4 Oktober 2012

Pancasila dan Karakter Pelajar

It Was Published In Koran Jakarta News Paper Kamis, 4 Oktober 2012 Syahrul Kirom, M.Phil Penulis adalah Master Filsafat UGM Yogyakarta Banalitas pelajar semakin sulit dibendung. "Kualitasnya" semakin meningkat dengan puncak kematian seorang Alawy Yusianto Putra, pelajar SMA 6 Jakarta. Sungguh suatu tindakan dan perbuatan yang sangat disayangkan. Pelajar-pelajar yang terlibat banalitas kejahatan tidak memiliki kesadaran dan nurani. Etika, moral, dan mentalitas mereka dangkal. Dunia pendidikan seharusnya lebih memperhatikan komunikasi yang mempertajam pemikiran kritis. Pendidikan tidak hanya mengajukan ketepatan logika berpikir, disiplin, tepat waktu, namun juga menanamkan nilainilai solidaritas, pluralitas, empati, dan menghargai kebebasan individu. Harus lebih dikedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan dan nalar berpikir kritis yang tidak mudah diprovakasi. Tawuran antarpelajar menunjukkan bahwa nilai-nilai pendidikan karakter ternyata juga belum mampu menciptakan pelajar dan siswa untuk saling memahami secara emosional dari setiap perbedaan. Mereka tidak mampu meredam setiap permusuhan dan konfl ik sosial. Nilai-nilai pendidikan karakter belum dapat menyentuh relung hati dan kesadaran berpikir siswa. Kekerasan dan banalitas kejahatan pelajar dengan membawa alat-alat tajam saat tawuran memperlihatkan sikap mau menang sendiri, individualistis, dan apatis. Mereka mengabaikan kebersamaan dalam kebaikan. Nilai Pancasila Pancasila sebagai pilar kehidupan bangsa Indonesia sejatinya mampu meredam konfl ik dan tawuran pelajar bila mereka memahami, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilainya. Bahkan, hal itu akan memunculkan (semangat) nasionalisme. Pancasila sebagai jalan hidup (way of life), pandangan hidup (weltanschauung), petunjuk hidup (wereld en levens beschouwing). Dalam hal ini Pancasila menjadi petunjuk hidup sehari-hari. Pancasila harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, Pancasila petunjuk arah kegiatan dan aktivitas kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan. Ini berarti semua perikehidupan siswa harus dijiwai sehingga memancarkan nilai-nilai lima sila. Pengamalan nilai-nilai Pancasila akan mengeliminasi aksi-aksi kekerasan pelajar. Sila-sila memiliki nilai-nilai yang dapat mempersatukan bangsa. Fungsi utama Pancasila adalah pemersatu. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab menekankan setiap warga negara, termasuk pelajar, harus selalu menghargai harkat dan martabat orang lain. Mereka tidak boleh berbuat tercela, menghina, apalagi melecehkan. Harkat dan martabat manusia harus dijunjung secara adil dan beradab. Ini pengakuan atas kedudukan dan derajat yang sama. Manusia seharusnya saling mencintai. Manusia seharusnya mengembangkan rasa memiliki dan berkorban. Begitulah ciri manusia yang berbela rasa, bertenggang rasa. Mendiang Romo Drijarkara SJ mengatakan, "Ada bersama." Artinya, "berada-bersama-dengan-sesama." Ini mempunyai prinsip fundamental cinta kasih. Jika manusia taat pada prinsip ini maka hidup bersama merupakan persaudaraan dan perikemanusiaan dijunjung tinggi. Inilah yang seharusnya menghidupi jiwa para pelajar. Dengan kata lain, jiwa para siswa seharusnya humanis. Tetapi kegarangan dan keberingasan mereka memperlihatkan humanisme itu tidak ada. Banalitas dan brutalisme adalah gambaran jiwa yang kosong serta harkat dan martabat yang lenyap. Di situ tidak ada bela rasa, tidak ada preferential for the others (mengutamakan yang lain). Di situ tidak ada alter humanus (menjadi yang lain). Tentu saja lengkapnya di dalam jiwa anakanak berandal itu tidak ada kepedulian pada yang lain (alter humanus) tadi. Mereka tidak bersikap altruis. Homo homini lupus, murid yang lain adalah serigala. Itulah bentuk kehidupan yang kering, di dalamnya tiada homo ludens yang dapat tertawa bersama ( b u k a n menertawakan). Manusia harus memiliki rasa empati untuk saling menebar benih kasih sayang. Rasa kemanusiaan harus ditumbuhkan sejak dini. Sebaliknya menghilangkan individualistis dan egoistis. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, benar-benar memperlihatkan fungsi Pancasila: mempersatukan dari begitu banyak perbedaan. Sila ini mengedepankan kebhinekatunggalikaan. Perdamaian antarpelajar bisa dicapai dengan mengimplementasikan sila ketiga dalam kehidupan sehari-sehari sehingga upaya konflik dan kekerasan sosial dicegah. Mereka mengedepankan rasa kebangsaan bersama untuk persatuan dan kesatuan di antara warga negara Indonesia. Kesatuan budaya, ekonomi, etnis, agama, dan geografis mengatasi beragam konflik yang muncul dari internal maupun eksternal. Menurut Drijarkara, manusia memulai eksisten atau cara mengadanya melalui ada-bersama, bukan antara "aku dan engkau", melainkan ada bersama dalam "aku-engkau". Eksistensi manusia pengakuan aku ada itu selalu memuat engkau. Manusia mengaku sekaligus mengkita. Pancasila adalah jiwa bangsa yang ada bersama seluruh rakyat, dalam membangun kebersamaan dengan yang lain. Pancasila berasal dari keseluruhan sila-sila dipersatukan cinta kasih, yang dapat dikondensasi menjadi "dwisila" yakni cinta kasih kepada sesama dan cinta kasih pada Tuhan dan alam. Cinta kasih yang tumbuh dalam jiwa bangsa sudah semestinya mewujud dalam diri seluruh manusia Indonesia, termasuk pelajar. Dalam konteks inilah nilainilai Pancasila sebagai kepribadian bangsa tentunya dapat dijadikan pembentuk karakter bangsa. Jiwa Pancasila ke luar diwujudkan dalam sikap mental dan tingkah laku serta perbuatan. Maka, siswa harus menghidupi nilai-nilai Pancasila dalam praksis bersekolah dan berteman. Nilai-nilai Pancasila juga merupakan landasan moral etik dalam kehidupan berbangsa yang digambarkan dalam negara ber-Ketuhanan Yang Maha Esa berdasar atas Kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini berarti kehidupan dalam bermasyarakat harus didasarkan pada moral etik yang bersumber pada nilai-nilai ketuhanan. Jadi, para pelajar dan seluruh bangsa mesti menerapkan nilai-nilai tiap sila dalam membangun karakter manusia Indonesia yang etis. Itu mengonkret dalam kecintaan pada sesama.

26 September 2012

Membumikan Nalar Teologi Politik

It Was Published in Koran Merapi News Paper Rabu, 26 September 2012 NGUDA RASA Penulis : Syahrul Kirom Merebaknya kasus korupsi yang seringkali dilakukan oleh elite politisi merupakan bukti nyata ternyata berpolitik yang dikedepankan oleh politisi lebih menggunakan cara yang kotor, tidak jujur, tidak bertanggung jawab. Kasus korupsi yang saat ini terjadi adalah kasus korupsi Simulator SIM di Kepolisian Republik Indonesia. Kasus dugaan korupsi Pengadaan Al-Qur’an di Kementerian Agama Republik Indonesia. Kasus suap wisma atlet di Kementerian Pemuda dan Olah Raga Republik Indonesia dan babhkan kasus suap dan korupsi di Bank Century yang sampai sekarang belum dituntaskan juga. Banyak elite politik dan pejabat publik yang melakukan korupsi uang anggaran negara. Uang anggaran negara yang semestinya dipergunakan untuk kepentingan publik dan kemaslahatan umat, sebaliknya diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Bangsa Indonesia dan orang-orang elite politik di DPR sudah sakit keras, begitu juga pejabat publik di Indonesia, sama saja perilakunya kayak hewan liar, tidak menggunakan etika dan moral dalam mempertanggung jawabkan amanah dan jabatan. Perilaku dan tindakan elite politik serta pejabat publik sudah mulai sampai pada titik kronis. Praktek korupsi terus bergulir dan hampir dilakukan di semuan instansi pemerintahan dan bahkan lebih parahnya elite politik di DPR memberikan tauladan praktek korupsi yang lebih parah, melalui kebijakan kebijakan yang dibentuk, menggegolkan hasratnya untuk mengeruk uang negara sebanyak-banyaknya. Budaya korupsi di instansi negara Indonesia akan sulit dicegah. Korupsi seringkali dilakukan oleh pejabat publik dan elite politik di DPR, karena mereka dekat kekuasaan dan mereka yang menentukkan anggaran negara untuk digunakan. Dari tangan-tangan para birokrat dan politisi itu sebenarnya kesejahteraan ada di tangan mereka. Karena sejatinya, mereka adalah distribusi untuk kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, untuk mencapai keadilan ekonomi dan kesejahteraan, dengan memberantas praktik korupsi yang dilakukan pejabat publik, maka perlu ditopang dengan nalar teologi politik yang selalu mengingat akan Ketuhanan. Teologi Politik adalah teologi solidaritas kemanusiaan, dengan tujuan untuk menghilangkan nalar koruptif yang terdapat dalam alam pikiran pejabat publik dan politisi. Teologi Politik Dengan demikian, pertanyaan filosofis yang perlu diajukan dalam tulisan ini adalah bagaimana cara mengatasi persoalan korupsi yang terus mendarah daging dalam pikiran elite politik dan pejabat publik di Indonesia ? Tulisan ini berusaha ingin menjawab sebuah persoalan besar bangsa Indonesia yakni praktik korupsi yang melanda bangsa Indonesia. Dengan cara memberikan pemahaman mengenai arti penting sebuah teologi politik, sehingga dapat diimplementasikan dengan etika politik secara praksis dalam suatu jabatan dan amanah yang dipegangnya. Dengan demikian, Teologi politik akan melahirkan sikap-sikap etis dan jujur bagi pejabat publik dan elite politik. Teologi meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan. Teologi memberikan salah satu pendasaran moral dan iman pada seseorang untuk lebih memahami tradisi keagamaanya sendiri ataupun tradisi keagamaan lainnya, menolong membuat perbandingan antara berbagai tradisi, melestarikan, memperbaharui suatu tradisi dan menerapkan sumber-sumber dari suatu tradisi dalam situasi atau kebutuhan masa kini atau untuk berbagai alasan lainnya. Ada beberapa hal kenapa teologi perlu dilibatkan ke dalam politik, sehingga menghasilkan perilaku elite politik yang baik. Pertama, John Baptiz Metz, mengusung gagasan teologi ke dalam politik bertujuan memberikan pendasaran yang kuat terhadap elite politik. Kedua, dosa-dosa elite politik telah nampak dalam perilakunya terkait dengan kasus korupsi, maka dari itu dibutuhkan juga teologi politik sebagai basis moral dan iman umat manusia sebagai bentuk preventif dari perilaku yang jahat, ke arah etika politik yang santun. Ketiga, teologi politik dihadirkan sebagai bentuk panduan etis dalam menyelenggarakan kekuasaan. Politik pun adalah teologi karena menyangkut visi mendasar tentang kehidupan individu dan masyarakat dalam sebuah negara-bangsa (nation-state). John Baptiz Metz, seorang teolog asal Jerman, melalui gagasan teologi politik, juga mengatakan bahwa teologi, tidak hanya dimonopoli secara internal, akan tetapi, teologi harus itu harus mengarahkan pada praksis kemasyarakatan. Teologi Politik adalah teologi yang mengarah sifat praktis, terarah kepada aksi dan tindakan manusia. Teologi politik ingin melakukan pendasaran moral dan iman manusia, agar mereka yang bergelut dalam dunia politik dan bernalar secara politis, memiliki pendasaran yang etis dalam bertindak, bersikap dan mengambil keputusan hanya tujuan untuk kebaikan umat manusia seluruhnya. Kehadiran teologi politik dalam bumi umat manusia Indonesia ini menegaskan bahwa manusia yang beragama dan mengaku memiliki Tuhan, sudah sejatinya mampu mengimplementasikan segala tindakan dan perbuatan, termasuk dalam konteks manusia yang berpolitik dan mereka yang duduk di DPR maupun sebagai pejabat publik, untuk selalu menjaga iman dan moral sebagai pertimbangan utama dalam mengambil tindakan dan sikap. Teologi politik memberikan pendasaran iman dan moral yang kuat bagi elite politik dan pejabat publik, agar tidak terjerumus pada sikap koruptif dan bertindak mencuri uang negara, atas nama institusi. Hal ini semakin meneguhkan pada umat beragama, bahwa sejatinya teologi politik ini menyatukan sikap dan iman seseorang harus saling bersama untuk membantu dalam hal kebaikan, bukan sebaliknya, melakukan praktik korupsi untuk kepentingan individu Orang yang melakukan korupsi dan penyelewengan kekuasaan, berarti umat manusia itu tidak beriman dan tidak taat pada Tuhan, maupun pada sifat-sifat Tuhan. Kalau memang mengaku manusia Indonesia yang sebagai besar menganut umat Islam. Berarti umat Islam itu harus beriman dan selalu menjalankan perintah dan larangan dari Tuhan. Perintah itu adalah menjalankan amanah dan jabatan, kekuasaan secara baik dan benar serta tidak merugikan rakyat Indonesia. Sedangkan larangan yang perlu dijauhi adalah dilarang mencuri uang negara, uang rakyat, serta diharamkan melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Orang yang sejatinya beriman dan mengaku Islam, sudah semestinya menjalankan perintahnya dengan segala bentuk perbuatan yang baik dan etis. Teologi Politik ini ingin berusaha membangun rasa solidaritas dan kemanusiaan antar sesama, melainkan menghadirkan cara berpolitik yang jujur dengan menekankan pada epistemologi keimanan pada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, elite politik di DPR, DPRD dalam bertindak harus selalu mengingat Tuhan. Tuhan adalah segalanya penguasa alam dan bumi ini. Elite politik dan pejabat publik hendaklah menyadari bahwa Tuhan melihat segala tindakan dan perbuatan, baik ketika mereka melakukan korupsi, berbuat bohong, tidak bekerja tepat waktu dan mengkorupsi jam kerja atau bahkan mereka menyelewengakan kekuasaan dan amanah serta tidak bertanggung jawab atas Jawaban. Tuhan maha mengetahui dan melihat segala sikap manusia. Oleh karena itu, elite politik harus bertindak secara benar dan jujur. Jangan sampai Tuhan murka pada hambanya yang berbuat tidak benar dan melakukan korupsi uang negara. Dengan begitu, dalam bertindak orang-orang elite politik di DPR, DPRD harus selalu memiliki kesadaran tinggi. Teologi politik yang berupa iman dan harus di implementasikan secara praksis, ada bersama dengan kekuasaan dan kepentingan umat manusia harus lebih dikedepankan. Teologi politik mengajarkan kepada para politisi di Indonesia agar selalu beriman dalam bertindak secara baik terhadap sesamanya dan tidak boleh merugikan yang lain terhadap sesama umat beragama. Semoga.

11 Mei 2012

Menyikapi Janji Politik Pilkada DKI

It Was Published in Suara Pembaruan News Paper Kamis, 10 Mei 2012 OPINI Syahrul Kirom, M.Phil Penulis adalah Alumnus Program Master Filsafat, Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta Akhir-akhir ini, manuver politik yang dilakukan calon gubernur dan wakil gubernur Propinsi DKI Jakarta di antaranya Alex Noerdin dan Nono Sampono, Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnomo, Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli, Hidayat Nur Wahid dan Didik J Rachbini, Faisal Basri dan Biem Benjamin, Hendardji Soepandji dan Achmad Reza Patria dalam pemilukada 11 Juli 2012 semakin memanas. Kunjungan dan pendekatan kepada rakyat pun semakin menguat. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh dukungan suara dari warga Jakarta. Janji-janji politik yang dilakukan cagub-cawagub kian mewabah di berbagai iklan spanduk di Jakarta. Para cabup-cawabup menebar pesona dan pencitraan politik untuk mencapai kekuasaan. Padahal, sejatinya, itu semua hanya janji-janji politis belaka yang sesungguhnya jauh dari realitas kehidupan sosial-masyarakat. Pada kenyataannya, di sudut-sudut perkotaan Jakarta masih banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan dan pengangguran, politik dari hari ke hari kian menjauhkan diri dari pengabdian kepada rakyat, justru kekuasaan yang lebih dikedepankan. Karena itu, politik kerakyatan perlu dikedepankan untuk memajukan kepentingan masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Menyitir pernyataan Iwan Fals, lewat lagunya berjudul “Manusia Setengah Dewa”, turunkan harga sembako, berikan aku pekerjaan, tegakkan keadilan seadil-adilnya. Masyarakat Jakarta ini butuh kedamaian, butuh kesejahteraan, butuh keadilan, bukan janji-janji politik yang ada dalam iklan politik di televisi dan media cetak, yang hanya manis di bibir, tapi kenyataan tidak terimplementasikan secara komprehensif bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Jakarta. Maurizio Passerin d, Enteves, dalam karyanya “The Political Philosophy of Hannah Arendt” (1994) menyatakan secara tegas bahwa kekuasaan adalah fenomena sui generis, karena Ia adalah produk dari pelbagai aktivitas agen plural yang dilakukan bersama dan ia bersandar pada persuasi karena ia berada pada kemampuan untuk mendapatkan persetujuan orang lain dengan cara rasional, yaitu dengan datang ke pasar tradisional, ke tempat sampah, ke mall, pada saat jelang pemilukada Jakarta. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang/politisi atau suatu kelompok partai tertentu atau koalisi parpol untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau masyarakat sesuai keinginan dari pelaku, baik secara langsung dengan jalan memberi perintah maupun secara tidak langsung dengan menggunakan segala alat dan cara yang ada. Karena itu, kekuasaan bisa dipahami bagaimana cara cagub dan cawagub dalam pemilukada 11 Juli 2012. Sehingga mereka bisa mendulang suara banyak dari publik. Setiap pernyataan yang dimunculkan oleh cagub-cawagub sudah barangkali mempunyai entitas –entitas kepentingan politik. Karena itu, masyarakat harus kritis dan melek politik. Politik adalah cara atau seni untuk memperoleh kekuasaan, di mana terkadang politik sering diasumsikan sebagai perebutan kekuasan dengan cara yang kotor, kampanye-kampanye adalah bagian dari tugas poltik yang harus diwaspadai ketika mereka banyak menawarkan janji-janji yang belum pasti. Banyak berbagai konsep yang ditawarkan oleh cagub dan cawagub dengan berbagai alibi, mulai pro ekonomi kerakyatan dan program lain-lainnya. Apakah hanya sekedar janji-janji itu akan menyelesaikan persoalan kebangsaan dan kerakyatan? Masalah yang sangat kompleks seperti kemiskinan, banjir, kemacetan dan pengangguran saja belum selesai sudah banyak berjanji. Iklan politik yang ditayangan melalui spanduk, televisi dan media cetak itu sejatinya adalah ruang penampakan untuk memperoleh simpati dan dukungan dari warga Jakarta. Kampanye politik melalui iklan itu memang harus diciptakan oleh cagub-cawagub secara kontinu dengan tindakan, di mana keberadaannya dijamin kalau para pelaku berkumpul dengan maksud membicarakan dan membebaskan persoalan publik dari kemsikinan dan pengangguran. Karena itu, ruang penampakan senantiasa merupakan potential space yang menemukan aktualisasinya dalam tindakan dan ucapan pelbagai individu untuk berkumpul bersama untuk melakukan proyek bersama. Apakah dalam kampanye dan iklan politik di televisi dengan menebar janji-janji politik dapat dipercaya ? faktanya, dalam dunia perpolitikan, banyak para politisi yang telah jadi Gubernur, lupa akan janji-janjinya. Inilah fenomena perpoltikan dan kampanye yang terus menerus menebar kebohongan publik. Oleh karena itu, masyarakat harus kritis dan melek politik, janji-janji yang ditayangkan oleh para calon pemimpin itu dalam televisi dan media cetak hanyalah bias dan yang berada dalam ruang penampakan, dan belum terwujudkan dalam realitas kehidupan. Apakah rakyat tetap percaya begitu saja, rakyat harus cerdas dan melek politik dalam pemilukada 11 Juli 2012. Tindakan berkampanye adalah representasi dari dunia politik yang terpusat dan sekaligus realisasi dari vita activa tertinggi. Meminjam bahasa Hannah Arendt, ucapan, kata-kata yang disampaikan dalam kampanye dengan berbagai janji-janji politik, program yang ditawarkan, tanpa tindakan, karya dan kerja akan kehilanagan makna dan tidak berarti apa-apa (meaningless) bagi kepentingan warga Jakarta. Dengan demikian, pilihlah pemimpin yang memiliki kemampuan intelektual dan kecerdasan yang tinggi, integritas, loyalitas, komunikasi politik yang santun dan tegas, tidak pernah marah-marah, serta konsep-konsep yang jelas dari program yang ditawarkan untuk kepentingan masyarakat Jakarta ke depan. Karena itu, sudah seharusnya kekuasaan dalam pemilukada 11 Juli 2012 ini sudah semestinya dijadikan sebagai tujuan untuk mensejahterakan dan memberikan pelayanan kepada kepentingan masyarakat Jakarta. Semoga.