19 Juni 2008

Meretas Jalan Spiritualisme Orang Kota

Di Muat di Harian Sore Sinar Harapan.
Pada tanggal 12, Juni 2008.

* Oleh : Syahrul Kirom


Kota adalah tumpuan masyarakat Indonesia sebagai tempat harapan dan cita-cita untuk memperoleh pekerjaan. Banyak orang-orang desa berbondong-bondong pergi ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya demi mencapai masa depan kehidupan yang lebih baik.

Itulah persepsi yang mungkin dibayangkan orang desa untuk hidup di kota dengan memperoleh pekerjaan layak dan mudah, dengan penghasilan yang cukup tinggi. Di sisi lain, kebutuhan hidup di kota begitu mudah untuk diperoleh, segala prasarana tercukupi, baik, transportasi, entertainment, shopping, mall, dan museum, universitas-universitas besar di kota metropolitan sudah pasti ada.

Namun demikian, hidup di kota tidaklah mudah, dibalik gemerlapnya kota metropolis juga banyak menyimpan penderitaan dan kesengsaraan. Kota besar dan metropolitan bagaikan magnet yang mempunyai daya tarik kuat bagi banyak orang. Akan tetapi, tak semua orang yang datang mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi kota yang begitu keras dan persaingan kerja yang sangat kompetitif. Kehidupan di kota itu penuh dengan ketakutan, kengerian, kecemasan, kemarahan, kekecewaan, hingga kehampaan dan kekosongan spiritual ketika dibenturkan dengan kerasnya kehidupan perkotaan.

Menurut Muhammad Muhyidin dalam karyanya “Orang Kota Mencari Allah”(2008), menyatakan secara tegas bahwa orang-orang kota mengalami tingkat penurunan spritualitas terhadap cara ibadah dan intensitasnya untuk taat kepada Allah Swt. Hal itu disebabkan, karena orang kota terlalu sibuk terhadap kehidupan duniawinya.

Orang-orang kota adalah orang-orang yang mempunyai mobilitas begitu tinggi dan kegiatan yang sangat padat. Waktu bagi mereka terasa sangat sempit. Hampir setengah dari waktu duapuluh empat jam dihabiskan oleh orang –orang kota untuk menekuni pekerjaan yang itu-itu juga.

Kekeringan Spiritualitas
Mereka sangat sulit sekali untuk meluangkan waktunya beristirahat dan menjalankan ibadah keagamaanya. Belum lagi, dengan adanya kemacetan kota semakin menyita waktu kita untuk beribadah kepada sang khaliknya. Inilah fenomena kota yang sekarang terjadi. Orang kota seolah mengalami kekeringan spiritualitas di hadapan Allah Swt.

Harta dan benda duniawi ini memang penting bagi kita untuk dicari dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan dan minum serta untuk mencapai segala prasana kehidupan demi memperoleh kebahagian dan kesuksesan di dunia. Akan tetapi, kehidupan di muka bumi ini tak selamanya. Sehingga amalan-amalan ibadah dan tingkat spiritualitas kepada sang khalik inilah yang abadi di kehidupan nantinya.

Kesibukan dunia telah melalaikan banyak orang akan kesibukan akhirat. Banyak orang yang sudah tidak peduli lagi akan pentingnya, sholat, membaca Al-Qur’an, membaca kitab-kitab para ulama, membaca buku-buku agama, menghadiri pengajian-pengajian dan berpuasa. Orang kota tenggelam dalam kubangan pekerjaan.

Orang-orang kota, yang tergambarkan sebagai ekonomi mapan, segala kebutuhan hidupnya sudah lebih dari cukup, saat ini terserang “penyakit-pemyakit jiwa” lantaran lupa terhadap jagat spiritualitasnya sebagai makhluk Allah. Jadilah mereka terserang kegelisahan, kecemasan hingga kehampaan dan ketidakbermaknaan hidup akibat kekosongan jiwa. Hidup menjadi serba monoton, tanpa warna, tanpa referensi spiritual dan itulah yang menjadikan mereka mudah kalut, emosi, stres, dan bahkan gila atau bunuh diri.

Melihat realitas kehidupan di perkotaan yang multikompleks baik dari aspek sosial, ekonomi, politik dan agama. Mereka yang sedang dihimpit masalah dalam kehidupannya. Itu disebabkan mereka sangat jauh dengan Allah SWT. Karena, terlalu sibuk mengurusi kehidupan duniawinya.
Pada hakikatnya orang-orang kota telah kehilangan Allah swt. Orang kota telah kehilangan pegangan terhadap sang khaliknya di satu sisi, dan menyadarkan diri pada mereka untuk berpegang pada pegangan yang tidak kuat yang bisa musnah dan hilang, termasuk, uang dan harta benda lainnya.

Diniatkan Sebagai Ibadah
Tatkala hubungan kita jauh dari Allah swt, maka saat itulah kita akan diterpa dengan berbagai macam tragedi, seperti kebakaran, perampokan, pembunuhan, penculikan bayi, penggusuran, kesulitan ekonomi, terlibat kasus narkoba dan korupsi, kekerasan seksual, banjir, kelaparan, gizi buruk. Hal itu disebabkan hubungan kita dengan Allah sangat jauh sekali. Sebab kita hanya mendekatkan diri pada tujuan-tujuan yang bersifat duniawi semata-mata, yang meliputi harta, uang, jabatan, kedudukam, kekuasaan dan popularitas.

Kini, sudah saatnya orang-orang kota menata hati dan menjernihkan pikirannya untuk selalu menjalankan ibadah kepada sang khaliknya. Pertama, Segala aktivitas kehidupan yang berkaitan dengan dunia ini harus diniatkan sebagai ibadah sehingga nilai-nilai amaliah dan pahala itu akan berguna (meaningfull) di akhirat nantinya. Dengan kata lain, ketika kita telah menetapkan niat bahwa kita bekerja itu semata-mata untuk beribadah kepada Allah swt. Di mana hasil pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan hidup kita dan keluarga serta orang-orang yang menjadi tanggungan kita. Maka niat tersebut merupakan ikrar dan janji kepada Allah swt.

Kedua, dengan melakukan niat ibadah dalam mengerjakan pekerjaan. Kita berarti telah melakukan terobosan spiritual sebagai payung yang melindungi setiap gerak dan langkah kita. Dengan niat sebagai ibadah, berarti kita telah mengetuk pintu langit untuk memohon berkah, perlindungan, pertolongan dan rahmat Allah swt.

Dengan demikian, rendahnya spritualitas menjadi penyebab lahirnya kekerasan, kekejian dan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. Karena itu, pada zaman modern ini kita perlu menciptakan dan menyediakan ruang-ruang energi spiritualitas dalam diri kita. Sesungguhnya, sifat dari semua energi itu kekal. Makna “kekal” itu berarti bahwa energi tersebut selalu ada dalam ranah ciptaan relatif. Meminjam istilahnya-Fritchouf Schoun dalam karyanya Filsafat Perennial (2001), itu merupakan kekekalan yang relatif (relativity absolut).

Karena itu, kita perlu menumbuhkan dan menciptakan keseimbangan energi spritual yang harus di pegang oleh setiap pemeluk agama yang tinggal di kota-kota besar. Sehingga kita harus meretas jalan kembali menuju agama dan spiritualitas, dari kejumudan menuju kreativitas, dari kelalaian menuju pencerahan. Semoga.

* Penulis adalah Peneliti Pada Social and Philosophical Studies Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar