25 September 2008

Netralitas Birokrasi Dalam Pemilu 2009

Dimuat di Bali Post, 23 September 2008
OPINI
Oleh Syahrul Kirom

Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 mendatang, iklim politik semakin hangat dan menegangkan. Mesin-mesin politik bergerak secara progresif untuk menggolkan hasrat politik kandidat masing-masing. Menyoal mesin politik, posisi birokrasi sangat rawan terpolitisasi oleh calon presiden dan wakil presiden yang akan maju nantinya.

Birokrasi merupakan suatu instrumen negara, pelaksana kebijakan pemerintah pusat maupun daerah dan abdi masyarakat yang seharusnya bekerja profesional, netral, nondiskriminatif dan bekerja untuk kepentingan nasional. Dengan memberikan pelayanan publik dalam rangka memajukan kesejahteraan, menciptakan keadilan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.

Meski demikian, birokrasi akan menjadi suatu trouble maker dan penghambat bagi perubahan serta penguat inovasi kemajuan masyarakat. Jika birokrasi terus 'berpolitik' atau dikooptasi untuk dijadikan instrumen kekuasaan bagi para politisi, peranannya akan semakin tereduksi dari tujuan semula dibentuknya birokrasi.

Idealnya, para birokrat pemerintahan pusat dan daerah, menurut Gladden, dalam suatu negara demokrasi, civil servants devote their to the service of community (mengabdikan hidupnya untuk melayani masyarakat). Karena itu, dalam peranannya birokrasi untuk menentukan kebijakan tanpa ada tendensi apa pun.

Menurut Syafuan Rozi dalam bukunya 'Zaman Bergerak, Birokrasi Dirombak: Potret Birokrasi dan Politik di Indonesia' (2007), sistem zaman prakolonial, orde lama, orde baru bahkan pada masa reformasi mengalami pembusukan politik yang korup. Dengan satu titik tekan bahwa selama ini politisasi birokrasi menjadi problem dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Zaman terus bergerak. Dulu di masa kolonial Belanda di negeri kita ada gejala negara pegawai (beambtenstaat). Saat itu pegawai yang sering dipanggil tuan Ambtenaar atau pengreh praja cenderung menjadi komprador, mematai-matai masyarakat dan menjadi kaki tangan kepentingan politik asing di negeri sendiri.

Pada masa orde baru sampai menjelang masa transisi, tahun 1998, kondisi di Indonesia tampaknya mengalami penyakit bureaumania yaitu sebuah penyakit yang disebabkan adanya sosok birokrasi yang bersifat infinitas, maksudnya suatu institusi melakukan pengaturan yang memiliki ketidakerbatasan wewenang dan ruang gerak di suatu negara.

Dalam konteks pemerintahan pusat dan daerah, birokasi cenderung dijadikan alat kepentingan status quo oleh pemerintah dengan tujuan untuk mempertahankan satu sistem kekuasaan yang monolitik dan otoriter. Selain itu, muncul kekhawatiran penyalahgunaan dana APBN dan APBD.

Karena itu, untuk menjaga netralitas birokrasi perlu upaya-upaya strategis dan serius. Gerakan ini berupaya mensinergikan apa yang dilakukan oleh beberapa pihak atau kelompok dalam civil society yang menginginkan terbentuknya keadaan relatif tidak terjadinya pemihakan politik oleh birokrasi terhadap partai politik mana pun.

Untuk melakukan gerakan netralitasi birokrasi ini masyarakat harus keluar dari keanggotaan institusi kooptasi birokrasi dengan melepaskan baju seragam Korpri dari parpolnya masing-masing. Selain itu, perombakan birokrasi di setiap lembaga eksekutif, lembaga ilmiah nondepartemen, departemen negara dan bahkan parlemen pemerintahan harus dilakukan dan tidak boleh ditawar lagi. Ini sebuah keniscyaan untuk menciptakan good governance dari unsur korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Buruknya sistem birokrasi di Indonesia menuntut kita harus melakukan suatu reformasi total pada semua aspek kehidupan politik yang lebih demokratis. Hal ini guna mendorong terwujudnya aspek kedaulatan rakyat, kebebasan, persamaan dan keadilan.

Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing (ekspatriat) yang berada di Asia termasuk Indonesia. Mereka menilai birokrasi Indonesia terburuk. Hal ini disebabkan banyak para pejabat tinggi pemerintahan yang memanfaatkan posisi untuk memperkaya diri sendiri.


Distorsi Fungsi

Berdasarkan pengalaman dalam pilkada di beberapa daerah, masih banyak oknum yang duduk dalam sistem birokrasi termasuk pegawai negeri sipil (PNS) bermain politik. Karena itu, mereka sangat mungkin diiming-imingi jabatan dan kekuasaan. Maka dari itu, kita harus bisa menjaga netralitas dan profesionalitas birokrasi.

Sebab, politisasi birokrasi telah menimbulkan gejala distorsi fungsi birokrasi. Seperti, terjadinya diskriminasi dalam pelayanan publik terhadap kelompok yang berbeda afiliasi politik, praktik ekonomi biaya tinggi untuk pendanaan orsospol tertentu, politisasi bahasa untuk status quo kekuasaan, mobilisasi politik dan bahkan kolusi, nepotisme pribadi.

Karena itu, revolusi adalah satu kata pasti untuk membongkar aktor dan institusi penyebab akar 'pembusukan politik' yang ada dengan melakukan perubahan struktur dan kultur dengan evolusi yang berlangsung secara bertahap demi menciptakan stabilitas politik yang bebas dari praktik politisasi birokrasi.

Birokrasi kita diharapkan bisa menjadi birokrasi yang otentik, yakni mempunyai kapasitas memberikan jalan keluar dan penyelesaian masalah nasional dan lokal. Birokrasi terbaik yang bisa mengantarkan Indonesia menjadi negeri yang makmur berkecukupan, ada keteraturan dan kejelasan dalam standar operasional, memiliki kepastian soal kualitas pelayanan, memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi warga negara, bukan janji-janji belaka.

Filsuf Jerman Friedrich Hegel menilai bahwa birokrasi seharusnya melayani kepentingan umum, karena dalam kenyataannya kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah seringkali hanya menguntungkan sekelompok partai atau orang dalam masyarakat.

Kita hanya bisa berharap pada pejabat negara, DPR dan anggota DPRD yang duduk dalam sistem birokrasi daerah, agar bisa menjadi kekuatan untuk mendorong perubahan atau perbaikan birokrasi lokal demi menjaga netralitas birokrasi dalam Pemilu 2009 mendatang. Sehingga, bisa mengantarkan bangsa Indonesia ke arah kemajuan yang lebih demokratis dan bebas dari unsur KKN.

Penulis, peneliti pada Social and Philosophical Studies Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar