga sama.

Sebagai informasi tambahan, pihak redaksi (khususnya Pemimpin Redaksi plus Redaktur Opini dan Sekretaris Redaksi) kami mohon pula "berhati-hati" terhadappara penulis Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta dan lembaga lain yang bernaung di bawahnya; sebab merupakan organisasi para penulis "nakal" yang kerap mengirimkan satu artikel ke banyak media.
Bila pihak redaksi memerlukan infonya, siapa saja penulis-penulis "nakal" yang kerap mengirimkan satu artikel ke banyak media--tanpa menunggu jeda waktu masa tunggu--sesuai kaidah etika dunia kepenulisan (jurnalistik); kami memiliki data semuanya.

Dengan kasus tulisan ganda ini, selain pihak redaksi sendiri dirugikan karena "dikibuli" oleh penulis; para pembaca juga amat dibodohi dengan informasi yang "membodohi" opini publik tersebut.
Semoga bermanfaat, salam sukses selalu untuk redaksi HU Suara Merdeka dan HU Suara Karya!

NB : Sebagai bahan komparasi, berikut ini juga saya tampilkan attachment opini ganda yang dimaksud.

Jogja, 17 September 2008
Salam hormat,
ttd,
Instruktur Diklat di Lingkungan TNI-AD dan Kolumnis; PPWI-DIY dan ICRC Jateng-DIY