4 Agustus 2008

Teologi Manusia Modern

Telah Dimuat di MEDIA INDONESIAJum’at 27 Juni 2008

OPINI

Oleh : Syahrul Kirom*

Manusia modern adalah anak rahim yang tercipta dari aliran rasionalisme dan emprisisme melalui jargonnya “Aufklarung”. Idealisme filsafat modern seolah ingin menggugat doktrin gereja yang membelenggu dan mengekang akan keberadaan serta eksistensi manusia yang terkena logosentrisme gereja.

Semenjak itu, muncul beberapa penemuan baru yang diusung semisal oleh Issac Newton, Charles Darwin, Albert Einstein, meruntuhkan paradigma gereja-konservatif. Konstruksi gereja sudah tak ada harganya dihadapan realitas manusia modern. Teologi gereja telah mengalami keterkikisan akibat manusia tidak mempercayai akan keberadaan agama yang bersifat abstrak dan penuh dengan dogma.

Filsuf-filsuf besar, seperti Thomas Hobbes, John Locke, Rene Descartes, Immanuel Kant dan David Hume mulai mempertanyakan tentang Tuhan. Maka praktis setelah Hegel, garis filsafat Ketuhanan yang telah ada sejak masa Klasik, Abad Pertengahan, hingga awal modernitas mendadak putus.

Bahkan, yang muncul di panggung filsafat abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah gerakan ateisme yang dipelopori filsuf-filsuf seperti Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Jean-Paul Sartre dan Sigmund Freud. Para filosof tersebut mengalami skeptisisme terhadap pencarian Tuhan. Itu merupakan tamparan telak terhadap orang-orang yang selama ini mempercayai eksistensi Tuhan.

Manusia modern telah mendewakan materi dan segala sesuatu yang dianggap bermakna bagi kehidupan umat manusia. Secara filosofis persoalannya adalah bagaimana konstruksi pemikiran manusia modern dalam menalar Tuhan? Melainkan juga paradigma apa yang digunakan manusia modern dalam memahami teologi? Pertanyaan inilah kirannya sangat urgen untuk dikemukakan dalam tulisan ini.

Dalam paradigma manusia modern, agama dan spiritualisme cenderung sulit mendapat ruang dan waktu. Sebab apa, posisi agama mulai termaginalkan dan tersingkirkan dalam konsepsi manusia modern. Apalagi mengenai Tuhannya. Dunia modern lebih cenderung mengandalkan ilmu empiris dan teknologi yang menyebabkan berlebihan terhadap dunia materi. Implikasinya, realitas yang diakui keberadaan hanyalah berwujud material, fisik dan natural.

David Ray Griffin dalam “Visi-Visi Postmodern” (2005), mengasumsikan ada empat konstruksi yang dibangun oleh manusia modern tentang Tuhan. Pertama, dunia diciptakan oleh tuhan yang berpribadi. Kualitas-kualitas pribadi atau personal yakni kualitas yang dikandung oleh manusia dianggap abadi, asali, dan menjadi dasar. Kualitas-kulitas pribadi yang menyebabkan segala sesuatu terjadi melalui kekuatan tertinggi alam semesta.

Kedua, manusia dalam kehidupan mempunyai power dan kekuasaan untuk menentukkan segala sesuatu yang diinginkan di mana pandangan materialistik-antroposentris yang telah menjadi kerangka pikir manusia modern. Ketiga, manusia modern menganggap dirinya paling hebat (meminjam istilahnya Nieztsche manusia adalah makhluk superman yang bebas sesuai dengan kehendaknya) dan istemewa dalam tata susunan semua benda.

Menurut Erich Fromm, manusia telah dimabukkan dengan suatu kemakmuran material karena sukses dalam menguasai alam. Manusia tidak lagi menganggap dirinya sendiri sebagai perhatian utama dari kehidupan. Nalar manusia sebagai sarana untuk menemukkan kebenaran telah dilepaskan sebagai instrumen belaka untuk memanipulasi benda-benda dan manusia.

Tuhan dalam Nalar Manusia Modern.

Etienne Gilson dalam “God and Philosophy” (1941) menjelaskan teologi adalah proses refleksi rasional tentang hal-hal yang kita anggap suci yang memiliki nilai terpenting (ultimate importance) demi dirinya sendiri. Di era modern teologi mengalami penurunan derajat. Setelah banyak manusia yang mendewakan ilmu pengetahuan sebagai segala-galanya. Konsep teologi cenderung tidak memiliki sumbangan dalam kehidupan ini harus disingkirkan dan dienyahkan dari realitas manusia.

Secara historis, sebelum munculnya penolakan modern. Manusia pramodern membagi teologi menjadi dua. Pertama, teologi konservatif-fundamentalis yang mendasarkan diri pada kekuatan supernatural, yang tidak dapat diuji kebenaranya melalui kacamata ilmu pengetahuan. Kedua, teologi liberal modern berusaha menghindari konflik dengan ilmu pengetahuan. Teologi ini lebih mendekati pada unsur kemodernan.

Di samping itu, ada sebuah pertanyaan filosofis mengapa teologi pada zaman modern mengalami nasib yang tidak terhormat. Pertama, Tuhan, nilai-nilai transenden dan jiwa manusia (dengan kebebasannya) yang merupakan inti dari visi religius berdasarkan tradisi kitab suci tidak lagi diizinkan berperan dalam alam semesta oleh “pandangan dunia ilmiah modern”.

Dalam konteks modern inilah teologi harus memilih dan menolak serta mengabaikan ilmu pengetahuan. Teologi di era modern menyebabkan tersisihkan dalam dunia modern adalah karena ia sudah tidak relevan dengan zaman. Modernitas sudah memiliki pengganti teologi. Masyarakat liberal modern, keselamatan dianggap bisa diperoleh melalui kemajuan materi, yang dimungkinkan oleh pasar dan teknologi sains. Ilmu ekonomi dan ilmu alam dengan dukungan filsafat ilmu merupakan dua cabang pengganti teologi di zaman modern.

Pendek kata, teologi tersisih karena pandangan dunia modern tidak memberikan kemungkinan suatu visi teologis yang berbasis pada rasionalisme dan materialisme. Selain itu, kehausan religius masyarakat modern untuk mendapat keselamatan telah menciptakan pengganti teologi. Karena dianggap tidak relevan dan tidak mungkin, maka pada zaman modern teologi mengalami masanya yang paling sulit.

Pandangan manusia modern, saat ini telah mendominasi lingkungan-lingkungan intelektual yang tidak memberikan landasan apa-apa demi suatu displin spiritual. Yang terjadi adalah memupuk apa yang disebut antispiritualitas. Manusia modern hidupnya hanya diorientasikan pada sesuatu yang bersifat material, nilai-nilai fisik seperti kepuasan daging dan pemilikan benda-benda material. bukan pada sesuatu yang mengandung nilai-nilai moral dan religius.

Di sadari atau tidak, Tuhan telah dicitrakan seperti penjaga surga, sementara nabi adalah salesman. Mata uang untuk membeli semua itu adalah pahala. Proses beragama telah menjadi seperti sebuah praktek perdagangan antara Tuhan dan manusia. Hubungan antara Tuhan dengan manusia ialah hubungan antara pedagang dengan calon konsumen surga.

Berpijak dari paradigma orang-orang modern bahwa segala sesuatu adalah materi. Tuhan dalam konteks manusia modern ini dibentuk sebagai sesembahan tatkala manusia butuh dan dikala duka atau pun suka sehingga persepsi manusia tentang Tuhan adalah bagaimana posisi Tuhan sebagai penguasa, pencipta alam semesta ini serta kemahapenyayangan dan kemahakekuasaan terhadap umat manusia mampu menjadi alat perintah kekuasaan manusia.

Dengan demikian, ketika umat manusia memahami Tuhan sebagai penghasil materi. Maka materi ini mengukuhkan dan menyebabkan manusia modern menjadi atheis. Manusia telah kehilangan kepercayaannya tentang keberadaan Tuhan. Tuhan dalam nalar manusia modern dianggap rendah dan buruk. Singkat kata, Tuhan dipahami manusia modern jika mampu memberikan kebutuhan pada manusia.

Penulis adalah Peneliti Pada Social and Philosophical Studies Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar