28 Juni 2010

Melemahnya Fungsi DPR

It Was Published In Bali Post News Paper
Senin, 28 Juni 2010

OPINI

Syahrul Kirom*

Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta

Tiga pilar utama penyangga demokrasi di Indonesia kian rapuh, terkikis dan diinjak-injak oleh para anggota legislatif sendiri. Lembaga parlemen yang terdiri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif ini diharapkan oleh rakyat untuk mampu membawa perjalanan demokrasi ke arah yang lebih sehat. Sebaliknya, mereka semakin tidak menunjukkan eksistensinya.

Dalam ketentuan undang-undang dasar 1954 telah disebutkan di antara fungsi DPR adalah mengawasi pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan Melainkan juga bisa menjadi fungsi legislasi dalam menentukkan peraturan perundang-undangan, dan anggaran pendapatan belanja negara (APBN). Karena itu, bahkan dapat dikatakan bahwa DPR mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi legislasi, pengawasan, dan fungsi anggaran.

Akan tetapi, persoalannya hingga kini peran tersebut tidak berjalan efektif dan DPR yang dipilih melalui pemilu oleh rakyat. Kini justru menjadi cambuk dan boomerang bagi masyarakat. Bagaimana tidak menjadi cambuk yang menyakitkan hati rakyat ketika peran dan fungsi DPR yang dipercaya (trust) oleh rakyat untuk menjadi sebagai pengawas atas segala kebijakan pemerintah yang diputuskan dan sebagai penyalur aspirasi rakyat. Sebaliknya, mereka justru larut dan luluh atas kebijakan eksekutif serta semakin memperparah krisis social distrust terhadap masyarakat Indonesia.

Hal ini terbukti ketika terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Kebijakan itu jelas sangat memberatkan rakyat. Namun, karena presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan wakil presiden Yusuf Kalla telah sukses menaklukkan parlemen, akhirnya keputusan tersebut berjalan terus.

Begitu pula, dengan kebijakan impor beras. Kebijakan itu merupakan kebijakan yang tidak pro rakyat.. Tapi, lagi-lagi DPR melemah dihadapan eksekutif. Kontrol yang dilakukan sejumlah anggota DPR, tidak mampu membendung arus besar yang mendukung. Dengan segala ketidakberdayaan DPR, mereka akhirnya hanya bisa menstempel kebijakan yang kontroversial itu.

Melemahnya Fungsi DPR

Berpijak dari asumsi diatas jelas, fungsi DPR dalam struktur pemerintahan menunjukkan bias dan kabur akan visi dan misi DPR sebagai lembaga parlemen. Ketidakjelasan DPR dalam berperan terhadap sistem pemerintahan secara genuine merupakan problem utama bagi publik. Ketidakjelasan dalam sistem kinerja di tubuh DPR ini akan berpengaruh lemah sekali terhadap idealisme DPR.

Ada beberapa faktor kenapa sistem DPR semakin melemah ketika bersentuhan dengan pemerintahan. Pertama, kelemahan yang sangat parah terletak ketika negara Indonesia menganut pada sistem pembagian kekuasan (division of power) dan pemisahan kekuasaan (separation of power), gagasan yang diusung oleh Montesque, yang sesungguhnya paradigma itu tidak kondusif untuk dimplementasikan di Indonesia.

Sebab apa, ketika paradigma itu digunakan maka yang terjadi adalah perebutan kekuasaan, antara fungsi legislatif, yudikatif dan eksekutif, yang ke semua pada akhirnya fungsi itu berkerja sendiri-sendiri. Tanpa mengutamakan kerja sama dalam membangun integritas yang tinggi untuk memperbaiki kebobrokan bangsa Indonesia.
Lebih ironisnya, dalam lembaga legislatif itu terpecah–pecah dari berbagai fraksi PKB, PDIP, Golkar dan Partai Demokrat dan lain-lain. Kondisi yang demikian inilah parlemen sangat mudah sekali untuk disulut konflik, melainkan juga mereka akan saling mencurigai dan menelingkung antarsesama anggota DPR untuk mencapai kekuasaan demi kepentingan partai.

Kedua, ketika dikaitkan dengan prinsip demokrasi atau kedaulatan dan kekuasaan ada di tangan rakyat. Maka dalam konsep pemisahan dan pembagian tersebut haruslah dikembangkan pandangan bahwa kedaulatan yang ada di tangan rakyat harus dibagi-bagi dan dipisah-pisahkan dengan tujuan untuk menjalin kebersamaan. Bukan tambah menjalankan fungsinya sendiri-sendiri.

Sehingga dapat diharapkan ketiga cabang kekuasaan tersebut bisa tetap berada dalam keadaan seimbang dan diatur oleh mekanisme hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain yang biasa disebut dengan prinsip ‘checks and balances’. Namun, sangat disayangkan, pemahaman yang seperti itu belum pernah diterapkan dalam sistem pemerintahan Indonesia. Inilah titik kelemahan yang sangat urgen untuk segera diperbaiki kembali oleh pejabat DPR.

Ketiga, ketiadaan visi DPR secara kolektif dalam menyelamatkan negeri ini dari segala bentuk kapitalisme dan neoliberalisme yang makin menggurita dalam bangsa Indonesa merupakan permasalahan yang multikompleks. Selain itu, mereka juga tidak mempunyai konsistensi dan visi yang riil, tujuan dari anggota DPR ini hanyalah untuk kepentingan politik dan kelompok dalam memperebutkan tahta kursi kekusaan di pemerintahan.

Dengan demikian, para anggota DPR jangan hanya berpikir bagaimana bisa mencapai kekuasaan. Akan tetapi, bagaimana cara mengatasi suatu permasalahan negara kita dan menggunakan kekuasaan tersebut untuk memenuhi kepentingan publik. Hal ini perlu ditekankan kembali bahwa keberadaan DPR tak lain hanyalah sebagai pelayan rakyat. Hal itulah yang perlu dicamkan oleh para anggota DPR.

Persoalannya secara filosofis kemudian adalah ketika lembaga DPR ini sudah dilengkapi dengan hak interpelasi, hak untuk menyelidiki (enquette), hak resolusi, hak memorandum, dan bahkan hak untuk menuntut pertanggung jawaban (impeachment).
Namun, mereka tidak pernah menggunakan kekuasan tersebut untuk menentang kebijakan pemerintah yang sangat kontroversial. Keberadaan kekuasaan DPR akan menjadi tak berarti (meaningless) di tengah rakyat yang lagi membutuhkan pertolongan dan pembelaan DPR atas keputusan pemerintah.

Sebaliknya, kekuasaan tersebut digunakan mereka untuk memuaskan kepentingan kelompoknya ketimbang kepentingan rakyat. Maka tak salah kiranya apa yang dikatakan Jurgen Habermas bahwa kekuasan dan kepentingan ini sarat dengan unsur-unsur pembusukan terhadap hancurnya nilai-nilai demokrasi. Gugatan inilah yang perlu dilontarkan pada anggota legislatif guna menatap masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik.

Ketika seseorang masih mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan, justru akan menciptakan perlawanan dan pertentangan, akan tetapi jika kepentingan tersebut diarahkan kepada kepentingan kolektif. Maka kehendak tersebut akan menjadi kehendak umum yang bisa diterima oleh rakyat secara keseluruhan (res publica).

Untuk memahami bagaimana kehendak rakyat. Maka meminjam istilah- Rousseau apa yang disebut dengan vertue (keutamaan). Seseorang haruslah dapat membedakan antara kepentingan yang sifatnya pribadi dan kepentingan umum. Atas dasar tersebut, untuk mengelola lembaga negara berdasarkan nilai-nilai demokrasi diperlukan moralitas, kemurnian hati, kejujuran, dan bebas dari rasa pamrih serta kepentingan tertentu.

Dengan demikian, sudah menjadi suatu kewajiban daripada tugas DPR untuk menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Menyetujui segala kebijakan lembaga eksekutif yang tidak pro rakyat, akan semakin menciptakan apatisme rakyat terhadap permasalahan negara dan bangsa. Jika para wakil rakyat tidak konsisten kepada kepentingan masyarakat, mereka hanya akan mengingkari kata hati sebagai “wakil rakyat” yang tidak memiliki tanggung jawab (responsibility) dan kepedulian terhadap kepentingan bangsa Indonesia.

6 Juni 2010

Membangun Kesadaran Ramah Lingkungan

It Was Published in Bali Post News Paper

OPINI

Sabtu, 5 Juni 2010

Syahrul Kirom
Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat,
UGM Yogyakarta

Pada momentum hari Lingkungan Sedunia yang tepat jatuh 5 Juni 2010 ini. Masyarakat Indonesia harus mampu merefleksikan secara kritis-filosfosis akan arti pentinganya menjaga lingkungan hidup. Sebab apa. Lingkungan adalah alam semesta yang seharusnya dipelihara dan dilestarikan dengan baik. Lingkungan hidup ini merupakan ruh dan nyawa dari manusia.

Saat ini krisis lingkungan tengah terjadi, degradasi lingkungan tengah dirasakan semakin memburuk akhir-akhir ini. Seperti pemanasan global, kepunahan jenis, kekeringan yang panjang, kelangkaan air bersih, pencemaran lingkungan dan polusi udara, serta bencana banjir yang melanda beberapa daerah di Indonesia. Itu merupakan salah satu dari beberapa deret yang bisa menghancurkan peradaban umat manusia.

Hutan–hutan tropis yang merupakan tempat tinggal bagi jutaan spesies ditebangi secara illegal untuk pertanian, padang rumput, dan tempat tinggal. Bahan baku diambil dari permukaan bumi untuk menjaga kestabilan ekonomi dunia. Kita telah memperlakukan erat atmosfir, tanah, dan air sebagai wadah bagi limbah yang dihasilkan dari penggunanan energi dan sumber daya alam dalam kehidupan manusia.

Komunitas alam ini yang terdiri dari tumbuhan-tumbuhan, hewan, air, dan tanah, udara, dan manusia, telah dirusak oleh perilaku manusia sendiri. Salah satunya yang menyebabkan kerusakan hutan adalah paradigma antroposentrisme yang selalu mengeksploitasi dan menguras alam semesta demi memenuhi kepentingan dan kebutuhan hidupnya.

Pandangan antroposentrisme, disadari atau tidak, telah menimbulkan kejahatan terhadap lingkungan, peristiwa yang paling banyak disoroti dalam kaitannya dengan tentang keberadaan hutan, yang paling sering kita dengar setiap harinya adalah kejahatan terhadap hutan dan lingkungan alam. Terjadinya polusi udara, air, tanah, illegal loging, dan yang lainnya merupakan bagian dari kejahatan terhadap lingkungan.

Pada saat ini kerusakan hutan dan kebakaran hutan serta bencana banjir dan tanah longsor yang menimpa sejumlah beberapa daerah di Tanah Air sudah seringkali terjadi. Akan tetapi, fenomena itu tidak pernah memberikan kesadaran penuh kepada insan manusia yang berkesadaran untuk berefleksi secara kritis-filosofis, kenapa bencana itu terus terjadi di Indonesia? Salah siapakah ini?.

Hutan merupakan sumber kehidupan ini telah banyak dieksploitasi oleh manusia-manusia yang tak bertanggung jawab (unresponsibility) dan hanya ingin memenuhi hawa nafsu demi memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyak bagi individu. Yaitu dengan cara melakukan penjarahan hutan dan penebangan secara liar (illegal logging).

Karena itu, pemerintah dan masyarakat setempat harus melakukan langkah-langkah konstruktif dalam upaya menanggulangi kerusakan hutan di antaranya mengkampanyekan reboisasi dan penanaman pohon-pohon di daerah yang gundul dan gersang sebagai salah tindakan paling efektif. Maka dari itu, perlu digalakkan gerakan penanaman pohon-pohon atau penghijauaan di sekitar rumah kita dan sudut-sudut perkotaan sebagai bentuk untuk melestarikan hutan kita yang mengalami banyak penggundulan akibat ulah manusia yang tak bertanggung jawab.

Sementara itu, pemerintah dan aparat penegak hukum harus bersikap tegas untuk segera melakukan investigasi dan menangkap siapa saja para pelaku illegal logging yang sering menjarah hasil kekayaan alam Indonesia. Sehingga dengan upaya penangkapan oknum-oknum yang mengeskploitasi bisa menimbulkan efek jera agar aksi kejahatan tersebut tidak terjadi lagi.

Kerusakan hutan di Indonesia juga semakin dipertegas dalam Guiness Book World of Records tahun 2008. Bahwa Indonesia adalah negara yang mengalami deforestasi terbesar dunia. Indonesia kembali memperoleh nilai buruk pengelolaan hutan. Kerusakan hutan itu diakibatkan adanya kebakaran yang terus terjadi. Bahkan Indonesia di tuduh sebagai penghasil karbon terbesar dan memperoleh peringkat kinerja lingkungan ke-102 dari 149 negara yang tercatat dalam EPI (Enviromental Performance Index) tahun 2008. Peringkat itu dirilis dalam World Economic Forum di Davos AS, Januari 2008.

Ramah Hutan

Karena itu, tak salah kiranya jika hampir setiap hari terdengar laporan pengurangan lahan hutan karena penggundulan. Setiap tahun kita juga mendengar laporan menipisnya lapisan ozon di atmosfir bumi. Peristiwa kerusakan hutan jelas juga menyebabkan terjadi bencana banjir, tanah longsor dan gempa bumi.

Henry Skolomowski, seorang filsuf, filsafat lingkungan menyebutnya sebagai permasalah lingkungan. Itu semua mengacu pada adanya sebuah akibat dari interaksi antara manusia dan lingkungan alam sekitarnya. Dalam skala yang lebih besar bisa disebut sebagai masalah ekologis.

Krisis ekologi, krisis bumi dan krisis hutan yang seolah tak berujung. Hal ini merupakan implikasi dari perbuatan dan tindakan manusia yang melakukan pejarahan hasil bumi dan menimbulkan kehancuran hutan. Di sisi lain, kejahatan hutan ini ternyata juga dilakukan karena ada muatan kepentingan ekonomi dan kecanggihan alat teknologi.

Kenyataan itu semakin menegaskan bahwa manusia telah kehilangan nilai-nilai moralitas untuk memelihara hutan. Karena itu, manusia harus mampu mengatur hubungannya dengan hutan dan alam sekitarnya. Manusia harus memandang bahwa hutan merupakan kesatuan utuh yang saling melengkapi. Akan tetapi, sebaliknya hutan justru tambah disakiti oleh manusia sendiri yang tak bermoral. Tak salah kirannya, jika hutan mengamuk dan memorak-porandakan segala harta dan menghilangkan nyawa manusia.

Oleh karena itu, cara pandang manusia terhadap keberadaan hutan inilah yang perlu diubah agar sikap dan perilaku manusia lebih sedikit arif dan bijaksana dalam memaknai eksistensi hutan Karena itu, manusia harus mengembangkan konsepsi tentang hutan yang mengagungkan dan menghormati hutan, juga menganggap hutan sebagai sesuatu yang sakral dan hidup. Dengan begitu, akan melahirkan sikap yang menghormati dan peduli terhadap hutan dan alam sekitarnya.

Dengan demikian, kita harus menyadari bahwa keberadaan hutan dan alam semesta sama dengan posisi manusia yang juga perlu dirawat dan dipelihara dengan baik. Sehingga adanya bencana banjir, angin puting beliung, gempa bumi dan tanah longsor, kita perlu mengedepankan nilai-nilai moralitas terhadap eksistensi hutan. Umat manusia bisa tergugah untuk kembali merekonstruksi dan melestarikan kondisi hutan kita yang semakin hari demi hari mengalami kehancuran. Semoga ***