25 Mei 2008

Membaca Kembali Pemahaman Agama

Dimuat di Suara Merdeka, Kolom WACANA.
Pada tanggal 25 April 2008.

Oleh Syahrul Kirom*

AGAMA menjadi diskursus yang menarik untuk dikaji sepanjang zaman. Kenyataan itu karena dipengaruhi oleh fungsi sosial agama dalam kehidupan. Meski tak lepas dari perkembangan sejarah, agama tetap memiliki peran dan fungsi sosial yang tak tergantikan dalam kehidupan manusia. Kelebihanya dibanding sistem pemikiran lain berkait dengan legitimasinya dalam kehidupan, karena kerangka acuanya adiduniawi.

Peter L Berger dalam bukunya Langit Suci Agama sebagai Realitas Sosial (1993) menegaskan, setiap manusia memerlukan wilayah yang kudus sebagai idealisasi bagi harmonisasi lingkungan sosialnya. Agama dapat melepaskan manusia dari alienasi, namun juga mampu menjadikan manusia teralienasi dari dunianya.

Agama memiliki fungsi ganda yang bertolak belakang dalam kehidupan. Di satu sisi, mampu melegitimasi atau sebagai sumber otoritatif bagi kedamaian dan mampu memenuhi kehausan spiritual manusia, namun di sisi lain tidak jarang kekerasan dan konflik bersumber dari agama.

Pada saat ini, peran dan fungsi agama berbalik dan dijadikan sebagai sumber legitmasi atas teror dan kekerasan. Dari 135 peristiwa yang terjadi, tercatat 185 tindak pelanggaran dalam 12 kategori: perusakan tempat ibadah dan harta benda, pembubaran kegiatan ibadah dan keagamaan, pelarangan aliran keagamaan, penangkapan dan penahanan, pelarangan dokumen keagamaan, pemaksaan mengikuti ajaran/penyeragaman perilaku keagamaan, pemecatan/peminggiran akses karena berbeda keyakinan, dukungan dan pembenaran otoritas negara, pernyataan tokoh yang destruktif, vonis pengadilan atas aliran tertentu, pemukulan dan penyerangan, serta perusakan fasilitas umum kelompok yang berbeda (Hendardi, Kompas, Jumat, 28 Desember 2007).

Keadaan tersebut paling tidak dipicu oleh kesalahpahaman berkait dengan maksud agama dan pemahaman terhadap agama itu sendiri. Hal yang pertama lebih bermakna sebagai Kalam Tuhan yang memiliki kebenaran absolut. Agama sebagai paham normatif. Adapun paham keagamaan, tidak lain adalah hasil kreasi manusia atas Kalam Tuhan tersebut, yang tak lepas dari kepentingan dan nuansa kekuasaan di dalamnya.

Namun, wilayah profan diklaim sebagai kebenaran absolut, seolah menggantikan posisi kebenaran normatif agama. Dalam arti itu, klaim kebenaran (truth claim) tersebut selalu berujung pada vonis bersalah kepada orang lain yang tidak sepaham, juga menyebabkan dekadensi pada pengetahuan agama.

Jika tafsir manusia diposisikan lebih suci dari Alquran sendiri, maka pintu tajdid pun tertutup, karena wilayahnya yang tersakralkan. Kuntowijoyo dalam Islam sebagai Ilmu (2004) menyebut periode itu sebagai zaman kodifikasi, ketika kebenaran hanya dipunyai oleh ulama klasik; dan itulah yang dijadikan pegangan dalam hidup di zaman yang sudah berganti.

Dalam konteks itu, kitab kuning merupakan dekodifikasi dari Alquran dan Sunnah, yang kurang lebih mempunyai kebenaran sama; malah yang terlahir pertama sering kali lebih disakralkan. Pada akhirnya, yang terjadi adalah involusi pengetahuan, yaitu pengetahuan yang dihasilkan hanya merupakan penjabaran dari kitab klasik sebelumnya.

Hal tersebut berujung pada sikap ekspansif terhadap upaya tajdid, karena klaim otoritas dan pengultusan yang berlebihan kepada ulama klasik. Itulah, periode kejumudan yang kita rasakan saat ini, ketika pengetahuan agama menjadi wilayah yang termitoskan.
Vertikal dan Legal

Tafsir keagamaan yang dianggap memiliki kebenaran pada akhirnya hanya tafsir yang berasal dari lembaga keagamaan. Lebih parahnya, penafsiran itu kerapkali hanya berorientasi vertikal dan legal formal yang menekankan aspek ritualitas, doktrin, dan ajaran yang tak terbantahkan.

Pada akhirnya, kontekstualisasi ajaran agama dalam kehidupan seolah telah hilang. Sementara itu tafsir keagamaan kreatif di luar otoritas lembaga keagamaan dianggap salah dan dituding sebagai sekulerisme Islam. Padahal, apabila ditelaah lebih lanjut, kebenaran absolut hanyalah milik Tuhan. Adapun penafsiran manusia atasnya cenderung relatif.

Doktrin yang banyak tertanam dalam kehidupan keagamaan kita adalah bahwa kebenaran agama itu bersifat tunggal, pasti, dan tak terbantahkan. Mereka menganggap bahwa agama adalah wilayah yang harus dijauhkan dan disucikan dari campur tangan pikiran dan kreativitas manusia. Sebab, agama adalah wilayah Tuhan yang terjamin kebenaranya.
Interpretasi manusia atas kalam illahi tidak pernah lepas dari tingkat pengetahuan dan keadaan kultural serta pemahaman keagamaan yang diwarisinya. Robert N Bellah dalam Beyond Belief (2001) menyatakan keberagamaan manusia berjalan sesuai dengan kesadaran akan kebebasan dan lingkungan sosial manusia yang mengelilingnya.

Dari pemahaman itulah, evolusi keagamaan manusia terjadi. Fokus evolusi tersebut tidak lain adalah berkait dengan masalah simbolisasi keagamaan itu sendiri. Simbolisasi terhadap esensi illahi berjalan dari keadaan yang sederhana menuju pada deferensiasi.

Evolusi keagamaan primitif sebagaimana dikatakan Emile Durkheim mengenai totem dan tabu menuju sistem keagamaan modern saat ini, tidak lepas dari kepentingan manusia atas agama dan kekuasaan yang ada memang menghendakinya. Tujuanya tidak lain bagaimana agama tetap memiliki fungsi sosial dalam kehidupan.

Penafsiran manusia yang berbentuk syariat atau doktrin keagaman harus dimaknai semata-mata sebagai interpretasi manusia atas firman Tuhan. Itu harus dipahami bahwa syariat atau teologi tidak lain adalah makna dan kandungan firman Tuhan yang dipahami manusia sebagai penafsir.

Agama adalah dimensi illahi yang bersifat absolut. Agama bisa dipahami dan memiliki fungsi sosial, dan agar bisa diinternalisasikan dalam kesadaran, firman Tuhan harus melewati saluran daya komunikatif manusia dalam hubungan sosial.
Karena penafsiran manusia atas agama melibatkan dimensi sosial yang rumit, entah itu berkait dengan kekuasan ataupun kepentingan yang lebih luhur, agama yang dulunya bersifat illahi menjadi tercerai berai.

Kebenaran agama dalam kehidupan kehilangan kemurnian dan keabsolutanya. Dengan demikian, watak perennial atau dimensi keabadian yang dikandung agama, seseorang tidak bisa menyimpulkan sifat yang sama antara pemahaman dengan watak agama dalam keabadianya, karena pemahaman kita tidak pernah lengkap.

Suatu kesalahan besar untuk menyakralkan penafsiran agama atas dasar bahwa agama itu pada dasarnya sakral. Dengan demikian, umat Islam harus selalu mengontekstualisasikan agama dalam kehidupan sosial, perlu melakukan demistifikasi atas tradisi dan pembaruan paham keagamaan. Karena tanpa usaha untuk memperbarui pemahaman kegamaan dengan dalih menjaga kemurnian agama, secara tidak langsung telah membekukan agama itu sendiri demi kepentingan ideologis dan menghilangkan elan vitalnya.

Ilmu dan pemahaman agama selalu tidak lengkap, dan berlaku sepanjang sejarah. Karena itu, usaha untuk melakukan tranformasi pemahaman keagaman baru sangatlah urgen sekali. Semoga!

Agama adalah wilayah yang harus dijauhkan dan disucikan dari campur tangan pikiran dan kreativitas manusia. Sebab, agama adalah wilayah Tuhan yang terjamin kebenaranya.

* Syahrul Kirom, alumnus Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.