23 Juni 2008

Agama Bukan Sumber Kekerasan

Dimuat di Harian Umum Solopos.
Pada hari Jum’at 25 April 2008.


* Oleh : Syahrul Kirom

Agama turun tidak diruang hampa. Tuhan menurunkan agama di dunia ini mempuyai tujuan tertentu. Kehadiran agama-agama dunia dan kepercayaan lain seperti Hinduisme, Yudaisme, Budhaisme, Kristianitas, Islam, Sikhisme, Konfusianisme, Taoisme, Zoroastrianisme dan Shintoisme merupakan simbol suci kepercayaan yang dianut umat manusia.

Agama-agama tersebut, disadari atau tidak telah memebrikan nuansa perdamaian, kesejahteraan dan ketentraman dalam setiap agama sebagai tempat berteduh dan mengadu seluruh keluh kesah serta penderitaan yang kita alami di dunia ini.

Agama merupakan seperangkat institusi dengan sekelompok orang-orang yang berkumpul secara teratur untuk suatu ibadat dan seperangkat ajaran yang menawarkan cara menghubungkan individu dengan suatau yang dipandang sebagai hakikat tertinggi.

Michael Keene dalam bukun-nya Agama-Agama Dunia (2006) menegaskan bahwa keberadaan agama dan aliran kepercayaan adalah memberikan kesadaran kepada setiap pemeluk agama bahwa keberadaan bukan sebagai sumber kekerasan dan konflik sosial. Akan tetapi, kita harus menyadari bahwa perbedaan keyakinan, ajaran, dan kitab suci merupakan suatu rahmat bagi seluruh umatnya.

Di era zaan modern yang semakin sekuler, liberal, dan pluralis ini agama memainkan peranan dan fungsi yang sangat signifikant bagi kehidupan umat beragama. Penyelidikan-penyelidikan menyatakan bahwa lebih dari 70% penduduk dunia menunjukkan bahwa mereka menganut salah satu agama.

Di Eropa Timur misalnya, semakin banyak orang mengikuti ibadat di sinagoga, mesjid, kuil, dan gereja. Di banyak tempat di dunia imam, rabi, dan pendeta bekerja bersama-sama untuk menciptakan dunia yang semakin baik dan damai dengan ajaran dan kepercayaan masing-masing umat beragama.

Sementara itu, perbedaan-perbedaan agama terkadang juga sering menjadi pusat ketidaktenangan internasional dan ketidaktentraman penduduk seperti yang terjadi di Yugoslavia, Pakistan, Timur Tengah, Irak, dan Irlandia Utara.

Ciptakan Perdamaian
Masih hangat dalm pikirn kita peperangan antara Israel dan Libanon, Iran dan Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Itu salah satu bukti nyata bahwa agama sebaliknya makin membuat dunia tidak nyaman, hanya karena persoalan yang remeh-temeh, yakni perbedaan agama dan keyakinan saja konflik sosial pun akhirnya terjadi dengan sangat mengerikan. Karena itu, agama mengambil bagian pada momentum yang paling penting untuk menciptakan perdamaian.

Agama-agama dunia juga merayakan kelahiran, menandai pergantian jenjang masa dewasa, mengesahkan perkawinan serta kehidupan kelurga dan melapangkan jalan dari kehidupan kini menuju kehidupan yang akan datang. Bagi berjuta-juta manusia, agama berada dalam kehidupan mereka pada saat-saat yang paling khusus maupun pada saat yang mengerikan.

Agama juga memberikan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyan yang membingungkan kita. Adakah kekuatan tertinggi lain yang mampu memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan kita? Bagaimanakah kehidupan di mulai?apa arti semuanya dunia ini?Mengapa orang menderita? Bagaimanakah kehidupan sesudah kematian? Siapa yang paling benar di dunia ini? Apa yang akan terjadi terhadap kita apabila kita telah mati?

Mengingat semua ini tidak mengherankan jika agama memberikan banyak inspirasi terhadap karya-karya terbesar dunia seperti dalam seni, musik, dan literatur. Dalam perspektif perenial, semua agama memang dapat dikatakan mengacu pada pengakuan yang suci. Bahwa setiap agama mempunyai kekuatan Yang Maha Dahsyat dan Maha Kuasa di luar kemampuan manusia dan alam semesta ini, yakni menurut ajaran dan kepercayaan masing-masing agama.

Di sisi lain, agama sebenarnya berasal dari perasaan kebergantungan mutlak kepada yang tak terhingga. Rudolf Otto menyebutkan agama sebagai pengalaman pertemuan dengan The Wholly Other yang menimbulkan rasa ngeri dan cinta, sebuah misteri yang menakutkan dan sekaligus memesona, misterium tremendium et fascinnas.

Persoalannya adalah kenapa terkadang agama dianggap mengerikan bagi umat manusia? Sebab agama sering dituding sebagai sumber konflik bagi umat manusia. Terlepas dari perdebatan apakah benar agama menjadi faktor timbulnya kekerasan atas nama agama, fakta berbicara bahwa konflik sosial yang terjadi salah satunya disulut oleh isu agama.

Kebenaran Mutlak
Meski demikian, bukan lantas atas nama agama kita bisa melakukan aksi kekerasan secara semena-mena dengan perbuatan yang merugikan publik. Sebab ajaran agama, tidak pernah mengajarkan pada umatnya untuk melakukan peperangan dan konflik. Karena itu, janganlah agama dibuat kedok untuk bertindak radikal. Akan tetapi, yang jelas agama-agama dunia tidak pernah mengajarkan kekerasan dan konflik. Agama hadir bertujuan untuk menciptakan rasa solidaritas, toleran, bresikap inklusif, damai, dan membawa misi kemanusiaan yang menekankan pada cinta kasih, budi baik, belas kasih dan kegembiraan terhadap sesama umat manusia.

Pemahaman agama perlu dipelajari lagi oleh setiap pemeluk agama termasuk, agama Islam secara komprehensif, bagaimana Tuhan mengajarkan kepada umatnya untuk selalu melakukan kebaikan dan menghormati setiap perbedaan keyakinan agama. Agama merupakan mediator saja bagi manusia untuk menuju kepada Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi, janganlah sampai kemudian jika kita sebagai pemeluk agama kemudian merumuskan pemikiran Tuhan dengan membentuk peraturan,upacara dan tradisi yang sangat jumud. Lebih dari itu, kita sebagai pemeluk agama seolah-olah telah memutlakkan ajaran dan peraturan. Hal itulah yang menyebabkan timbulnya kekerasan.

Kita sebagai pemeluk agama harus kembali membaca pemahaman agama kita. Bahwa agama itu adalah alat dan mediator. Dan kebenaran hanya di tangan Tuhan. Tuhan adalah yang Mutlak, manusia hanya bisa memberikan interpretasi yang belum tentu benar, apalagi jika penafsirannya penuh dengan muatan kepentingan dan kekuasaan. Kebenaran hanya milik Tuhan.

Karena itu, pemahaman yang sempit itu harus kita transformasikan sebagai pemahaman yang mengkontekstualisasikan segala zaman agar tidak menimbulkan aksi kekerasan atara sesama agama.Semoga.

* Penulis adalah Almunus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

19 Juni 2008

Meretas Jalan Spiritualisme Orang Kota

Di Muat di Harian Sore Sinar Harapan.
Pada tanggal 12, Juni 2008.

* Oleh : Syahrul Kirom


Kota adalah tumpuan masyarakat Indonesia sebagai tempat harapan dan cita-cita untuk memperoleh pekerjaan. Banyak orang-orang desa berbondong-bondong pergi ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya demi mencapai masa depan kehidupan yang lebih baik.

Itulah persepsi yang mungkin dibayangkan orang desa untuk hidup di kota dengan memperoleh pekerjaan layak dan mudah, dengan penghasilan yang cukup tinggi. Di sisi lain, kebutuhan hidup di kota begitu mudah untuk diperoleh, segala prasarana tercukupi, baik, transportasi, entertainment, shopping, mall, dan museum, universitas-universitas besar di kota metropolitan sudah pasti ada.

Namun demikian, hidup di kota tidaklah mudah, dibalik gemerlapnya kota metropolis juga banyak menyimpan penderitaan dan kesengsaraan. Kota besar dan metropolitan bagaikan magnet yang mempunyai daya tarik kuat bagi banyak orang. Akan tetapi, tak semua orang yang datang mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi kota yang begitu keras dan persaingan kerja yang sangat kompetitif. Kehidupan di kota itu penuh dengan ketakutan, kengerian, kecemasan, kemarahan, kekecewaan, hingga kehampaan dan kekosongan spiritual ketika dibenturkan dengan kerasnya kehidupan perkotaan.

Menurut Muhammad Muhyidin dalam karyanya “Orang Kota Mencari Allah”(2008), menyatakan secara tegas bahwa orang-orang kota mengalami tingkat penurunan spritualitas terhadap cara ibadah dan intensitasnya untuk taat kepada Allah Swt. Hal itu disebabkan, karena orang kota terlalu sibuk terhadap kehidupan duniawinya.

Orang-orang kota adalah orang-orang yang mempunyai mobilitas begitu tinggi dan kegiatan yang sangat padat. Waktu bagi mereka terasa sangat sempit. Hampir setengah dari waktu duapuluh empat jam dihabiskan oleh orang –orang kota untuk menekuni pekerjaan yang itu-itu juga.

Kekeringan Spiritualitas
Mereka sangat sulit sekali untuk meluangkan waktunya beristirahat dan menjalankan ibadah keagamaanya. Belum lagi, dengan adanya kemacetan kota semakin menyita waktu kita untuk beribadah kepada sang khaliknya. Inilah fenomena kota yang sekarang terjadi. Orang kota seolah mengalami kekeringan spiritualitas di hadapan Allah Swt.

Harta dan benda duniawi ini memang penting bagi kita untuk dicari dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan dan minum serta untuk mencapai segala prasana kehidupan demi memperoleh kebahagian dan kesuksesan di dunia. Akan tetapi, kehidupan di muka bumi ini tak selamanya. Sehingga amalan-amalan ibadah dan tingkat spiritualitas kepada sang khalik inilah yang abadi di kehidupan nantinya.

Kesibukan dunia telah melalaikan banyak orang akan kesibukan akhirat. Banyak orang yang sudah tidak peduli lagi akan pentingnya, sholat, membaca Al-Qur’an, membaca kitab-kitab para ulama, membaca buku-buku agama, menghadiri pengajian-pengajian dan berpuasa. Orang kota tenggelam dalam kubangan pekerjaan.

Orang-orang kota, yang tergambarkan sebagai ekonomi mapan, segala kebutuhan hidupnya sudah lebih dari cukup, saat ini terserang “penyakit-pemyakit jiwa” lantaran lupa terhadap jagat spiritualitasnya sebagai makhluk Allah. Jadilah mereka terserang kegelisahan, kecemasan hingga kehampaan dan ketidakbermaknaan hidup akibat kekosongan jiwa. Hidup menjadi serba monoton, tanpa warna, tanpa referensi spiritual dan itulah yang menjadikan mereka mudah kalut, emosi, stres, dan bahkan gila atau bunuh diri.

Melihat realitas kehidupan di perkotaan yang multikompleks baik dari aspek sosial, ekonomi, politik dan agama. Mereka yang sedang dihimpit masalah dalam kehidupannya. Itu disebabkan mereka sangat jauh dengan Allah SWT. Karena, terlalu sibuk mengurusi kehidupan duniawinya.
Pada hakikatnya orang-orang kota telah kehilangan Allah swt. Orang kota telah kehilangan pegangan terhadap sang khaliknya di satu sisi, dan menyadarkan diri pada mereka untuk berpegang pada pegangan yang tidak kuat yang bisa musnah dan hilang, termasuk, uang dan harta benda lainnya.

Diniatkan Sebagai Ibadah
Tatkala hubungan kita jauh dari Allah swt, maka saat itulah kita akan diterpa dengan berbagai macam tragedi, seperti kebakaran, perampokan, pembunuhan, penculikan bayi, penggusuran, kesulitan ekonomi, terlibat kasus narkoba dan korupsi, kekerasan seksual, banjir, kelaparan, gizi buruk. Hal itu disebabkan hubungan kita dengan Allah sangat jauh sekali. Sebab kita hanya mendekatkan diri pada tujuan-tujuan yang bersifat duniawi semata-mata, yang meliputi harta, uang, jabatan, kedudukam, kekuasaan dan popularitas.

Kini, sudah saatnya orang-orang kota menata hati dan menjernihkan pikirannya untuk selalu menjalankan ibadah kepada sang khaliknya. Pertama, Segala aktivitas kehidupan yang berkaitan dengan dunia ini harus diniatkan sebagai ibadah sehingga nilai-nilai amaliah dan pahala itu akan berguna (meaningfull) di akhirat nantinya. Dengan kata lain, ketika kita telah menetapkan niat bahwa kita bekerja itu semata-mata untuk beribadah kepada Allah swt. Di mana hasil pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan hidup kita dan keluarga serta orang-orang yang menjadi tanggungan kita. Maka niat tersebut merupakan ikrar dan janji kepada Allah swt.

Kedua, dengan melakukan niat ibadah dalam mengerjakan pekerjaan. Kita berarti telah melakukan terobosan spiritual sebagai payung yang melindungi setiap gerak dan langkah kita. Dengan niat sebagai ibadah, berarti kita telah mengetuk pintu langit untuk memohon berkah, perlindungan, pertolongan dan rahmat Allah swt.

Dengan demikian, rendahnya spritualitas menjadi penyebab lahirnya kekerasan, kekejian dan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. Karena itu, pada zaman modern ini kita perlu menciptakan dan menyediakan ruang-ruang energi spiritualitas dalam diri kita. Sesungguhnya, sifat dari semua energi itu kekal. Makna “kekal” itu berarti bahwa energi tersebut selalu ada dalam ranah ciptaan relatif. Meminjam istilahnya-Fritchouf Schoun dalam karyanya Filsafat Perennial (2001), itu merupakan kekekalan yang relatif (relativity absolut).

Karena itu, kita perlu menumbuhkan dan menciptakan keseimbangan energi spritual yang harus di pegang oleh setiap pemeluk agama yang tinggal di kota-kota besar. Sehingga kita harus meretas jalan kembali menuju agama dan spiritualitas, dari kejumudan menuju kreativitas, dari kelalaian menuju pencerahan. Semoga.

* Penulis adalah Peneliti Pada Social and Philosophical Studies Yogyakarta.

12 Juni 2008

Terlalu Sulit Dimaafkan

Di Muat di Jawa Pos.
Pada Hari Selasa, 16 Mei 2006.

Oleh : Syahrul Kirom *

Kontroversi status hukum mantan Presiden Soeharto yang berkaitan dengan kasus tindak pidana korupsi di tujuh yayasan di Indonesia menjadi diskursus publik yang cukup menarik seiring munculnya Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) oleh Kejaksaan Agung.

SKPP tersebut keluar karena pengendapan proses penyidikan akibat penguasa Orde Baru (Orba) yang telah berusia 84 tahun itu sakit-sakitan. Kondisi manta Presiden Soeharto Kembali memburuk dan mengalami pendarahan lambung. Kadar hemoglobinnya terus menurun. Bila sebelumnya 8,1 gram persen (normal antara 11-13 gram), kemarin drop ke angka 6,8 gram persen (Jawa Pos, 14/05/2006). Namun, persoalannya, kenapa dia masih sering tampil di depan
publik dengan menghadiri pernikahan cucunya beberapa waktu lalu?

Karena itu, kasus hukum Soeharto harus tetap dijalankan. Dosa-dosa sejarah Orde Baru, tindakan otoriter, represif yang dilakukan beserta kroni-kroninya selama 32 tahun berkuasa harus dipertanggungjawabkan di hadapan publik.

Bukan sebaliknya, dengan sangat mudahnya pemerintah serta Jaksa Agung Abdurahman Saleh menyatakan agar status hukum mantan Soeharto dihentikan. Apakah kita tidak mendengar jeritan hati seorang tahanan politik (tapol), seperti Pramoedya Ananta Toer, tokoh komunis asal Blora. Karya-karyanya yang pedas di telinga rezim Soeharto terpaksa diberedel serta tidak boleh diterbitkan sehingga dengan sangat terpaksa dia harus keluar masuk penjara.

Pernahkah kita merasakan bagaimana tersenyum di tengah derita rezim Soeharto? Siksaan demi siksaan ditimpakan atas diri kaum pemuda, bagi siapa pun yang menentang kekuasaan rezim Orba. Begitu juga, tatkala kayu pemukul dan pentungan besi harus dihantamkan pada tubuh-tubuh yang lunglai. Ketika kuku-kuku jemari dicabuti, kumis, dan tubuh dililit kawat bermuatan listrik.

September 1984, peristiwa Tanjung Priok terjadi. Manusia ditembak bagai binatang buruan. Awal 1989, tragedi Lampung berdarah. Laki-laki dibunuh karena dituduh pembangkang. Bayi, anak-anak, dan ibu mereka jadi sasaran kemarahan. Mereka dipanggang hidup-hidup di dalam rumah yang sengaja dibakar. Sebanyak 50 ibu-ibu, 80 anak-anak, pria dan wanita, jadi korban pembantaian biadab. Menyusul pembunuhan muslim di Aceh pada 1990. Jasad manusia bergelimpang di jalanan.

Begitu pula, tragedi menjelang reformasi pada 12 Mei 1998, yang menuntut lengsernya Soeharto, memakan korban yang tidak sedikit. Empat orang mahasiswa Trisakti tewas saat aparat kepolisian dan tentara menembakkan peluru tajam ke arah Kampus Trisakti di Grogol. Elang Mulya Lesmana (19) luka tembak di dada, Hafidin Royan (21) luka tembak di kepala, Hendriawan Sie (20) luka tembak di leher, dan Hery Hartanto (21) luka tembak di punggung, tewas akibat terjangan timah panas tentara dan polisi.

Beberapa hari sebelumnya, 8 Mei 1998, seorang mahasiswa di Jogjakarta, Moses Gatotkaca, juga tewas dalam bentrokan dengan aparat ketika aksi unjuk rasa menuntut Presiden Soeharto mundur.

Gerakan reformasi 21 Mei 1998, yang dipelopori mahasiwa, mampu memaksa mundur singgasana kekuasaan yang telah diduduki Soeharto selama tujuh periode (1986-1998). Di balik gerakan reformasi, kita bisa mengungkap politik rezim Orde Baru, yang selama bertahun-tahun mencekam dan menipu berjuta-juta rakyat Indonesia.

Dengan begitu, mata kita bisa terbuka, ternyata ada yang salah dalam sistem pengelolaan negara ini. Akibatnya, bangsa Indonesia ditimpa musibah dahsyat di bidang ekonomi, politik, sosial, dan moral serta krisis mulitidemsi.

Sejak rezim Soeharto berkuasa, dia dengan cerdik melahirkan banyak produk hukum dengan cara mengadopsi hukum warisan kolonial untuk digunakan sebagai katup penyumbat terhadap partisipasi politik. Mulai Kopkamtib, Asas Tunggal, UU Perkawinan, hingga pembantaiaan serta penangkapan aktivis, seperti tragedi DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh dan kasus-kasus lain yang dikategorikan melanggar UUD 1945.

Permaafan

Karena itu, sejarah kelam rezim Soeharto harus dijadikan bahan pertimbangan utama ketika pemerintah Indonesia dan Kejaksaan Agung saat ini ingin menghentikkan kasus hukum Soeharto. Akibat sikap dan tindakan yang sangat kejam, tidak ada permohonan maaf bagi Soeharto dan antek-anteknya.

Bagaimana kita harus memaafkan seorang penguasa zalim dengan hanya mengucapkan kata-kata maaf. Kejahatan yang berlalu tetap tidak akan bisa tergantikkan dengan pernyataan maaf. Alih-alih Soeharto mendapatkan hukuman berat, itu menandakan permaafan dan hukum yang diberikan Soeharto pun tidak setimpal dengan tindakan yang menyakitkan rakyat Indonesia.

Meminjam analisis Jacques Derrida dalam Cosmopolitanism and On Forgiviness (2003), meski Soeharto memperoleh amnesti, abolisi, rehabilitasi, situasi trauma berdarah, seperti tragedi Semanggi I dan II, meminta bentuk-bentuk permaafan.

Permaafan atau pengampunan sesungguhnya yang kita berikan kepada mantan Presiden Soeharto mengandung ciri memaafkan apa yang tak bisa dimaafkan.

Ketika Soeharto meminta maaf kepada bangsa Indonesia, mereka yang pernah merasakan siksaan rezim Soeharto tidak akan pernah mengatakan maaf. Sekalipun luka dalam hati, mereka sudah dilambari jasa-jasa Soeharto yang cukup besar terhadap bangsa dan negara Indonesia.

* Syahrul Kirom, mahasiswa Aqidah Filsafat UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.

Memberdayakan Kesejahteraan Guru Honorer

Oleh : Syahrul Kirom*

Keluh kesah yang dialami guru bantu atau honorer lama terpendam. Permintaan mereka untuk menjadi seorang PNS tak bisa dibendung. Mereka berusaha ekstrakeras memperjuangkan nasib dengan menuntut haknya kepada pemerintah, DPR,dan Depdiknas.

Hasilnya, pemerintah mengabulkan dengan akan mengangkat sekitar 236. 011 orang guru bantu di seluruh Indonesia. Namun, hanya 110 ribu orang yang akan diproses pada September 2005. Pengangkatan itu diprioritaskan bagi guru yang rata-rata memiliki masa pengabdian 10 tahun-20 tahun.

Pengalaman mereka yang sangat lama menjadi pertimbangan utama untuk diangkat tanpa tes. Sementara itu, guru bantu yang belum berpeluang menjadi PNS akan diperpanjang kontrak dan ditambah honornya dari Rp 460.000 menjadi Rp 710.000 per bulan.

Sudah sewajarnya bila jeritan guru honorer itu dibarengi dengan tuntutan tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi mereka menuntut menjadi PNS. Pertama, ketidakjelasan status guru honorer itu mengakibatkan mereka mudah diperlakukan sewenang-wenang. Terkadang, jatah mengajar pun bergantung dari belas kasihan kepala sekolah.

Bahkan, mereka bisa dipecat dari sekolah seandainya tidak memenuhi kualitas dalam mengajar. Jadi, jaminan untuk mendapatkan gaji pensiunan tidak ada.

Kedua, tidak adanya standar gaji guru honorer di sekolah mengakibatkan kepala sekolah memberikan gaji seenaknya. Padahal, gaji yang sangat minim itu pun tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga.

Sangat disayangkan jika ada kepala sekolah yang memberikan gaji sangat rendah. Pemberian honor yang tidak manusiawi tersebut sama dengan mengeksploitasi tenaga guru honorer. Itu merupakan cermin bahwa pemerintah dan Depdiknas tidak serius memperhatikan nasib mereka.

Ketiga, ketika bertahun-tahun mengabdikan diri di sekolah, mereka khawatir justru malah dipermainkan sekolah, terutama masalah tunjangan yang seharusnya didapatkan dari pemerintah. Misalnya, ketika tunjangan turun dan masuk dalam birokrasi pendidikan dan sampai pada tangan kepala sekolah, jumlahnya mungkin disunat/dikorupsi. Fenomena itu sangat riskan dan sering kali mengakar dalam sistem birokrasi pendidikan di Indonesia.

Karena itu, mereka harus membela hak serta nasibnya yang selama ini termarginalkan dan tidak pernah hidup selayaknya. Kita sering melihat kondisi guru bantu di pelosok pedesaan yang terlunta-lunta dan terkatung-katung. Mereka rela berkorban berangkat mengajar ke sekolah sambil jalan kaki atau memakai sepeda ontel, yang jaraknya sangat jauh dan memakan waktu berjam-jam. Tak salah bila guru itu dimitoskan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

Melihat realitas tersebut, pemerintah sudah seharusnya memprioritaskan kesejahteraan hidup mereka. Upaya pemerintah untuk mengangkat para guru bantu menjadi PNS merupakan salah satu solusi alternatif yang sangat tepat. Pengorbanan dan perjuangan mereka demi generasi anak bangsa ini harus dijadikan fokus utama dalam memperbaiki kinerja pemerintah secara genuine.

Mereka tentu selalu mengharapkan menjadi seorang PNS. Keinginan pemerintah dalam memenuhi aspirasi mereka itu merupakan salah satu bukti riil perhatian pemerintah terhadap nasib guru. Peralihan guru bantu menuju PNS lebih banyak membawa nilai positif bagi perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan kita.

Bila gaji guru honorer dinaikkan dan dijadikan PNS, mungkin semangat mereka dalam proses belajar-mengajar meningkat. Sebab, mereka merasa ditantang belajar lagi menjadi orang yang profesional dan mumpuni. Selain itu, dengan kepastian status tersebut, setidaknya para guru lebih tenang dan lebih berkonsentrasi dalam mendidik muridnya.

Pemberian honor yang rendah harus direduksi. Sebab, mereka juga sama-sama menjalankan fungsi pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahkan, guru bantu inilah yang justru lebih tekun, rajin, dan kreatif, tanpa pamrih, serta penuh kesabaran dalam mengajarkan ilmunya.

Kita juga tidak menafikan bahwa ada guru PNS yang justru menambah persoalan. Masih hangat dalam ingatan kita, banyak guru PNS yang melakukan korupsi jam. Waktu mereka lebih banyak digunakan untuk ngerumpi, baca koran, ngopi, jalan-jalan, dan lain-lain.

Biasanya, mereka selalu diidentikkan dengan malas, tidak serius, dan bekerja kurang maksimal. Parahnya lagi, mereka sering menggantungkan kegiatan proses belajar-mengajar pada guru bantu.

Dengan demikian, tanggung jawab pemerintah terhadap guru honorer harus ditingkatkan. Janji pemerintah untuk menjadikan mereka sebagai PNS harus segera direalisasikan dan diimplementasikan, jangan hanya lips service belaka. Sebab, itu menyangkut harkat dan martabat kehidupan mereka serta mutu dan masa depan pendidikan nasional sebagai garda terdepan dalam menyongsong kemajuan bangsa
Indonesia.

* Syahrul Kirom, mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat UIN Sunan Kalijaga
Jogjakarta.

Kebangkitan atau Kebangkrutan Nasional

Di Muat di Koran Surya.
Pada Hari Jum'at 18 Mei 2008.

Oleh : Syahrul Kirom *

Peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2007 besok merupakan sebuah perjalanan panjang atas sejarah kelam Indonesia. Bagaimana rakyat Indonesia harus keluar dari penjajahan kolonialisme Belanda selama berpuluh-puluh tahun.

Akhirnya berkat kelahiran organisasi Boedi Oetomo pada tanggal 1908 ini menjadi langkah awal untuk menciptakan semangat dan menyatukan suatu ideologi yang sama demi mempertahankan negara dari hegemoni kekuasaan Barat.

Melalui semangat nasionalisme dan mencintai tanah air yang tinggi serta tidak didasarkan pada perbedaan bahasa, kultural, atau posisi geografis, kita dapat mencapai persamaan untuk meraih kembali negara Indonesia tercinta. Semangat nasionalisme adalah perasaan satu nasib, satu perjuangan dalam kesengsaraan di bawah penindasan kolonialisme imperialisme.

Kolonisalisme harus segera dilawan karena itu adalah bentuk penyiksaan secara kultural-struktural yang menyebabkan kita tidak bisa bebas untuk melakukan apa saja, sebab segala gerak-gerik kita dibatasi.

Apakah selama ini kita sudah mengalami kebangkitan dalam konteks secara luas mulai dari aspek kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya, dan bahkan agama sudah mengalami perbaikan secara baik atau tidak? Ternyata, selama ini apa yang kita dengung-dengungkan untuk bangkit dari imperialisme Barat tak bisa diwujudkan.

Realitas itu seringkali ditemukan dengan terjadinya kesenjangan ekonomi yang begitu lebar, antara kaum proletar dan borjuis. Munculnya kemiskinan massal, kemakmuran sepihak, kepincangan ekonomi regional yang selalu meningkat, ketidakseimbangan pertumbuhan populasi, pemakaian sumber-sumber alam yang tidak terpulihkan dengan cara yang tidak rasional, juga proses produksi dan konsumsi yang tidak sesuai dengan daya lingkungan. Fenomena itu tak lain karena adanya penyimpangan-penyimpangan oleh elite pemerintahan.

Krisis Ekonomi
Akibat kebijakan yang diselewengkan oleh pihak-pihak tertentu membuat krisis ekonomi melanda negeri ini. Krisis ekonomi jilid 2 kini sedang menimpa perekonomian kita. Hal itu disebabkan derasnya aliran dana yang masuk dari kawasan Asia, termasuk Asia Tenggara yang dikhawatirkan akan menyebabkan melemahnya tingkat pertumbuhan ekonomi.

Kondisi saat ini mirip dengan krisis ekonomi pada tahun 1997. Ada beberapa hal yang menyebabkan krisis ekonomi saat ini. Pertama, ini bisa dilihat dengan terus melambungnya cadangan devisa di Bank Indonesia (BI) yang kini meningkat dan mencapai sekitar 51 miliar dolar AS atau Rp 459 triliun. Padahal, sekarang posisi cadangan devisa investor asing di pasar modal mencapai Rp 43,2 miliar dolar AS.

Kedua, dalam data BI menunjukkan net buy investor di pasar modal mencapai Rp 3,2 triliun. Di pasar surat utang negara (SUN), investor asing membukukan net buy lebih
tinggi lagi, yaitu sekitar Rp 6,7 triliun atau naik Rp 0,2 triliun dibanding triwulan keempat 2006. Sementara itu realisasi pembayaran utang luar negeri mengecil sehingga pengeluaran pemerintah dalam bentuk valas lebih rendah daripada sisi penerimaan. Ini menyebabkan penghematan Rp 30,7 triliun per akhir Maret 2007. Walau demikian, BI mencatat kenaikan utang luar negeri swasta hingga 51,131 miliar dolar AS per akhir Desember 2006 (Suara Karya, 12/5).

Menurut Anggito Abimanyu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Depkeu, ancaman krisis yang mengintai kali ini berbeda dengan sepuluh tahun lalu. Jika pada 1997 pemicu krisis adalah aliran dana keluar (capital outflow), maka saat ini adalah capital inflow.

Yang perlu diperhatikan dengan adanya krisis ekonomi saat ini adalah mewaspadainya derasnya aliran dana asing yang masuk. Semakin banyak kita berhutang kepada negara lain berarti semakin parah penderitaan yang akan kita alami. Inilah yang menimbulkan terjadinya krisis perekonomian bangsa Indonesia. Karena itu, pemerintah harus menekan maksimal SUN yang bisa menjadi instrumen peredam kelebihan likuiditas tersebut.

Untuk mengatasi kebangkrutan pertumbuhan ekonomi, maka upaya yang sangat konstruktif dalam membangun kemandirian suatu bangsa Indonesia adalah mengusir dominasi imperialisme Barat yang selama ini selalu mengintervensi perekonomian negara Indonesia, yakni melalui pembangunan tatanan ekonomi nasional secara sistematis.

Meminjam analisisnya Bung Hatta, ekonom Indonesia, kita harus bisa melihat proses perbaikan ekonomi yang sesuai dengan kondisi sosial-budaya nasional, dengan melihat pada letak geografis dan demografis, melainkan juga ekonomi berbasis kerakyatan. Selain itu, bagaimana kita bisa memotong segala usaha atas hegemoni sistem ekonomi kolonial dan ekonomi kapitalisme agar tidak menghamba kepada pemilik modal asing.

Maka upaya untuk memahami semangat mencintai ekonomi kerakyatan perlu ditekankan secara bersama. Hubungan kita dengan perusahaan transnasional harus dipatahkan dengan cepat, yakni pada struktur-struktur ekonomi yang terus melanggengkan dominasi pemilik modal. Perusahaan transnasional telah menjadi monster, raksasa global yang memegang kekuasaan ekonomi-politik yang sangat besar.

Perekononomian adalah tulang punggung paling dasar dalam membangun peradaban bangsa Indonesia. Jangan sekali-sekali terjebak kekuasaan dan menggantungkan hutang pada negara lain, sebab proses interdependensi terhadap kebijakan luar negeri ini jelas akan menyebabkan keterlambatan perekonomiaan negara Indonesia.

Di sisi lain, keterlambatan pertumbuhan perkonomiaan Indonesia, tidak hanya disebabkan pengaruh pada kebijakan global. Jangan lupa untuk ikut mengenyahkan sistem perekonomian yang korup. Misalnya yang terjadi pada PT Jamsostek oleh Ahmad Junaedi, PT PLN oleh Edie Widiono, kasus Bulog dengan Widjanarko sebagai tokoh utamanya dan tokoh lain di baliknya, serta korupsi yang sudah menggurita hingga ke daerah. Faktor itulah yang menjadikan pilar-pilar
perekonomiaan runtuh.

Kita berharap pada momentum Hari Kebangkitan Nasional ini pemerintah dan menteri perekonomian bisa kembali membuat kebijakan-kebijakan ekonomi makro maupun mikro yang kuat. Tidak hanya pada pencapaian pertumbuhan ekonomi semata, juga pada pemerataan. Pemerintah harus mampu menciptakan terobosan-terobosan baru demi memperbaiki sistem perkonomian bangsa Indonesia yang lebih maju.

* Peneliti pada Social and Philosophical Studies Jogjakarta.

Buruh dalam Genggaman Kapitalisme

Di Muat di Suara Karya.
Pada hari Selasa 1 Mei 2007

Oleh : Syahrul Kirom *

Hari ini, tepatnya 1 Mei, adalah Hari Buruh International. Buruh merupakan salah satu bentuk "investasi" untuk memajukan perekonomian negara. Tanpa adanya buruh segala macam bentuk perusahaan tidak akan berjalan secara lancar. Melalui peringatan Hari Buruh diharapkan muncul kesadaran dari berbagai pihak untuk memberi perhatian kepada buruh, khususnya menyangkut tingkat kesejahteraan. Dengan demikian mereka dapat bekerja secara maksimal.

Hal itu selaras dengan aksi penolakan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) Nomor 13 Tahun 2003, beberapa waktu lalu. Para buruh meminta agar revisi tersebut dibatalkan, karena jelas-jelas merugikan kaum buruh dan hanya menguntungkan pemilik modal.

Setidaknya ada beberapa alasan para buruh menolak revisi UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Pertama, rencana pemerintah yang ingin menghapus Pasal 35 ayat (3) tentang kewajiban pengusaha untuk memberi perlindungan, yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik.

Kedua, revisi terhadap Pasal 156 bahwa dalam hal pemutusan hubungan kerja (PHK) pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon serta uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima pekerja. Akan tetapi, pemerintah malah menghapus.

Itu merupakan suatu bentuk dehumanisasi terhadap kaum buruh yang seolah-olah dijadikan sebagai mesin kerja, karena tidak mendapat bayaran sesuai dengan hasil kerjanya.
Ketiga, revisi pada Pasal 100 ayat (1) yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja, pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan. Pasal tersebut ternyata dihilangkan. Tindakan penghapusan itu jelas merugikan kaum buruh. Keempat, revisi pada Pasal 167 tentang pemberian uang kompensasi pensiunan, yang ditiadakan.

Pemerintah dan pengusaha beralasan bahwa revisi itu diperlukan sebagai bagian dari perbaikan iklim investasi. Padahal, itu merupakan alasan yang hanya menguntungkan satu pihak saja. Dikatakan bahwa iklim investasi yang baik akan menjamin masuknya investor dalam negeri, terutama asing, ke Indonesia guna membuka pabrik-pabrik baru, sehingga lapangan kerja baru semakin banyak.

Seandainya argumentasi yang dilontarkan pemerintah seperti itu, maka hal itu justru akan menciptakan jutaan pengangguran dan kemiskinan di negeri ini. Apalagi saat ini pengusaha ingin merekruitmen pekerja dari luar negeri. Maka tak salah kiranya jika para buruh menolak revisi UU Ketenagakerjaan tersebut.

Para buruh berasumsi bahwa dalam kondisi ekonomi yang sulit sekarang ini, nasibnya semakin tidak jelas bila revisi terhadap UU No 13/2003 itu jadi dilakukan pemerintah.
Melihat realitas tersebut tak salah kiranya jika kemudian para buruh harus melakukan protes guna membela diri. Karena, bagaimana pun hal itu menyangkut harkat dan martabat mereka sebagai manusia yang sudah seharusnya diperlakukan sebagaimana manusia, bukan sebagai mesin produksi maupun investasi.

Maka benar apa yang dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada semua para pengusaha untuk tidak memperlakukan buruh sebagai faktor produksi, efisiensi, apalagi faktor penarik investasi.

Karena itu, UU Ketenagakerjaan dan peraturan lain yang menyangkut perburuhan harus bisa menyejahterakan buruh.

Untuk memajukan perusahaan, pengusaha tidak boleh menggunakan nalar kapitalis untuk menunjang efisiensi. Karena dampaknya upah pekerja harus ditekan seminimal mungkin agar biaya produksi mengecil.

Sebagai penarik investasi, kalangan pengusaha menerapkan upah pekerja semurah mungkin agar bisa bersaing dengan negara lain. Pengusaha hendaknya tidak berpikir seperti itu. Hal itu justru menyebabkan diskriminasi dan kesenjangan sosial terhadap buruh lainnya. Namun, perlu diingatkan bahwa upah riil harus sebanding dengan produktivitas.

Peraturan tentang ketenagakerjaan seharusnya melindungi tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan, dan meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja beserta keluarganya.
Persoalannya selama ini buruh dijadikan bahan ekploitasi untuk kepentingan bisnis semata. Dengan demikian buruh hanya dijadikan sebagai alat produksi. Pekerja tak ubahnya seperti modal, semuanya di dekati dengan rasionalitas ekonomis. Jika paradigma itu dipakai, para pengusaha jelas mengabaikan aspek rasa kemanusiaan.

Realitas itu semakin meneguhkan paradigma Karl Marx dalam karya masterpiece-nya Das Kapital (1867), mengenai filsafat pekerjaan, yang menganggap manusia sebagai faktor produksi dan mesin penghasil uang. Nilai kerja dari buruh hanya dihitung semata-mata secara kualitatif, bukan pada nilai-nilai sebagai manusia seutuhnya.

Karena itu semuanya harus bisa dijual. Setiap benda harus memiliki harga. Logika yang digunakan para pemilik modal terhadap buruh seperti itulah yang harus diubah. Karena bagaimanapun mereka adalah bagian dari perusahaan yang saling melengkapi satu sama lain.

Momentum peringatan Hari Buruh Sedunia ini diharapkan dapat mengubah segala bentuk kebijakan pemerintah dan pengusaha untuk lebih pro-terhadap kepentingan para buruh. Sudah waktunya pemerintah dan pengusaha memberi hak mereka untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Mereka juga manusia yang harus diberikan kesejahteraan dan kemakmuran untuk memperbaiki kualitas kehidupan.***

*Penulis adalah peneliti pada Social and Philosophical Studies Yogyakarta.

Membangun Kesadaran Etika Lingkungan

Di Muat di Bali Post.
Pada Selasa Paing, 25 April 2006.

Oleh : Syahrul Kirom *

BENCANA banjir dan tanah longsor yang menimpa sejumlah daerah di Tanah Air sudah seringkali terjadi terutama pada musim penghujan. Namun, realitas tersebut tidak pernah menyadarkan diri kita sebagai insan manusia yang berkesadaran dan tidak ingin belajar dari sebuah kesalahan atas kejadian tersebut.

Beragam bencana yang melanda bangsa Indonesia ini adalah sebuah kejahatan yang dilakukan oleh manusia, karena manusia sendiri yang seringkali lalai serta melakukan eksploitasi alam semesta secara semena-mena, tanpa berpikir akan implikasinya.

Fenomena banjir dan tanah langsor ini merupakan akibat ulah manusia yang tak pernah memperlakukan alam selayaknya manusia. Oleh karena itu, kita jangan pernah menyalahkan alam dan bahkan Tuhan sekalipun. Kejadian bencana itu adalah salah satu indikator bahwa manusia telah kehilangan eksistensinya untuk saling menyapa dan menyayangi alam semesta ini. Alam sebagai sumber kehidupan ini telah banyak dieksploitasi oleh manusia-manusia yang tak bertanggung jawab dan hanya ingin memperoleh keuntungan sesaat. Yakni dengan melakukan penjarahan hutan dan penebangan secara liar tanpa mengedepankan aspek kerugian yang ditimbulkan.

Melihat fenomena banjir bandang tersebut setidaknya ada beberapa hal yang harus diupayakan oleh masyarakat dan pemerintah agar kejadian itu tak terulang kembali dengan memakan banyak korban. Pertama, pemerintah dan masyarakat setempat harus melakukan langkah-langkah konstruktif dalam upaya menanggulangi kejadian banjir di antaranya mengkampanyekan reboisasi dan penanaman pohon-pohon di daerah yang gundul dan gersang sebagai salah tindakan paling efektif untuk mengurangi korban yang tewas.

Kedua, pemerintah dan aparat penegak hukum harus bersikap tegas untuk segera melakukan investigasi dan menangkap siapa saja para pelaku illegal logging yang sering menjarah hasil kekayaan alam Indonesia. Sehingga dengan upaya penangkapan oknum-oknum yang mengeskploitasi bisa menimbulkan efek jera agar aksi kejahatan tersebut tidak terjadi lagi.

Etika Lingkungan

Akibat kedua hal tersebut, tak ayal lagi, bila kemudian terjadi krisis ekologi, krisis bumi dan krisis kemanusiaan yang seolah tak berujung. Hal ini merupakan implikasi dari perbuatan dan tindakan manusia yang melakukan pejarahan hasil bumi dan menimbulkan kehancuran. Di sisi lain, kejahatan ekologis ini ternyata juga dilakukan karena ada muatan kepentingan ekonomi dan kecanggihan alat teknologi.

Melainkan bersumber dari etika manusia yang bercorak antroposentris, yang memandang manusia sebagi pusat dari alam dan seolah-olah hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya hanya sekedar alat bagi pemuas kepentingan dan kebutuhan.
Melihat realitas tersebut, manusia telah kehilangan nilai-nilai etika lingkungan (enviromentalis), yakni etika lingkungan yang seharusnya menjadi seperangkat aturan untuk mengatur hubungan manusia dengan alam. Etika yang memandang alam sebagai kesatuan utuh yang saling melengkapi. Tapi, alam justru tambah disakiti oleh manusia sendiri yang tak bermoral. Tak salah kirannya, jika alam mengamuk dan memorak-porandakan segala harta dan menghilangkan nyawa manusia.

Melihat realitas tersebut, Lester R Brown dalam salah satu tulisannya menyarankan 'Revolusi Lingkungan Hidup'. Yang berarti manusia harus membangun dengan cepat masa depan lingkungan hidup yang dapat menopang kehidupan, tergantung pada penyusunan kembali ekonomi global, pergeseran besar dalam tingkah laku reproduktif manusia dan perubahan dramatik dalam nilai dan gaya hidup.

Paradigma manusia terhadap lingkungannya inilah yang perlu diubah agar sikap dan perilaku manusia lebih sedikit arif dan bijaksana dalam memaknai alam. Karena itu, manusia harus mengembangkan konsepsi tentang alam yang mengagungkan dan menghormati alam, juga menganggap alam sebagai sesuatu yang sakral dan hidup. Dengan demikian, akan melahirkan sikap yang menghormati dan peduli terhadap lingkungan. Atas dasar itu, kesadaran terhadap pentingnya lingkungan hidup ini harus terus tertanam dalam diri manusia.

Etika lingkungan hidup menuntut agar etika dan moralitas tersebut diberlakukan juga bagi komunitas biotis atau komunitas ekologis. Etika lingkungan harus juga dipahami sebagai refleksi kritis atas norma-norma dan prinsip atau nilai moral yang selama ini dikenal dalam komunitas manusia untuk diterapkan secara lebih luas dalam komunitas biotis dan komunitas ekologis.
Di samping itu, dalam perspektif etika lingkungan ini manusia harus memperlakukan alam tidak semata-mata dalam kaitannya dengan kepentingan dan kebaikan manusia. Etika ini berpijak untuk mengembangkan nilai moralitas manusia dalam menyikapi bencana banjir dan tanah longsor. Persoalannya secara filosofis adalah bagaimana kita bersikap terhadap alam ini, apa yang sebaiknya kita lakukan dan kita tinggalkan, apa yang seharusnya dan apa yang tidak harus kita lakukan terhadap tumbuhan, hewan, tanah, hutan, air dan seterusnya.

Oleh karena itu, manusia harus menumbuhkan kesadaran terhadap lingkungan dengan memegang beberapa prinsip. Pertama, manusia harus bersikap hormat terhadap alam. Kedua, manusia harus mempunyai prinsip bertanggung jawab, yakni tanggung jawab terhadap lingkungan merupakan tanggung jawab manusia juga (Robin Attfield, 1999). Ketiga, manusia harus memiliki solidaritas kosmis. Keempat, manusia harus mengimplementasikan prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam. Kelima, harus memiliki prinsip no harm (tidak merugikan alam). Keenam, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam. Ketujuh, prinsip keadilan. Dalam arti adil tentang perilaku manusia terhadap alam. Kedelapan, prinsip demokrasi. Kesembilan, prinsip integritas moral.

Dengan demikian, kita harus menyadari bahwa keberadaan alam semesta sama dengan posisi manusia yang juga membutuhkan perawatan dan pemeliharaan serta kepedulian terhadap dimensi ekologis yang harus diperlakukan dengan baik. Sehingga dengan adanya bencana banjir dan tanah longsor melalui etika lingkungan ini kita tergugah untuk kembali memperbaiki dan merekonstruksi kondisi alam yang semakin hari demi hari mengalami kehancuran.

* Penulis adalah peneliti pada Social and Philosophical Studies Yogyakarta.

Aborsi Bukanlah Solusi Terbaik

Di Muat di Jawa Pos, Kolom Prokon Aktivis.
Pada Selasa, 12 Juni 2007.

Oleh : Syahrul Kirom *

Praktik abortus provocatus atau pengguguran kandungan dengan sengaja yang dilakukan kaum perempuan di Indonesia kian merebak. Padahal, aborsi merupakan tindakan yang dilarang hukum, bahkan agama. Sebab, aborsi itu sama dengan perbuatan malapraktik pembunuhan atas bayi yang dikandung dari rahim seorang wanita.

Terkadang keinginan aborsi ditimbulkan karena perempuan hamil di luar nikah atau mungkin dia telah diperkosa. Itu semua tak lain merupakan akibat pergaulan bebas. Daripada malu kepada orang tua, keluarga, dan lingkungannya, mereka pun akhirnya terpaksa melakukan praktik aborsi.

Menurut Dokter Boyke, praktik aborsi dilakukan dengan beberapa macam teknik. Pertama, teknik adilatasi dan kuret. Sebuah alat dimasukkan untuk memperlebar lubang leher rahim. Kemudian, janin yang hidup itu dilepaskan dari dinding rahim, dicabik kecil-kecil menggunakan alat yang tajam, dan dibuang ke luar.

Kedua, teknik sunction. Teknik ini dilakukan dengan memasukkan sebuah tabung ke dalam rahim yang menyedot janin ke luar. Janin tercabik menjadi potongan kecil dan dimasukkan ke dalam sebuah botol.

Ketiga, teknik salt poisoned. Cara ini dilakukan pada janin berusia lebih dari 16 minggu, ketika sudah cukup banyak cairan yang terkumpul di sekitar bayi dalam kantong anak sehingga sulit memasukkan alat karena ruang gerak bayi semakin menyempit.

Keempat, teknik histerotomi. Pengguguran bayi dilakukan ketika kandungan berumur lebih dari enam bulan. Cara ini menggunakan sebuah alat bedah yang dimasukkan melalui dinding perut. Bayi kecil itu kadang langsung dibunuh dengan menggunakan teknik pil bunuh (Pil Roussell-Uclaf/RU-486).

Kelima, teknik prostaglandin, yang merupakan cara terbaru. Teknik ini menggunakan bahan-bahan kimia yang mengakibatkan rahim ibu mengerut sehingga bayi yang hidup itu mati dan terdorong keluar.

Melihat kelima proses aborsi tersebut, apakah kita tidak pernah miris melihat bayi yang ada dalam kandungan diaborsi, bayi yang sangat rentan tulang rawannya, yang lembut, dan ringkih. Haruskah dia dibunuh dengan cara ditusuk dan diremukkan dalam kandungan. Kemudian, sebuah alat dimasukkan untuk memotong tubuhnya menjadi beberapa bagian kecil agar mudah dikeluarkan.

Beberapa potongan bayi lalu dikeluarkan satu per satu dari kandungan. Kemudian, potongan itu disusun kembali untuk memastikan lengkap dan tidak tersisa di dalam rahim. Lalu, potongan itu dibuang ke tempat sampah atau sungai, bahkan dikubur di tanah. Betapa kejamnya mereka. Ya Tuhan, ampuni jiwa-jiwa tak berdosa yang berada di tangan para algojo aborsi itu. Sungguh, aborsi yang dilakukan kaum perempuan yang dalam keadaan putus asa itu merupakan perbuatan biadab dan tidak bermoral.

Aborsi sangat mungkin berimplikasi negatif bagi perempuan yang pernah melakukannya. Mereka akan menderita beberapa penyakit kanker. Seperti, kanker payudara, kanker leher rahim, kanker indung telur, kanker hati, infeksi rongga panggul atau yang disebut pelvic inflammatory disense atau endometrosis. Mereka juga akan mengalami kelainan pada ari-ari yang disebut placenta previa, yang akan menyebabkan cacat pada anak dan perdarahan hebat pada saat kehamilan atau tidak memiliki anak lagi secara permanen atau ecotopic pregnancy. Mereka akan mengalami post abortion syndrome (PAS) atau mimpi buruk.

Karena itu, kesadaran kaum perempuan untuk antiaborsi harus ditumbuhkan sejak dini. Sebab, praktik aborsi jelas membahayakan diri sendiri dan si bayi yang masih berada dalam kandungan.

Sementara itu, langkah-langkah yang lebih signifikan untuk menghentikan tindak kejahatan aborsi juga harus dilakukan.

Pertama, menumbuhsuburkan kesadaran antiaborsi terhadap para dokter di seluruh Indonesia agar mereka selalu mencegah aborsi yang kini begitu tinggi. Dokter memiliki peran dan fungsi sangat besar dalam praktik aborsi. Sebab, di tangan para dokter itulah aborsi bisa terlaksana dengan cara sistematis.

Sesungguhnya, sangat tidak pantas seorang dokter membunuh kehidupan insan. Praktik membunuh itu merupakan kontradiksi bagi profesi medis.

Kehidupan insani yang mulai berkembang haruslah dipelihara. Janganlah digugurkan!

Kedua, dukun, disadari atau tidak, juga sangat berperan dalam menambah praktik pengguguran kandungan. Karena itu, dibutuhkan kesadaran dan tanggung jawab moral yang tinggi bagi para dukun untuk tidak menerima dan melakukan praktik aborsi terhadap pasien dan klien mereka.

Jadi, sikap antiaborsi harus dimiliki para dokter, dukun, dan terutama kaum perempuan. Masyarakat pun harus saling mengingatkan bahwa aborsi bukanlah solusi terbaik untuk menghindari rasa malu.

Melakukan aborsi merupakan bagian dari praktik pembunuhan (murder) terhadap embrio-embrio bayi yang tak berdosa. Bahkan, aborsi hanya akan membuat masalah dan menambah penderitaan bagi diri sendiri dan keluarga. Ingat sekali lagi, melakukan aborsi sama dengan menambah noda hitam dalam sejarah kehidupan kaum wanita. Waspadalah!

Syahrul Kirom, mahasiswa jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta.