1 Juni 2011

Pancasila Landasan Etik Berbangsa

It Was Published in Koran Jakarta News Paper

Rabu, 1 Juni 2011

GAGASAN

Syahrul Kirom

Mahasiswa Pascasarjana (S2), Program Master Filsafat, Fakultas Filsafat, UGM, Yogyakarta.

Hari ini, tepatnya tanggal 1 Juni 2011. Bangsa Indonesia memperingati hari kelahiran Pancasila. Karena itu, pada momentum yang sangat berharga saat ini, seluruh elemen masyarakat dan pemimpin bangsa Indonesia harus selalu membumikan nilai-nilai Pancasila dalam segala aspek bidang kehidupan, baik secara sosial, politik, ekonomi, budaya, bahkan pendidikan. Pancasila ini dihadirkan untuk mengatasi kompleksitas persoalan kebangsaan, termasuk dengan kasus korupsi.

Merebaknya praktik korupsi yang akhir-akhirnya dilakukan oleh pejabat negara, anggota DPR RI, merupakan salah satu bukti nyata bahwa praktik korupsi dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia masih terjadi, melainkan isu radikalisme agama masih muncul akibat kurangnya pemahaman mendasar terhadap nilai-nilai Pancasila. Persoalan secara filosofis, apakah sampai saat ini Pancasila juga masih mampu menumpas para koruptor, bahkan untuk mengubah karakter dan sifat-sifat yang tercela dari para birokrat, elite politik, pejabat negara? Lalu di mana peran dan fungsi Pancasila sebagai pengubah karakter bangsa? Pada akhirnya, nilai-nilai Pancasila tidak mampu menyelesaikan persoalan kebangsaan.

Karena itu, masyarakat Indonesia ini harus mampu mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila dalam kepribadian dan karakter bangsa Indonesia, sebagai upaya dalam membangun Indonesia yang lebih baik, sejahtera dan adil. Sebab, hingga saat nilai-nilai Pancasila yang masih luhur, seperti menjunjung tinggi kemanusiaan dan kesejahteraan terhadap seluruh rakyat Indonesia.

Keberadaan nilai-nilai Pancasila sudah seharusnya memberikan pendasaran etika politik dan perilaku etis dalam menjalankan tugas negara dan jabatan. Sebab apa, kelahiran Pancasila itu akan memberikan efek positif, bila ternyata nilai-nilai Pancasila bisa sakti dan mampu membawa setiap karakter serta perubahan tindakan manusia ke arah yang lebih luhur, bukan ke arah tindakan yang korup dan menyelewengkan kekuasaan.

Karena itu, Pancasila yang juga memiliki sumber-sumber ilmu pengetahuan dan memiliki nilai-nilai yang luhur sudah seharusnya dapat diimplementasikan oleh setiap pejabat negara, elite politik, anggota DPR, dan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, persoalan secara filosofis adalah kenapa Pancasila itu sulit diterapkan di dalam diri bangsa Indonesia? Seolah-olah Pancasila itu hanya sebagai sebuah simbol, tapi tak memiliki arti dan sumbangsih dalam menyelesaikan persoalan kebangsaan. Persolan itu yang mungkin seharusnya kita selesaikan secara bersama.

Pancasila sebagai pegangan hidup atau petunjuk itu sudah semestinya bisa diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila disebut juga weltanschaung atau pandangan hidup yang mengarahkan pada tindakan manusia ke arah nilai-nilai kejujuran dan kebaikan. Hal itu menunjukkan bahwa Pancasila merupakan gagasan vital bangsa, sistem nilai dasar, yang derivasinya terbangun ke dalam sistem moral dan sistem hukum negara bangsa, negara kesatuan RI Modern. Sebagai pandangan hidup, Pancasila mengandung sistem normatif perspektif bagi kehidupan manusia.

Pancasila mengandung prinsip-prinsip mulia. Kehendak untuk menegakkan negara Indonesia pastilah didasari oleh niat dan pedoman yang baik. Gagasan-gagasan yang terkandung di dalamnya merangkum kebijaksanaan (wisdom) bangsa Indonesia atas konteks budaya dan agama yang telah berabad-abad lamanya disimpan sebagai norma etis. Unsur-unsur kebaikan tercantum, berurat akar dan menjadi pedoman masyarakat Indonesia.

Menurut Koento Wibisono, untuk mengembangkan Pancasila, pertama harus ada unsur keyakinan, setiap ideologi selalu memuat konsep-konsep dasar yang menggambarkan seperangkat keyakinan yang diorientasikan kepada tingkah laku para pendukungnya untuk mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan, yakni dengan tujuan untuk kemajuan bangsa Indonesia. Kedua, unsur mitos, setiap ideologi selalu memitoskan suatu ajaran dari seseorang atau suatu badan sebagai kesatuan, yang secara fundamental mengajarkan suatu cara bagaimana sesuatu hal yang ideal itu pasti dapat dicapai. Ketiga, loyalitas, setiap ideologi selalu menuntut adanya loyalitas serta keterlibatann optimal para pendukungnya untuk mendapatkan derajat penerimaan optimal, dalam ideologi terkandung juga adanya tiga subunsur, yaitu rasional, penghayatan, dan susila.

Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia mengandung konsekuensi setiap aspek penyelenggaraan negara dan semua sikap dan tingkah laku bangsa Indonesia dalam bermasyarakat dan bernegara harus berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Karena itu nilai-nilai Pancasila itu perlu diamalkan agar negara dan bangsa Indonesia ini bisa mencapai kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Nilai-nilai Pancasila yang terdiri dari lima sila itu memiliki banyak sumber pengetahuan yang sudah seharusnya mampu diimplemenatsikan dalam kehidupan manusia, dan sumber pengetahuan Pancasila itu harus dijadikan petunjuk terhadap manusia dalam melakukan tindakan. Pengetahuan yang terkandung di dalam Pancasila sesungguhnya sudah cukup untuk mengatasi persoalan kebangsaan dan untuk membawa kemajuan bangsa Indonesia yang lebih. Jika pengetahuan-pengetahuan Pancasila itu diterapkan secara asli dan benar-benar (genuine) terhadap manusia di dalam menjalankan semua aktivitas dan bahkan dalam menjalankan tugas negara.

Dengan demikian, Pancasila adalah etika dan moral bangsa Indonesia dalam arti merupakan inti bersama dari berbagai moral yang secara nyata terdapat di Indonesia. Seperti diketahui, di tanah air kita terdapat berbagai moral sesuai dengan adanya berbagai agama dan kepercayaan. Karena itu, nilai-nilai Pancasila itu sebenarnya sudah cukup untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan, bila seluruh elite politik, pejabat negara, dan anggota DPR mampu mematuhi dan melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Semoga.

Pancasila dan Korupsi Pejabat Negara

It Was Published in Koran Merapi News Paper

Rabu, 1 Juni 2011

Nguda Rasa

Syahrul Kirom

Penulis : Mahasiswa Pascasarjana (S2), Program Master Filsafat, Fakultas Filsafat, UGM Yogyakarta dan Dosen, Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU) Khozinatul Ulum, Blora, Jawa Tengah

Pada momentum hari kelahiran pancasila 1 Juni 2011 ini, pancasila sebagai ideologi, pandangan hidup (way of life) dan nilai-nilai luhur serta karakter bangsa Indonesia semakin dipertanyakan, apalagi tingkat keampuhan dan pancasila ? Sebab apa, nilai-nilai pancasila tidak mampu menyelesaikan persoalan kebangsaan dari aspek ekonomi, sosial, politik dan pendidikan.

Sementara itu, permasalahan aktual yang akhir-akhir ini kita lihat di televisi, mengenai merebaknya praktik korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara seperti praktik korupsi yang di duga melibatkan Wafid Muharram sebagai Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga membuat peradaban bangsa Indonesia ini semakin hancur. Sehingga ketika sikap-sikap korup itu selalu menjadi budaya bangsa Indonesia, maka negara Indonesia akan mengalami kesulitan untuk maju dan bersaing dengan negara lain.

Menguatnya praktek korupsi di Indonesia itu disebabkan para pejabat negara, elite politik itu tidak mampu mengamalkan nilai-nilai pancasila. Bahkan mereka sangat apatis, dan tidak peduli dengan apa itu pancasila. Pancasila dijadikan sebagai sebuah identitas saja. Tapi, tidak pernah diimmplementasikan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Padahal, sebagaimana yang kita ketahui secara bersama. Pancasila sebagai sebuah pandangan hidup (way of life) itu memberikan suatu petunjuk bagi masyarakat Indonesia. Pancasila yang mempunyai nila-nilai luhur itu sudah seharusnya mampu dijadikan alat dan tindakan dalam setiap mengambil keputusan dan kebijakan di dalam sistem pemerintahan di Indonesia.

Para pejabat negara dan elite politik tidak akan melakukan korupsi jika mereka mampu memahami sila Pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, di sini yang dimaksudkan bahwa Ketuhanan Itu memiliki nilai-nilai yang terkandung yaitu ketakwaan dan keimanan terhadap Tuhan. Sehingga sudah sepatutnya mereka yang melakukan korupsi harus takut kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Karena itu, sudah saatnya lagi nila-nilai pancasila itu harus diimplementasikan oleh seluruh masyarakat Indonesia, jati diri bangsa Indonesia harus dibangunkan kembali dengan mengingat lagi nilai-nilai etis dan nilai-nilai luhur di dalam kandungan pancasila. Sehingga pancasila perlu direkontektualisaskinan dan direvitaliasasi kembali sebagai upaya untuk memecahkan persoalan kebangsaan yang kini di hadapi oleh bangsa Indonesia, mulai dari praktek korupsi dan masalah ekonomi, sosial, politik.

Sementara itu, di dalam sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, di dalam sila kelima itu mengandung banyak nilai luhur, di mana setiap manusia itu harus selalu memperhatikan setiap kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyaty Indonesia. Padahal, sikap korup itu sama saja dengan melanggar prinsip-prinsip moral dari kesejahteraan dan keadilan sosial. Sebab apa, yang dipentingkan dari sikap korup, pada hakekatnya adalah kepentingan individu, bukan kepentingan bersama.

Karena itu, filsafat pancasila itu harus mampu menyelesaikan persoalan tersebut, di mana pancasila sebagai welstanchauung harus-harus benar diaplikasikan terhadap seluruh masyarakat. Rasionalisme di dalam menerapkan dan mengembangkan pancasila sebagai sebuah ideologi harus mampu menjawab persoalan yang hadapi bangsa Indonesia saat ini. Nila-nilai yang terkandung di dalam pancasila harus selalu dijadikan langkah dasar di dalam manusia bertindak dan untuk menyelesaikan problem-problem di dalam kehidupan manusia.

Dengan demikian, untuk mengatasi persoalan kebangsaan dalam upaya pengembangan pancasila, maka dari itu diperlukan beberapa faktor. Pertama, yakni harus ada proses penyadaran terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalam nilai-nilai pancasila, di mana nilai-nilai pancasila memiliki banyak makna bagi kehidupan umat manusia. Penyadaran bisa dilakukan kepada masyarakat dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan kepada pejabar negara, bahwa pancasila sebagai pandangan hidup harus selalu diikutsertakan dalam setiap mengambil kebijakan pemeriintah, sehingga diharapkan dengan penyadaran melalui nilai-nilai luhur pancasila perilaku korupsi bisa direduksi.

Sebagai kesadaran (conciousness) dan atas dukungan kerja sama cipta-rasa-karsa, pengetahuan menimbulkan disiplin kehendak kejiwaan (sesuai dengan bawaan karsa kejiwaan untuk berbuat baik) atau wajib untuk melaksanakan pengetahuan yang kebenaran/ kenyataanya telah dipastikan oleh cipta rasa dan telah sesuai dengan rasa keindahan kejiwaan, bagi pengetahuan tentang pancasila sebagai kesadaran ideologis menimbulkan wajib ideologis (Ferrw Edwin, dkk, 2006:157). Pengetahuan tentang pancasila sebagai kesadaran pancasila dapat menimbulkan kelanjutan transformasi dalam keadaan kepribadian dan jiwa manusia.

Kedua, memperbaiki mental bagi pejabat negara agar tidak selalu melakukan korupsi yaitu dengan selalu menanamkan nilai-nilai pancasila. Dengan memberikan pengetahuan mengenai nilai-nilai pancasila. Hal ini akan meningkatkan pengalaman seseorang sehingga menambah pengalaman atau peresapan pengetahuan tentang pancasila itu dalam mentalitas, lebih meningkat dalam watak dan dalam tingkatan yang lebih tinggi yakni di dalam hati-budi-nurani.

Ketiga, menanamkan nilai-nilai pancasila itu ke dalam hati nurani, sebab apa, jika di dalam hati nurani saja tidak memiliki kepedulian dan empati terhadap nilai-nilai luhur dari ontologi pancasila, maka susah rasanya untuk mengimplementasikan makna pancasila di dalam kehidupan masyarakat. Maka dari itu, yang perlu dibenahi adalah di dalam nurani manusia. Sehingga penyadaran nilai-nilai pancasila tidak hanya dilakukan melalui rasio dan pikiran manusia saja. Akan tetapi, harus juga menyentuh hati nurani manusia.

Pancasila adalah inheren kepada eksistensi manusia sebagai manusia terlepas dari keadaan konkretnya. Untuk menunjukkan “akses” ke arah Pancasila, Driyarkara memulai dengan eksistensi manusia yang cara mengadanya ialah ada bersama dalam, bukan antara” Aku-Engkau” (Slamet Sutrisno, 2006:76). Karena itu, jika nilai-nilai pancasila itu sudah inheren di dalam diri manusia, kemungkinan persoalan-persoalan kebangsaan itu dapat diselesaikan seperti korupsi yang melanda negara Indonesia.

Oleh karena itu, kebutuhan kebangsaan saat kini dan mendatang untuk menyelesaikan masalah-masalah di Indonesia, baik itu dari bidang, sosial, politik, ekonom dan budaya adalah dengan memberikan pemahaman secara komprehensif dan filofosis mengenai nilai-nilai pancasila dalam pemenuhan eksplanasinya di kalangan elite politik, pejabat negara dan birokrat. Mereka perlu didik mengenai nilai-nilai pancasila agar mereka tidak melakukan praktek korupsi dan kecurangan lainnya di dalam sistem demokrasi di Indonesia. Semoga.

15 Mei 2011

STUDI BANDING CERMIN HEDONISME DPR

It Was Published in Kontan News Paper

Senin, 9 Mei 2011

OPINI

Syahrul Kirom, Mahasiswa Pascasarjana (S2), Program Master Filsafat, Fakultas Filsafat, UGM, Yogyakarta dan Staf Pengajar, Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU) Khozinatul Ulum Blora, Jawa Tengah.


Studi banding anggota DPR RI ke beberapa negara di Eropa seperti di Australia, Amerika Serikat, dan Prancis perlu mendapat sorotan dan kritikan yang lebih tajam. Pasalnya, tindakan anggota DPR RI hanya menghabiskan uang rakyat. Tindakan itu semakin tidak mencerminkan ketidakpedulian pejabat negara terhadap rakyat Indonesia yang sedang susah.

Adapun anggaran yang digunakan, anggaran kunjungan Komisi I ke lima negara mencapai Rp 5,7 miliar dengan rincian ke Amerika Serikat (1-7 Mei) senilai Rp 1,4 miliar, ke Rusia Rp 1,2 miliar, Turki (16-22 April) Rp 879 juta, Prancis (12-20 Apri) menghabiskan Rp 944 juta, dan ke Spanyol Rp 1,2 miliar. Adapun, anggaran Komisi VIII untuk berkunjung ke Cina dan Australia pada 17-24 April mencapai Rp 1,4 miliar dengan rincian ke Cina Rp 668 juta dan Australia Rp 811 juta. Komisi VIII ke Cina dan Australia dalam rangka menyusun Rancangan Undang-undang Fakir Miskin (http://berita.liputan6.com)

Realitas itu, disadari atau tidak, membuktikan bahwa para wakil rakyat telah melakukan pemborosan uang rakyat. Tanpa ada orientasi dan output yang jelas bagi kepentingan negara dan rakyat. Selain itu, terkadang ada para anggota DPR yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan jasa itu untuk bersenang-senang, rekreasi dan bersafari ke tempat yang megah.

Bukankah lebih baik bila uang rakyat yang dipakai pergi ke Eropa itu disumbangkan kepada rakyat miskin. Fenomena studi banding anggota DPR ke luar negeri itu dinilai oleh masyarakat terlalu berlebihan dan berfoya-foya, juga mendeskreditkan kaum marginal. Mereka sudah tidak peduli dengan nasib rakyat, yang mereka pikirkan adalah sudah seberapa banyakkah uang yang masuk ke dalam kantongnya.

Tak ayal lagi, jika studi banding yang tidak jelas ke luar negeri atau Eropa telah membuat masyarakat selalu senantiasa bertanya-tanya dan curiga kepada para anggota DPR. Hal itu semakin menunjukkan ketidakjelasan bahwa kinerja mereka semakin carut-marut dalam mengatasi persoalan bangsa Indonesia.

Plesiran anggota DPR RI ke Eropa semakin jelas memberikan narasi pada kita bahwa mereka tidak punya hati nurani dan nalar yang tajam dalam setiap menghadapi dan memecahkan masalah bangsa Indonesia. Meminjam istilahnya Gus Dur para pejabat negara masih bersikap kekanak-kanakan. Keberanian mereka untuk melakukan studi banding justru akan menjadi boomerang dan cambuk bagi masyarakat Indonesia.

Maka dari itu, kunjungan para anggota DPR itu hanya akan menciptakan unsur perseteruan dan jurang pemisah antara kaum borjuis dan proletar. Tindakan itulah yang akan menciptakan suasana munculnya beragam aksi demo oleh elemen masyarakat, melainkan juga memperkeruh kondisi bangsa Indonesia.

Tinjauan Filosofis

Sungguh sikap yang irrasional dan buta mata hatinya di tengah-tengah merebaknya himpitan derita rakyat yang melanda bangsa Indonesia mulai dari bencana banjir lumpur panas, gempa bumi, kelaparan, dan bahkan kekeringan. Mereka tega-teganya masih bersikeras dan bersikukuh serta ngotot sekali untuk berkunjung ke Eropa yang katanya kunjungan itu guna kepentingan rakyat, memperbaiki perekonomian negara kita dan memajukan keadaan bangsa Indonesia.

Padahal, studi banding itu lebih mengandung nuansa berwisata. Apalagi selama ini tidak ada kinerja pemerintah yang berarti dari anggota DPR RI terutama untuk kepentingan bangsa Indonesia. Studi banding itu sangat tidak efektif. Semua nonsense belaka dan hanya sebuah apologi saja. Rakyat hanya dikibuli dan studi banding itu hanya untuk berwisata saj. Pada titik itulah sikap hedonis yang ditonjolkan oleh anggota DPR RI mulai terlihat dan telah menjiwai alam pikirannya. Jika seseorang bersikap baik hanya untuk memuaskan keinginanya berarti ia telah mementingkan ego pribadinya.

Berpijak dari asumsi tersebut, kiranya perlu dikemukakan sebuah catatan kritis. K Bertens dalam bukunya Etika (2003) pernah menyatakan apakah manusia dalam hidupnya hanya selalu mencari kesenangan duniawi?apakah manusia menurut kodratnya hanya mencari kesenangan dalam arti tidak lagi menjadi manusia (tapi malaikat atau apa), jika manusia tidak mencari kesenangan? Apakah tidak mungkin juga bila manusia membaktikan seluruhnya hidupnya demi kebaikan orang lain, dengan niat murni tanpa pamrih? Atau setidak-tidaknya untuk memperoleh kebahagian kekal di surga sebagai pahala atas jerih payahnya hidup di bumi ini.

Menurut Aristippos seorang filsuf asal Yunani, sekaligus pencetus paham hedonisme ini mengatakan bahwa kesenangan manusia sebenarnya masih bersifat badani, aktual, dan individual. Perlu upaya pengendalian dan kontrol diri. Akan tetapi, yang lebih signifikant dalam perspektif filosofis adalah jika manusia itu bisa mempergunakan kesenangan dengan baik untuk membaktikan hidupnya dengan melayani orang yang paling miskin dan membutuhkan pertolongannya justru itu akan lebih bernilai dan memiliki arti (meaningfull).

Pertanyaan yang perlu diajukan ke meja sidang DPR adalah kewajiban manakah yang harus diutamakan, melaksanakan kunjungan ke Eropa atau luar negeri dengan menghabiskan uang rakyat atau menolong rakyatnya yang menderita? Apalagi saat ini saat ini kita disuruh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk berhemat, justru sebaliknya para pejabat negara berekreasi dan bersenang-senang ke luar negeri menghabiskan uang rakyat. Lalu di mana pertanggungjawaban studi banding, DPR RI harus Jujur. Semoga.

15 April 2011

GEDUNG DPR DAN KRISIS HATI NURANI

It Was Published in Suara Pembaruan News Paper

Kamis, 14 April 2011

OPINI

Syahrul Kirom, Mahasiswa Pascasarjana (S2), Program Master Filsafat, Fakultas Filsafat, UGM Yogyakarta



Oleh : Syahrul Kirom*

Lagi-lagi wakil rakyat kita di DPR RI membuat ulah dan meresahkan masyarakat Indonesia. Rencana pembangunn gedung baru DPR RI itulah sehingga menimbulkan keresahan dan kecemberuan sosial dari bangsa Indonesia. Apalagi, pembangunan gedung tersebut diperkirakan akan memakan biaya Rp. 800 juta per ruang anggota dan total biaya pembangunan fisiknya mencapai Rp. 1,138 triliun.

Pembangunan gedung DPR yang sangat mewah itu sangat kontroversial, di tengah-tengah kota Jakarta, banyak pemukiman yang kumuh di kolong-kolong Jembatan dan rumah-rumah di sudut perkotaan kian ambruk serta kemiskinan yang masih banyak melanda bangsa Indonesia. Karena itu, sudah seharusnya anggaran pembangunan gedung mewah itu bisa di anggarkan terhadap perumahan yang kumuh di kota-kota besar seperti di Jakarta, tentunnya anggaran itu akan lebih memiliki makna yang berarti (meaningfull) bagi kesejehteraan masyarakat Indonesia.

Karena itu, elite politik di DPR harus memiliki kesadaran moralitas yang tinggi, nalarnya tidak pendek hanya untuk kepentingan jangka pendek. Kepentingan rakyat harus lebih diutamakan, Aristoles dalam karyanya ”Nichomachean Ethic” (1969), mengatakan, bahwa etika keutamaan harus lebih didahulukan, dalam artin keutamaan, untuk kemakmuran dan kesejahteraan harus lebih dulu dipikirkan daripada untuk kelompok anggota DPR yang sejatinya adalah hanya pelayan rakyat Indonesia, wakil rakyat, sudah seharusnya merakyat.

Tidak Manusiawi

Pembangunan gedung mewah yang menghabiskan dana triliunan itu menyiratkan bahwa elite politik di DPR tidak mempunyai “hati nurani”, kesadaran dalam berpikir secara manusiawi mulai tumpul, nalurinya sangat tidak manusiawi. Anggota DPR RI tidak mempunyai perasaan moral. Padahal, jika anggota DPR RI itu seperti manusia, tentunya, mereka memiliki hati nurani, bukan seperti hewan liar, yang menuruti ambisi kekuasaan dan mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya. Karena itu, David Hume, seorang filsuf modern, mengatakan bahwa hidup yang baik adalah hidup yang ditimbulkan oleh perasaan moral atau hati nurani. Perasaan moral atau hati nurani menjadi kekuatan dan landasan filosofis munculnya moralitas di dalam diri manusia. Perasaan moral ini menegaskan pada manusia, agar manusia di dalam setiap melakukan tindakan itu harus didasarkan atas perasaan moral, bukan karena nafsu kekuasaan dan kepentingan individu ?

Meminjam analisis Immanuel Kant, hati nurani merupakan tuntutan suara hati yang bersifat mutlak yang harus dilaksanakan. Setiap kita harus memenuhi suara hati, misalnya korupsi adalah perbuatan yang jahat dan yang buruk. Karena itu, ketika kita sudah mengetahui bahwa korupsi adalah perbuatan yang merugikan orang lain, maka tindakan suara hati harus menolak dan kita tidak boleh melakukan korupsi. Sebab, tindakan itu sudah tidak sesuai dengan tuntutan dan kewajiban hati nurani.

Hati nurani merupakan salah satu sumber kesadaran bagi elite politik. Bagaimana anggota DPR RI itu harus bertindak secara baik bagi kepentingan bangsa Indonesia, bukan untuk segelintir kelompok tertentu. Hati nurani menjadi kunci utama bagi seseorang dalam menjalankan atau melakukan tindakan yang etis.

Suara hati menjadi faktor paling mendasar dalam membangun kesadaran moral manusia. Suara hati nurani harus selalu ditaati dan wajib dilaksanakan, apabila pembangunan gedung DPR itu tidak perlu dilakukan, setidak tidak wajib dilaksanankan dan sudah seharunya pembangunan gedung DPR yang mewah itu harus dibatalkan. Dengan menaati dan menuruti suara hati, dalam hal melakukan yang baik, itu harus dijalankan. Apabila tidak dilaksanakan itu adalah kebersalahan dan itu bentuk pelanggaran etis.

Kewajiban memenuhi hati nurani, akan memberikan efek positif, dalam membentuk karakter dan etika manusia. Karena itu, ketika orang merasa bersalah sudah seharusnya mereka malu dan tidak menjalankan perbuatan yang salah. Sebab, hal itu telah menyalahi suara hati manusia. Dengan begitu, suara hati ini mampu memberikan kesadaran terhadap anggota DPR untuk membatalkan rencana pembangunan gedung DPR. Karena itu, kualitas elite politik di DPR RI sudah seharusnya diperbaiki dahulu, bahkan kebijakan-kebijakannya pun harus pro rakyat Indonesia, bukan pro kekuasaan, kekuasaan yang seharusnya untuk mengabdi kepada rakyat Indonesia, sudah seharusnya dilaksanakan.

Karena itu, kekuasaan itu ada sebagai tuntutan dan kewajiban untuk menjalankan amanah dari suara hati yang harus dipenuhi untuk kepentingan bangsa Indonesia. Dengan begitu, jika pembangunan gedung mewah DPR dirasakan tidak sangat penting, yang sudah semestinya dibatalkan, jika pembangunan gedung DPR itu tetap dijalankan sangat tidak etis. Alangkah lebih baik lagi, jika anggaran dana pembangunan gedung DPR diberikan untuk kesejahteraan dan kemakmuran terhadap rakyat Indonesia itu akan menjadi lebih baik. Akan tetapi, elite politik di DPR RI tidak mampu memberikan yang kesejahteraan terhadap kepentingan masyarakat Indonesia, maka tunggu saatnya bila bangsa Indonesia ini akan mengalami kehancuran dan keterpurukan. Semoga.

25 Maret 2011

TINJAUAN FILOSOFIS DAN GOYAHNYA BUMI

It Was Published in KONTAN News Paper

Sabtu, 12 Maret 2011

OPINI

Syahrul Kirom, Mahasiswa Pascasarjana (S2), Program Master Filsafat, Fakultas Filsafat, UGM, Yogyakarta



Bencana makin sering terjadi di bumi ini, dan Indonesia adalah termasuk salah satu negara yang paling banyak ditimpa musibah bencana alam, baik itu gempa bumi dan tsunami, bencana banjir, banjir bandang, tanah longsor dan sebagainya. Tak Cuma itu, kemarin, gempa tsunami juga melanda di Jepang 8,9 SR dan bahkan diperkirakan akan melanda Pidie, Aceh. Bencana demi bencana yang melanda bumi kita Indonesia sudah seharusnya memberikan kesadaran kritis kepada pemerintah pusat dan daerah untuk segera melakukan upaya pencegahan dan perbaikan dalam aspek lingkungan hidup.

Pertanyaan secara filosofis kenapa hari demi hari bumi ini semakin retak dan rentan terjadinya gempa dan bencana alam ini? Ada apa dengan bumi ini ? faktor faktor itulah yang sejatinya perlu kita pikirkan bersama. Jangan-jangan terjadinya gempa bumi itu, akibat dari daya dukung bumi, yang tak mampu lagi menerima populas manusia yang begitu banyak. Sehingga menyebabkan bumi semakin lemah dan tak berdaya menerima kuasa manusia yang selalu mengeruk isi bumi sampai tuntas.

Ada beberapa faktor yang juga mungkin menyebabkan bumi ini semakin mudah terjadi bencana alam. Pertama, keberadaan mobil, sepede motor yang sangat banyak misalnya di ibu kota Jakarta justru semakin memperkeruh keadaan yang ada di dalam bumi, sebab apa, hal itu membuat bumi semakin tercemar oleh polusi yang dihasilkan dari kendaraan bermotor dan mengakibatkan kerusakan lingkungan, melainkan jika para pengendara mobil dan sepeda montor yang banyak dan membutuhkan bensin dan oli, tentunya itu juga akan menguras isi bumi sebagai bahan bakar minyak dan gas bumi. Lalu yang terjadi adalah eksploitasi sumber daya energi dan mineral yang berlebihan, tanpa melihat dampak yang ditimbulkan pada kemudian hari.

Kedua, penyebab rentanya bumi, itu juga diakibatkan karena adanya banyak bangunan industri dan pelebaran rumah-rumah di Kota sehingga penghijauan tidak ada dan bahkan lebih parahnya segala bentuk ruang-ruang hijau itu dibabat habis dibuat mall-mall besar dan industri perusahaan yang besar. Karena itu, akibat adanya pengeboran tanah-tanah demi pelabaran bangunan rumah dan industri itulah yang sejatinya bumi ini disakiti oleh manusia, tanpa memperhatikan penghijauan-penghijauan untuk bumi bernafas. Dengan demikian, kita berharap agar tindakan peduli lingkungan tdak memunculkan gempa bumi dan banjir di Ibu Kota Jakarta.

Ketiga, padatnya populasi manusia di Indonesia mungkin juga bisa menjadi penyebab salah satu daya dukung bumi semakin melemah, sehingga bumi dan isi alam semesta ini selalu dikuras karena kebutuhan manusia terhadap sumber daya energi dan mineral. Karena itu, populasi manusia harus dikurangi sebagai upaya dampaknya berlebihan atas kebutuhan mansuai. Dengan begitu, kebutuhan ekonomi kapitalisitisk itulah yang terjadi terhadapa pola pikir mansuai sebagai cara-cara memenuhi kebutuhan manusia dengan melakukan eksplorasi dan ekploitasi atas perut bumi.

Keempat, keberadaan peralatan teknologi yang semakin canggih, sungguh telah menciptakan dan bahkan membuat bumi menyadarkan akan posisinya yang melemah, hal itu disebabkan teknologi, dalam konteks ini bisa berupa AC, Genset, listrik, dan alat lain yang meruntuhkan bumi, karena tenaga di dalam bumi ini disedot untuk kepentingan teknologi. Karena itu, pengurangan terhadap penggunaan alat teknologi itu harus dilakukan oleh sebagian umat manusia. Kalau bisa kita harus melakukan hemat energi dari bumi dan hemat listrik, untuk mengurangi terjadi banyak becana alam.

Akibat dari tindakan manusia yang terlalu berlebihan dalam menggunakan berbagai teknologi, seperti listirik, mobil yang berlebihan. Hal itu menyebakna dukungan terhadap bumi ini semakin melemah, sehingga menimulkan adanya degradasi tanah diberbagai daerah, kerusakan karena polusi yang parah yang disebabkan dari asap kendaraan, sampah-sampah lainnya dan hilangnya keanekaragaman hayati, penurunan muka air, berkurangnya populasi burung dan kehidupan liar (spesies hewan lainnya), dan terjadinya pemanasan global (global warming).

A.J.McMichael dalam, “Planetary Overload: Global Enviromental Change and The Health of Human Species” (1993), menegaskan akibat dampak buruk dari pembangunan rumah dan tempat industri yang berlebihan, serta keberadaan mobil-mobil itu akan menyebabkan beberapa hal di antaranya yakni, habisnya berbagai bahan yang tidak bisa diperbarui, kontaminasi lingkungan oleh bahan-bahan beracun, berkuranganya kestabilan dan produktivitas sistem biosfer. Hal itu yang menyebabkan bumi memuntahkan perut buminya dengan gejala alam seperti bencana alam dan meletusnya gunung merapi.

Karena itu, kita sudah seharusnya menyadari akan hal itu semua, sebagai upaya untuk memahami dan menghayati isi bumi, bahwa perut bumi semakin habis karena dikuras oleh kebutuhan manusia yang terlalu berlebihan. Dengan begitu, eksploitasi terhadap sumber daya alam perlu direduksi oleh seluruh masyarakat dan pemerintah pusat.

Agar bumi Indonesia bisa terawat dan masih menyegarkan, bahkan kita perlu menggalakan cintai bumi pertiwi Indonesia, hindari penebangan hutan secara liar, praktek pengurasan alam berlebihan dan hemat listrik, kurangi kendaraan bermobil, sediakan lahan penghijauaan untuk pernafasan bumi Indonesia. Dengan tujuan untuk menghindari bencana alam, gempa bumi dan tsunami serta meletusnya gunung-gunung di Indonesia. Semoga.

12 Februari 2011

Membongkar Korupsi Melalui Hipnotis

It Was Published In Kontan News Paper

Senin, 7 Februari 2011

OPINI

Syahrul Kirom, Mahasiswa Pascasarjana (S2), Program Master Filsafat, Fakultas Filsafat, UGM Yogyakarta

Menonton acara “Uya Emang Kuya” di SCTV, dengan menghipnotis seseorang memberikan suatu inspirasi yang sangat menarik, bagaimana mengungkapkan kebenaran yang muncul dalam alam bawah sadar seseorang. Sehingga yang dinyatakan bukan berdasarkan rasional dan pikiran, yang cenderung penuh dengan kebohongan.

Cara hipnotis diharapkan bisa diterapkan kepada seseorang yang terlibat berbagai kasus mafia hukum, dan kasus hukum lainya yang merugikan keuangan negara. Dengan tujuan, untuk menguak kebenaran hukum.

Menurut wikipedia Indonesia, istilah hipnotis pertama kali dicetuskan oleh James Braid pada tahun 1843. Hipnotis adalah keadaan di mana proses dilakukan. Di mana seseorang membuat atau menyebabkan seseorang berada dalam keadaan terhipnotis. Orang yang terhipnotis dipercaya berada dalam keadaan mental di mana perhatiaanya menjadi terfokus, terkonsentrasi dan pikirannya lebih mudah menerima permintaan atau suggesti. Melainkan, seseorang yang terhipnotis bisa menjawab pertanyaan yang diajukan secara jujur.

Masyarakat Indonesia tidak percaya dengan institusi penegakan hukum di Indonesia, karena di sana banyak terjadi pertarungan politik dan kekuasaan, sehingga untuk mengungkapkan kebenaran sungguh sulit diperoleh. Kita terasa sulit untuk menyandarkan aparat hukum di Indonesia, karena sangat susah sekali menegakkan hukum secara jujur dan adil, jika uang dan politik sudah bermain dalam menangani kasus-kasus besar di Indonesia yang menyebabkan kerugian uang negara. Misalnya terhadap kasus mafia hukum dalam perpajakan, atau kasus Bank Century,

Karena itu, metode Hipnotis sangat tepat untuk menginvestigasi setiap pelaku korupsi, kolusi dan mafia hukum di Indonesia, sehingga bisa diperoleh kebenaran sesuai dengan realitas yang berasa dalam nurani alam bawah sadar seseorang yang terlibat kasus tindakan kejahatan luar biasa yang merugikan uang negara dan uang rakyat.

Menghemat Anggaran

Sigmund Freud, melalui teorinya alam bawah sadar, ini menjelaskan bagaimana cara mengungkap kesadaran manusia yang berada di bawah “alam tak sadar” (unconcious), untuk mengendalikan perilaku seseorang. Dasar metode ini adalah untuk mengungkap masalah masalah yang ditekan oleh diri seseorang namun terus mendorong agar keluar secara tidak di sadari.

Oleh karena itu, jika diri seseorang yang terlibat berbagai kasus besar terkait dengan persoalaan kebangsaan bisa menerapkan cara hipnotis, untuk mengetahuai tingkat kejujuran dan kebenaran, melainkan juga agar tidak berbohong, dan mampu mengatakan sejujurnya yang ada di dalam bawah sadar manusia mengenai segala hal kejahatan yang telah dilakukannya.

Metode hipnotis dalam mengungkapkan kasus besar dalam persoalan kebangsaan ini akan menghemat anggaran negara (APBN). Kita juga tidak perlu repot-repot membuat sekretariat gabungang (setgab), pembentukan panitia hak angket terhadap kasus Bank Century atau kasus Pajak. Pembentukan panitia ini- itu atau setgab jelas-jelas menyebabkan pemborosan keuangan negara. Alangkah lebih baiknya, bila uang negara itu digunakan untuk membantu kemiskinan di Indonesia.

Dengan begitu, cara hipnotis adalah tawaran solutif dalam menyelesaikan persoalan kebangsaan yang penuh dengan cara-cara yang tidak baik, bercampur antara politik dan kekuasaan, dan penuh kekotoran, sehingga cara-cara alternatif hipnotis dapat untuk mengungkapkan kebenaran, siapa saja yang terlibat salah.

Kita tidak mungkin menyandarkan pada institusi aparat penegak hukum di Indonesia, karena kita sudah distrust terhadap penegakan hukum. Banyak kasus hukum dan kasus besar lain yang belum terungkap, dan dibiarkan saja tanpa ada kejelasan lebih lanjut.

Menurut saya, dalam menegakkan hukum di Indonesia diperlukan metode hipnotis dan praktek hipnotis wajib diImplementasikan di dalam institusi negara seperti di Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Tinggi Negara Republik Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia dan bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dengan begitu, cara-cara hipnotis lewat alam bawah sadar diharapkan dapat mengungkapkan berbagai kasus besar yang sekarang masih misterius dan simpang siur. Tanpa harus saling menyalahkan satu sama lain, serta melempar tanggung jawab.

Kita bercita-cita, penerapan metode hipnotis dalam penegakan hukum di Indonesia dapat membawa kemajuan bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik, jujur, adil, dan sejahtera. Semoga.

8 Januari 2011

Pancasila, Mafia Hukum dan Bank Century

It Was Published in Koran Merapi
Sabtu, 8 Januari 2011

Kolom Nguda Rasa

Syahrul Kirom, Mahasiswa Pascasarjana (S2), Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, UGM Yogyakarta

Selamat datang tahun baru 2011, pada momentum tahun baru ini, sudah seharusnya penegakan hukum di Indonesia dijadikan langkah awal dalam menyelesaikan kasus mafia hukum dan kasus bank century. Karena itu, pancasila sebagai sebuah dasar ideologi negara dan pandangan hidup (way of life) sudah seharusnya bisa dijadikan paradigma bersama dalam membangun bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik, dengan tujuan memperbaiki penegakan hukum di Indonesia.

Akan tetapi, persoalannya secara filosofis, nilai-nilai pancasila yang sudah begitu baik dan nilai luhur dengan adanya prinsip keadilan sosial, kemanusiaan yang adil dan beradab belum mampu menyentuh kesadaran berpikir para penegak hukum seperti polisi, hakim dan, pengacara, jaksa agung. Tidaknya adanya kesadaran akan penghayatan makna filosofis dari nilai-nilai pancasila bagi para penegak hukum ini akhirnya menciptakan kelumpuhan dalam bidang hukum.

Merebaknya kasus korupsi dan munculnya mafia hukum di Indonesia seperti yang menimpa Gayus Tambunan, seorang pegawai di Direktorat Perpajakan. Ini disebabkan karena para penegak hukum mudah disuap dan tidak mampu mengamalkan nilai-nilai filosofis dari pancasila. Oleh karena itu, tulisan paper ini akan berusaha merefleksikan makna filosofis dari nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila terhadap paradigma penegakan hukum di Indonesia ?

Penegakan hukum yang saat ini terjadi Indonesia sangat carut marut, karena para penegak hukum, hanya menekankan pada aspek material dalam artian honor berapa yang akan diterima ketika membela klainnya yang salah tersebut dan bahkan pihak Pengadilan Tinggi atau Jaksa serta hakim mudah sekali disuap. Mereka tidak melihat segala sesuatu sesuai dengan kaidah yang hukum yang berlaku, kualitas penegakan hukum di Indonesia masih sangat rendah. Karena itu, rendahnya penegakan hukum di Indonesia disebabkan paradigma yang salah kaprah dan tidak merenungkan akan esensi filosofis dari pancasila.

Hal itu semua disebabkan, pemahaman penegakan hukum di Indonesia tidak dilandasi oleh nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam pancasila. Sebagaimana kita ketahui, penegakan hukum, hanya akan bisa tegak dan adil, sesuai dengan pemberian uang kepada para penegak hukum. Hukum saat ini telah dinodai oleh praktek kuasa ekonomi dan politik. Sehingga penegakan hukum sulit ditegakkan karena paradigma yang di gunakan dalam menegakkan hukum hanya berdasarkann sejauh mana pemberian uang itu diberikan.

Dengan demikian, paradigma dalam memahami esensi hukum yang bersumber dari nilai-nilai pancasila tidak mampu menyentuh pada “kesadaran”, “Nurani” dan “Proses Berpikir” oleh polisi, hakim dan penegak hukum di Indonesia. Nalar ekonomi-politis dalam menegakkan hukum ini yang justru merugikan pihak rakyat kecil dan negara Indonesia. Sebab apa, paradigma itu telah melunturkan kinerja penegakan hukum.

Karena itu, paradigma penegakan hukum memerlukan kesadaran dalam diri manusia dengan selalu berpijak pada nilai-nilai pancasila yang sudah semestinya ini dijadikan landasan ontologis dalam membina penegakan hukum di Indonesia. Segala keputusan dan penyelidikan harus dilambari atas dasar dan bersumber dari sila-sila dalam pancasila, yang memiliki makna luhur sebagai upaya menjalankan roda demokrasi dalam mewujudkan tegaknya hukum di Indonesia.

Hukum bertujuan untuk menjaga ketertiban masyarakat agar kehidupan sehari-hari dapat berjalan dengan benar, teratur dan aman. Hukum mempunyai fungsi untuk membela keadilan bagi seluruh masyarakat dan bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Karena itu, hukum harus selalu diikuti dengan sanksi riil. Dengan demikian, kejahatan korupsi dapat berkurang, masyarakat merasa lebih aman dan mendapatkan perlindungan

Karena itu, keberadaan hukum yang sudah dibentuk dengan tujuan untuk mengatur ketertiban bangsa Indonesia harus segera dilaksanakan, ketika hukum dimaknai hanya untuk kekuasaan atau bahkan kepentingan politik. Hal inilah yang memunculkan kerusakan pada nalar penegak hukum, sehingga melahirkan para hakim-hakim yang mudah ditekan secara politis dan disuap.

Penegak hukum jangan pernah takut terhadap siapa saja, termasuk pada penguasa, pengusaha dan pejabat negara, semua harus diproses berdasarkan pada hukum. Hal itu telah diajarkan dalam pancasila yang harus juga memegang teguh terhadap hukum Tuhan, hukum kodrat dan hukum filosofis. Kalau memang ada pejabat negara yang salah harus dihukum dan dijatuhi sanksi. Jangan sebaliknya, malah dilindungi. Lembaga penegakan hukum akan menjadi lebih baik, bila penegakan hukum mempunyai visi dan misi yang
berpandangan pada nilai-nilai filosofis pancasila.

Dengan demikian, selama ini kesadaran manusia masih berkembang, selama itu pula manusia Indonesia harus mengamalkan nila-nilai pancasila. Mengingat Pancasila itu titik tolaknya eksistensi, berada pada manusianya, sebagai penegak hukum. Maka kita akan selalu dibawai ke sikap yan realistis dan objektif. Dengan demikian, kritik yang dilakukan oleh Herbert Feith, yakni bahwa kita sering lari kepada moralisme dalam memecahkan masalah. Sehinggga penegakan hukum akan semakin gugur dengan sendirinya.

Karena itu, saya berharap kepada ketua KPK, Muhammad Busyro Muqoddas, Ketua Kejaksaan Tinggi, Basrie Arief dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Timur Pradopo, untuk mampu menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila yang penuh dengan moralitas dalam upaya penegakan hukum di Indonesia, sebagai acun dasar dalam mengambil kebijakan dan keputusan hukum. Sehingga, makna filosofis dari pancasila yang dicetuskan oleh Bung Karno memiliki kegunaan secara praksis sebagai upaya menjalankan konstitusi penegakan hukum yang adil, bersih dari unsur KKN. Semoga.

3 Januari 2011

Prospek Lulusan Dalam Formasi dan Prestasi Mahasiswa Filsafat

Feature

23 Desember 2010

Hiruk-pikuk masyarakat menangkap peluang untuk mendaftar sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) sampai beberapa waktu yang lalu kurang bisa dinikmati oleh para lulusan Filsafat. Hal ini disebabkan oleh jarang atau tidak adanya formasi yang ditawarkan bagi lulusan Fakultas Filsafat. Kenyataan ini menyebabkan kurang bersemangatnya para mahasiswa yang kuliah dengan harapan dapat menjadi PNS di lingkungan pemerintah. Meskipun formasi dosen di lingkungan Kemendiknas dan Kemenag masih tetap ada tetapi dengan syarat baru pendaftar dosen harus minimal berpendidikan S2 maka hal ini menjadi masalah tersendiri bagi sarjana Filsafat. Hanya sebagian universitas di daerah yang masih menerima dosen dengan gelar sarjana. Sedangkan untuk mendaftar S2 dan mendapatkan beasiswa yang ditawarkan biasanya disyaratkan status kepegawaian calon mahasiswa (sudah mengajar di lembaga tertentu). Atas kenyataan ini maka hanya mahasiswa dengan kemampuan ekonomi lebih yang dapat melanjutkan studi. Bagi mereka yang tidak punya akses studi lanjut maka mereka akan mencari pekerjaan di sektor swasta.

Dalam rangka menanggapi persoalan ini, Fakultas Filsafat berusaha untuk mencarikan peluang bagi para lulusan S1 untuk dapat memasuki ranah kompetisi CPNS. Sebetulnya tidak adanya formasi bukan karena kurangnya kemampuan dan bidang kerja yang tidak sesuai bagi lulusan Filsafat, tetapi nampaknya lebih dikarenakan kurang dikenalnya bidang ilmu Filsafat dengan segala kompetensi lulusannya. Oleh karena itu, Fakultas Filsafat melakukan sosialisasi kompetensi alumni ke pemerintah pusat dan daerah dan hasilnya sudah mulai dirasakan. Beberapa departemen sudah mulai membuka formasi termasuk beberapa Pemda Tingkat II. Setelah tahun 2009 selain Kemendiknas dan Kemenag, Kemendagri dan Kemenbudpar, maka tahun 2010 ini Kemenkes dan Kemenakertrans juga membuka peluang yang sama. Sayangnya, formasi yang ditawarkan masih sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah lulusan yang ada mengingat masih ada jurusan filsafat di luar Univeritas Gadjah Mada. Syukurlah, Pemda Tingkat II sudah mulai membuka formasinya. Tahun 2009, Pemkab Jambi dan Ngada sudah memberi kesempatan. Tahun 2010 ini beberapa Pemkab di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur mulai membuka peluang juga. Sejauh informasi yang diterima, Pemkab Magelang menerima lulusan Filsafat dengan 1 formasi untuk Analis Kesbangpol, Pemkab Blora dengan 3 formasi untuk Pamong Budaya, Pemkab Jombang dengan 2 formasi untuk Pemberdayaan Masyarakat dan Pemkab Ngawi dengan 1 formasi untuk Fungsional Umum. Menurut informasi dari alumni, di wilayah Indonesia Timur, Pemda Morotai juga membuka 1 formasi. Total formasi CPNS yang ditawarkan tahun 2010 sebanyak 10 formasi. Dengan melihat jumlah lulusan Filsafat yang rata-rata pertahun sekitar 40-50 lulusan, maka meskipun mereka harus bersaing dengan lulusan di luar UGM, perkembangan jumlah formasi CPNS ini cukup menggembirakan.
Ke depan, Fakultas Filsafat akan terus melakukan sosialisasi dan mengajukan permintaan formasi secara eksplisit untuk bidang-bidang tertentu yang dekat dengan materi-materi kajian Filsafat dan kemampuan lulusan. Dengan ini diharapkan, ke depan akan semakin terbuka lowongan kerja CPNS bagi sarjana Filsafat karena sejauh informasi yang didapat, formasi yang ada tahun 2010 ini masih cukup padat peminat terutama untuk formasi di tingkat pusat.

Perkembangan iklim akademik Fakultas Filsafat yang menonjol akhir-akhir ini adalah prestasi mahasiswa di bidang kepenulisan. Setelah keberhasilan mahasiswa baru angkatan 2010, Raisa Kamila, memenangkan lomba menulis esai tingkat nasional dalam rangka Sumpah Pemuda yang diselenggarakan Tempo Institute Jakarta dan menjadi Juara I dengan menyingkirkan 799 naskah esai mahasiswa lain, beberapa mahasiswa juga mendulang prestasi. Pemberian insentif kepenulisan di media masa bagi mahasiswa S1, S2, dan S3 memberi semangat baru bagi aktivitas mahasiswa. Untuk semester gasal 2010 ini sudah terkumpul puluhan judul tulisan mahasiswa yang dimuat di media massa. Semester lalu, sudah diberikan insentif bagi 11 tulisan mahasiswa. Prestasi lain adalah pada kompetisi penulisan esai yang dilaksanakan Humas UGM. Dua mahasiswa Fakultas Filsafat menjadi pemenang Kompetisi Penulisan Kontribusi Mahasiswa bagi Bangsa dan Negara yang diselenggarakan oleh Bagian Humas UGM yaitu Fitri Tunjung Nugroho (S1) dan Syahrul Kirom (S2). Syahrul Kirom juga merupakan salah satu mahasiswa yang aktif berkontribusi mengenalkan Prodi Ilmu Filsafat dengan menulis di media massa. Diucapkan selamat kepada para mahasiswa berprestasi, semoga prestasi ini akan diikuti oleh mahasiswa lain.
Diharapkan, iklim akademis ini akan semakin berkembang. Dan di tahun mendatang akan lebih berkembang juga kegiatan-kegiatan ilmiah semacam seminar, konferensi, dan lainnya yang dilakukan atas inisiatif para mahasiswa. (WD3).