3 April 2009

Menanti Teologi Politik Para Caleg

Dimuat juga di Radar Buton

24 Maret 2009

OPINI

Oleh : Syahrul Kirom

Mulai zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga pascareformasi, banyak masyarakat Indonesia yang hidup serba kesusahan dan kekurangan dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Apakah elite politik tidak melihat realitas tersebut ? Apakah elite politik dan caleg hanya akan menebar janji dalam Pemilu 2009. Rakyat membutuhkan bukti yang nyata dari elite politik untuk menyejahterakan dan mengentaskan kemiskinan. Jika janji-janji politik tidak ditepati akan menyebabkan peradaban bangsa Indonesia semakin hancur.

Karena itu, menjelang Pemilu Legislatif 9 April 2009, caleg dan elite politik harus mulai membenahi sistem partai politik, etika, dan perilakunya kepada rakyat Indonesia. Jika tidak ada perubahan dalam moral elite politik, rakyat tidak akan memilih untuk Pemilu 2009. Sebab, pemilu yang diadakan lima tahun sekali tidak memberikan efek positif bagi kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia.

Karena itu, kita membutuhkan teologi politik untuk membenahi perilaku moral elite politik, bukan tindakan politik secara ansich, yang mementingkan kepentingan partai politik dan kelompoknya. Tapi, bangsa Indonesia ini membutuhkan calon pemimpin yang mempunyai visi, beragama, dan etika politik yang baik kepada rakyat Indonesia untuk melahirkan suatu pandangan yang jauh lebih baik demi kepentingan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Dengan begitu, untuk membenahi pembusukan para elite politik dan calon legislatif, kita butuh teologi politik. Kehadiran Tuhan harus ada dalam alam pikiran elite politik dan caleg sebagai upaya preventif dalam membangun kesadaran etika politik untuk mencegah terjadinya subversivitas, seperti korupsi, money politics, penyimpangan kekuasaan, pengelembungan suara dalam Pemilihan Legislatif (pileg) 9 April 2009.

Ada beberapa faktor mengapa teologi harus dilibatkan dalam politik. Pertama, kehancuran bangsa Indonesia ini bisa juga disebabkan perilaku elite politik yang tidak memberikan pelayanan kepada rakyat Indonesia. Kita sering melihat perilaku elite politik yang tidak terpuji, misalnya, korupsi uang negara.

Menurut Johann Baptist Metz, teolog Jerman, mengusung gagasan teologi ke dalam politik bertujuan memberikan pendasaran teologis yang kuat terhadap elite politik dan calon legislatif. Hal itu dilakukan sebagai bentuk pendorong inisiatif dan iktikad yang baik dari elite politik dalam Pemilu 2009 terhadap rakyat Indonesia demi menyejahterakan dan memakmurkan kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

Kedua, dosa-dosa besar elite politik tampak sudah begitu besar terhadap rakyat Indonesia. Hal itu tampak sekali bahwa para wakil rakyat yang tidak pernah bisa mengentaskan kemiskinan dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat Indonesia. Menurut Toshihiko Izutsu dalam karyanya, The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantical Analysis of Iman and Islam" (1994), bahwa dosa besar memang melanda umat Islam yang tak pernah berlaku jujur dan mengemban amanah rakyat, apalagi mengabdikan diri untuk rakyat Indonesia.

Ketiga, kehadiran Tuhan dalam sistem perpolitikan di Indonesia sangat penting sebagai upaya untuk membenahi moralitas elite politik dan sikap politisi yang sangat paradoksal dengan hati nurani rakyat. Misalnya, kasus korupsi yang sering melanda anggota DPR dan DPRD menjadi bukti nyata. Dengan melakukan praktik korupsi, berarti telah menyelewengan jabatan kekuasaan. Fenomena itulah yang sangat kita sayangkan. Sudah seharusnya wakil rakyat memberikan teladan yang baik kepada rakyat Indonesia.

Tak salah kiranya, maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, bahkan penyelewengan kekuasaan, yang dilakukan pejabat negara telah membiaskan makna dan hakikat politik sebagai alat yang luhur sesungguhnya. Bakkan, telah menjadikan politik sebagai sebuah alat kepentingan yang menjadikan manusia sebagai -meminjam bahasa Thomas Hobbes- homo homini lupus, manusia yang jahat dan rakus terhadap harta benda dan kekuasaan.

Keempat, Michael Novak (1969) dalam A Theology for Radical Politics menyatakan secara eksplisit bahwa sudah seharusnya teologi politik dijadikan alat atau petunjuk dalam menyelenggarakan kekuasaan. Karena itu, politik sangat berkaitan dengan teologi sehingga menyangkut visi mendasar tentang kehidupan individu dan masyarakat Indonesia dalam sebuah negara-bangsa (nation-state).

Karena itu, -meminjam analisis Boni Hargens- dalam pesta Pemilu Legislatif 9 April 2009 ini yang diharapkan rakyat adalah pemerintah ''hadir bagi rakyat'' bukan hanya ketika bencana melanda atau ketika pergolakan politik separatisme memanas, melainkan dalam keseluruhan proses berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, implikasinya bahwa rakyat tidak hanya ''dipandang berarti'' ketika suaranya dalam pemilu sangat berharga untuk membeli kursi kekuasaan.

Melainkan juga, rakyat yang selamanya berharga karena kekuasaan merupakan wewenang politik yang didaulatkan oleh rakyat sebagai sarana untuk menciptakan keadilan (justitia) dan kebaikan umum (bonum commune). Karena itu, membumikan teologi politik merupakan langkah yang paling konstruktif dalam membangun peradaban bangsa Indonesia terhadap pesta demokrasi pada Pemilu 2009 agar menghasilkan calon pemimpin yang berkualitas, bertanggung jawab, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa.

*) Alumnus Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta

Menanti Teologi Politik Para Caleg

Dimuat Juga di Radar Timika Papua

OPINI

Oleh : Syahrul Kirom

Mulai zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga pascareformasi, banyak masyarakat Indonesia yang hidup serba kesusahan dan kekurangan dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Apakah elite politik tidak melihat realitas tersebut ? Apakah elite politik dan caleg hanya akan menebar janji dalam Pemilu 2009. Rakyat membutuhkan bukti yang nyata dari elite politik untuk menyejahterakan dan mengentaskan kemiskinan. Jika janji-janji politik tidak ditepati akan menyebabkan peradaban bangsa Indonesia semakin hancur.

Karena itu, menjelang Pemilu Legislatif 9 April 2009, caleg dan elite politik harus mulai membenahi sistem partai politik, etika, dan perilakunya kepada rakyat Indonesia. Jika tidak ada perubahan dalam moral elite politik, rakyat tidak akan memilih untuk Pemilu 2009. Sebab, pemilu yang diadakan lima tahun sekali tidak memberikan efek positif bagi kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia.

Karena itu, kita membutuhkan teologi politik untuk membenahi perilaku moral elite politik, bukan tindakan politik secara ansich, yang mementingkan kepentingan partai politik dan kelompoknya. Tapi, bangsa Indonesia ini membutuhkan calon pemimpin yang mempunyai visi, beragama, dan etika politik yang baik kepada rakyat Indonesia untuk melahirkan suatu pandangan yang jauh lebih baik demi kepentingan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Dengan begitu, untuk membenahi pembusukan para elite politik dan calon legislatif, kita butuh teologi politik. Kehadiran Tuhan harus ada dalam alam pikiran elite politik dan caleg sebagai upaya preventif dalam membangun kesadaran etika politik untuk mencegah terjadinya subversivitas, seperti korupsi, money politics, penyimpangan kekuasaan, pengelembungan suara dalam Pemilihan Legislatif (pileg) 9 April 2009.

Ada beberapa faktor mengapa teologi harus dilibatkan dalam politik. Pertama, kehancuran bangsa Indonesia ini bisa juga disebabkan perilaku elite politik yang tidak memberikan pelayanan kepada rakyat Indonesia. Kita sering melihat perilaku elite politik yang tidak terpuji, misalnya, korupsi uang negara.

Menurut Johann Baptist Metz, teolog Jerman, mengusung gagasan teologi ke dalam politik bertujuan memberikan pendasaran teologis yang kuat terhadap elite politik dan calon legislatif. Hal itu dilakukan sebagai bentuk pendorong inisiatif dan iktikad yang baik dari elite politik dalam Pemilu 2009 terhadap rakyat Indonesia demi menyejahterakan dan memakmurkan kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

Kedua, dosa-dosa besar elite politik tampak sudah begitu besar terhadap rakyat Indonesia. Hal itu tampak sekali bahwa para wakil rakyat yang tidak pernah bisa mengentaskan kemiskinan dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat Indonesia. Menurut Toshihiko Izutsu dalam karyanya, The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantical Analysis of Iman and Islam" (1994), bahwa dosa besar memang melanda umat Islam yang tak pernah berlaku jujur dan mengemban amanah rakyat, apalagi mengabdikan diri untuk rakyat Indonesia.

Ketiga, kehadiran Tuhan dalam sistem perpolitikan di Indonesia sangat penting sebagai upaya untuk membenahi moralitas elite politik dan sikap politisi yang sangat paradoksal dengan hati nurani rakyat. Misalnya, kasus korupsi yang sering melanda anggota DPR dan DPRD menjadi bukti nyata. Dengan melakukan praktik korupsi, berarti telah menyelewengan jabatan kekuasaan. Fenomena itulah yang sangat kita sayangkan. Sudah seharusnya wakil rakyat memberikan teladan yang baik kepada rakyat Indonesia.

Tak salah kiranya, maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, bahkan penyelewengan kekuasaan, yang dilakukan pejabat negara telah membiaskan makna dan hakikat politik sebagai alat yang luhur sesungguhnya. Bakkan, telah menjadikan politik sebagai sebuah alat kepentingan yang menjadikan manusia sebagai -meminjam bahasa Thomas Hobbes- homo homini lupus, manusia yang jahat dan rakus terhadap harta benda dan kekuasaan.

Keempat, Michael Novak (1969) dalam A Theology for Radical Politics menyatakan secara eksplisit bahwa sudah seharusnya teologi politik dijadikan alat atau petunjuk dalam menyelenggarakan kekuasaan. Karena itu, politik sangat berkaitan dengan teologi sehingga menyangkut visi mendasar tentang kehidupan individu dan masyarakat Indonesia dalam sebuah negara-bangsa (nation-state).

Karena itu, -meminjam analisis Boni Hargens- dalam pesta Pemilu Legislatif 9 April 2009 ini yang diharapkan rakyat adalah pemerintah ''hadir bagi rakyat'' bukan hanya ketika bencana melanda atau ketika pergolakan politik separatisme memanas, melainkan dalam keseluruhan proses berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, implikasinya bahwa rakyat tidak hanya ''dipandang berarti'' ketika suaranya dalam pemilu sangat berharga untuk membeli kursi kekuasaan.

Melainkan juga, rakyat yang selamanya berharga karena kekuasaan merupakan wewenang politik yang didaulatkan oleh rakyat sebagai sarana untuk menciptakan keadilan (justitia) dan kebaikan umum (bonum commune). Karena itu, membumikan teologi politik merupakan langkah yang paling konstruktif dalam membangun peradaban bangsa Indonesia terhadap pesta demokrasi pada Pemilu 2009 agar menghasilkan calon pemimpin yang berkualitas, bertanggung jawab, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa.

*) Alumnus Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta

Menanti Teologi Politik Para Caleg

Dimuat di Radar Cirebon

Selasa, 24 Maret 2009

Oleh : Syahrul Kirom

Mulai zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga pascareformasi, banyak masyarakat Indonesia yang hidup serba kesusahan dan kekurangan dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Apakah elite politik tidak melihat realitas tersebut ? Apakah elite politik dan caleg hanya akan menebar janji dalam Pemilu 2009. Rakyat membutuhkan bukti yang nyata dari elite politik untuk menyejahterakan dan mengentaskan kemiskinan. Jika janji-janji politik tidak ditepati akan menyebabkan peradaban bangsa Indonesia semakin hancur.

Karena itu, menjelang Pemilu Legislatif 9 April 2009, caleg dan elite politik harus mulai membenahi sistem partai politik, etika, dan perilakunya kepada rakyat Indonesia. Jika tidak ada perubahan dalam moral elite politik, rakyat tidak akan memilih untuk Pemilu 2009. Sebab, pemilu yang diadakan lima tahun sekali tidak memberikan efek positif bagi kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia.

Karena itu, kita membutuhkan teologi politik untuk membenahi perilaku moral elite politik, bukan tindakan politik secara ansich, yang mementingkan kepentingan partai politik dan kelompoknya. Tapi, bangsa Indonesia ini membutuhkan calon pemimpin yang mempunyai visi, beragama, dan etika politik yang baik kepada rakyat Indonesia untuk melahirkan suatu pandangan yang jauh lebih baik demi kepentingan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Dengan begitu, untuk membenahi pembusukan para elite politik dan calon legislatif, kita butuh teologi politik. Kehadiran Tuhan harus ada dalam alam pikiran elite politik dan caleg sebagai upaya preventif dalam membangun kesadaran etika politik untuk mencegah terjadinya subversivitas, seperti korupsi, money politics, penyimpangan kekuasaan, pengelembungan suara dalam Pemilihan Legislatif (pileg) 9 April 2009.

Ada beberapa faktor mengapa teologi harus dilibatkan dalam politik. Pertama, kehancuran bangsa Indonesia ini bisa juga disebabkan perilaku elite politik yang tidak memberikan pelayanan kepada rakyat Indonesia. Kita sering melihat perilaku elite politik yang tidak terpuji, misalnya, korupsi uang negara.

Menurut Johann Baptist Metz, teolog Jerman, mengusung gagasan teologi ke dalam politik bertujuan memberikan pendasaran teologis yang kuat terhadap elite politik dan calon legislatif. Hal itu dilakukan sebagai bentuk pendorong inisiatif dan iktikad yang baik dari elite politik dalam Pemilu 2009 terhadap rakyat Indonesia demi menyejahterakan dan memakmurkan kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

Kedua, dosa-dosa besar elite politik tampak sudah begitu besar terhadap rakyat Indonesia. Hal itu tampak sekali bahwa para wakil rakyat yang tidak pernah bisa mengentaskan kemiskinan dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat Indonesia. Menurut Toshihiko Izutsu dalam karyanya, The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantical Analysis of Iman and Islam" (1994), bahwa dosa besar memang melanda umat Islam yang tak pernah berlaku jujur dan mengemban amanah rakyat, apalagi mengabdikan diri untuk rakyat Indonesia.

Ketiga, kehadiran Tuhan dalam sistem perpolitikan di Indonesia sangat penting sebagai upaya untuk membenahi moralitas elite politik dan sikap politisi yang sangat paradoksal dengan hati nurani rakyat. Misalnya, kasus korupsi yang sering melanda anggota DPR dan DPRD menjadi bukti nyata. Dengan melakukan praktik korupsi, berarti telah menyelewengan jabatan kekuasaan. Fenomena itulah yang sangat kita sayangkan. Sudah seharusnya wakil rakyat memberikan teladan yang baik kepada rakyat Indonesia.

Tak salah kiranya, maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, bahkan penyelewengan kekuasaan, yang dilakukan pejabat negara telah membiaskan makna dan hakikat politik sebagai alat yang luhur sesungguhnya. Bakkan, telah menjadikan politik sebagai sebuah alat kepentingan yang menjadikan manusia sebagai -meminjam bahasa Thomas Hobbes- homo homini lupus, manusia yang jahat dan rakus terhadap harta benda dan kekuasaan.

Keempat, Michael Novak (1969) dalam A Theology for Radical Politics menyatakan secara eksplisit bahwa sudah seharusnya teologi politik dijadikan alat atau petunjuk dalam menyelenggarakan kekuasaan. Karena itu, politik sangat berkaitan dengan teologi sehingga menyangkut visi mendasar tentang kehidupan individu dan masyarakat Indonesia dalam sebuah negara-bangsa (nation-state).

Karena itu, -meminjam analisis Boni Hargens- dalam pesta Pemilu Legislatif 9 April 2009 ini yang diharapkan rakyat adalah pemerintah ''hadir bagi rakyat'' bukan hanya ketika bencana melanda atau ketika pergolakan politik separatisme memanas, melainkan dalam keseluruhan proses berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, implikasinya bahwa rakyat tidak hanya ''dipandang berarti'' ketika suaranya dalam pemilu sangat berharga untuk membeli kursi kekuasaan.

Melainkan juga, rakyat yang selamanya berharga karena kekuasaan merupakan wewenang politik yang didaulatkan oleh rakyat sebagai sarana untuk menciptakan keadilan (justitia) dan kebaikan umum (bonum commune). Karena itu, membumikan teologi politik merupakan langkah yang paling konstruktif dalam membangun peradaban bangsa Indonesia terhadap pesta demokrasi pada Pemilu 2009 agar menghasilkan calon pemimpin yang berkualitas, bertanggung jawab, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa.

*) Alumnus Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta

Menanti Teologi Politik Para Caleg

Dimuat di Rakyat Aceh

Selasa, 24 Maret 2009

OPINI

Oleh: Syahrul Kirom *

Mulai zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga pascareformasi, banyak masyarakat Indonesia yang hidup serba kesusahan dan kekurangan dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Apakah elite politik tidak melihat realitas tersebut ? Apakah elite politik dan caleg hanya akan menebar janji dalam Pemilu 2009. Rakyat membutuhkan bukti yang nyata dari elite politik untuk menyejahterakan dan mengentaskan kemiskinan. Jika janji-janji politik tidak ditepati akan menyebabkan peradaban bangsa Indonesia semakin hancur.

Karena itu, menjelang Pemilu Legislatif 9 April 2009, caleg dan elite politik harus mulai membenahi sistem partai politik, etika, dan perilakunya kepada rakyat Indonesia. Jika tidak ada perubahan dalam moral elite politik, rakyat tidak akan memilih untuk Pemilu 2009. Sebab, pemilu yang diadakan lima tahun sekali tidak memberikan efek positif bagi kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia.

Karena itu, kita membutuhkan teologi politik untuk membenahi perilaku moral elite politik, bukan tindakan politik secara ansich, yang mementingkan kepentingan partai politik dan kelompoknya. Tapi, bangsa Indonesia ini membutuhkan calon pemimpin yang mempunyai visi, beragama, dan etika politik yang baik kepada rakyat Indonesia untuk melahirkan suatu pandangan yang jauh lebih baik demi kepentingan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Dengan begitu, untuk membenahi pembusukan para elite politik dan calon legislatif, kita butuh teologi politik. Kehadiran Tuhan harus ada dalam alam pikiran elite politik dan caleg sebagai upaya preventif dalam membangun kesadaran etika politik untuk mencegah terjadinya subversivitas, seperti korupsi, money politics, penyimpangan kekuasaan, pengelembungan suara dalam Pemilihan Legislatif (pileg) 9 April 2009.

Ada beberapa faktor mengapa teologi harus dilibatkan dalam politik. Pertama, kehancuran bangsa Indonesia ini bisa juga disebabkan perilaku elite politik yang tidak memberikan pelayanan kepada rakyat Indonesia. Kita sering melihat perilaku elite politik yang tidak terpuji, misalnya, korupsi uang negara.

Menurut Johann Baptist Metz, teolog Jerman, mengusung gagasan teologi ke dalam politik bertujuan memberikan pendasaran teologis yang kuat terhadap elite politik dan calon legislatif. Hal itu dilakukan sebagai bentuk pendorong inisiatif dan iktikad yang baik dari elite politik dalam Pemilu 2009 terhadap rakyat Indonesia demi menyejahterakan dan memakmurkan kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

Kedua, dosa-dosa besar elite politik tampak sudah begitu besar terhadap rakyat Indonesia. Hal itu tampak sekali bahwa para wakil rakyat yang tidak pernah bisa mengentaskan kemiskinan dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat Indonesia. Menurut Toshihiko Izutsu dalam karyanya, The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantical Analysis of Iman and Islam" (1994), bahwa dosa besar memang melanda umat Islam yang tak pernah berlaku jujur dan mengemban amanah rakyat, apalagi mengabdikan diri untuk rakyat Indonesia.

Ketiga, kehadiran Tuhan dalam sistem perpolitikan di Indonesia sangat penting sebagai upaya untuk membenahi moralitas elite politik dan sikap politisi yang sangat paradoksal dengan hati nurani rakyat. Misalnya, kasus korupsi yang sering melanda anggota DPR dan DPRD menjadi bukti nyata. Dengan melakukan praktik korupsi, berarti telah menyelewengan jabatan kekuasaan. Fenomena itulah yang sangat kita sayangkan. Sudah seharusnya wakil rakyat memberikan teladan yang baik kepada rakyat Indonesia.

Tak salah kiranya, maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, bahkan penyelewengan kekuasaan, yang dilakukan pejabat negara telah membiaskan makna dan hakikat politik sebagai alat yang luhur sesungguhnya. Bakkan, telah menjadikan politik sebagai sebuah alat kepentingan yang menjadikan manusia sebagai -meminjam bahasa Thomas Hobbes- homo homini lupus, manusia yang jahat dan rakus terhadap harta benda dan kekuasaan.

Keempat, Michael Novak (1969) dalam A Theology for Radical Politics menyatakan secara eksplisit bahwa sudah seharusnya teologi politik dijadikan alat atau petunjuk dalam menyelenggarakan kekuasaan. Karena itu, politik sangat berkaitan dengan teologi sehingga menyangkut visi mendasar tentang kehidupan individu dan masyarakat Indonesia dalam sebuah negara-bangsa (nation-state).

Karena itu, -meminjam analisis Boni Hargens- dalam pesta Pemilu Legislatif 9 April 2009 ini yang diharapkan rakyat adalah pemerintah ''hadir bagi rakyat'' bukan hanya ketika bencana melanda atau ketika pergolakan politik separatisme memanas, melainkan dalam keseluruhan proses berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, implikasinya bahwa rakyat tidak hanya ''dipandang berarti'' ketika suaranya dalam pemilu sangat berharga untuk membeli kursi kekuasaan.

Melainkan juga, rakyat yang selamanya berharga karena kekuasaan merupakan wewenang politik yang didaulatkan oleh rakyat sebagai sarana untuk menciptakan keadilan (justitia) dan kebaikan umum (bonum commune). Karena itu, membumikan teologi politik merupakan langkah yang paling konstruktif dalam membangun peradaban bangsa Indonesia terhadap pesta demokrasi pada Pemilu 2009 agar menghasilkan calon pemimpin yang berkualitas, bertanggung jawab, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa.

*) Alumnus Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta