4 Agustus 2008

TEOLOGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Telah Dimuat Harian UMUM SOLOPOS
Jum’at 27 Juni 2008

Gagasan


Oleh : Syahrul Kirom*

Teologi adalah membahas ajaran-ajaran dari sesuatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agamanya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat, yang tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman.

Dalam istilah Arab ajaran-ajaran dasar itu disebut Usul al Din,’aqa’id, credos atau keyakinan-keyakinan. Teologi Islam disebut ‘ilm al tawhid. Selanjutnya kalau yang dimaksud dengan kalam ialah kata-kata manusia, maka teologi dalam Islam disebut ‘ilm al kalam, karena kaum teolog Islam bersilat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing. Teolog dalam Islam memang diberi nama mutakallim yaitu ahli debat yang pintar memakai kata-kata.

Teologi Islam yang diajarkan di Indonesia pada umumnya adalah teologi dalam bentuk ‘ilm tawhid. Ilmu tauhid biasanya kurang bersifat filosofis. Selanjutnya, ilmu tauhid biasanya memberi pembahasan sepihak dan tidak mengemukakan pendapat dan paham dari aliran-aliran atau golongan-golongan lain yang ada dalam teologi Islam. Ilmu tauhid diajarkan dan dikenal di Indonesia pada umumnya ialah ilmu tauhid. Menurut aliran asy ‘ariah, sehingga timbullah kesan dilarang sementara orang Islam Indonesia menganggap inilah satu-satunya teologi yang ada dalam Islam.

Dalam Islam sebenarnya terdapat lebih dari satu aliran teologi. Ada aliran yang bersifat liberal, ada yang bersifat tradisional, dan ada pula yang mempunyai sifat antara liberal dan tradisional.

Warna teologi kita selama ini masih tetap di dominasi pandangan dunia “hitam dan putih”(a dualistic world view), yang mengembangkan paradigma “halal-haram”, ”dosa-pahala”, dalam melihat suatu masalah. Paradigma semacam ini, selayaknya diperiksa kembali, agar lebih relevan dengan tuntutan realitas. Isu “kebebasan” memang penting, namun rasanya “kebebasan untuk siapa” lebih penting lagi. Apakah “kebebasan” dalam pengertian intelectual freedom itu yang lebih mendesak, atau teologi yang mampu membebaskan kaum dhuafa’, dalam proses transformasi diri umat Islam. Itu yang lebih dibutuhkan dalam konteks sosial sekarang ? Begitu juga, apakah isu Islam alternatif sebagai apologi terhadap Barat yang perlu dilanjutkan? Sebab, ternyata kita juga butuh melihat ke Barat dalam usaha reformasi konsep-konsep Islam selama ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu kita renungkan kembali jika kita tidak menginginkan apa yang hendak kita perbaharui hanya terliput secara semantis saja, atau hanya menyentuh segi-segi yang semu belaka. Pesan mendasar universal itu nampaknya baru bisa digiring ke dalam pertautan historis jika kita berani menghadapkannya dengan realitas. Jadi bukan hanya berdasarkan rasionalitas kita sendiri.

Kesejahteraan Masyarakat Islam

Teologi spekulatif yang dibangun pada masa klasik sejarah Islam tidak mendapat dukungan yang berarti dari Al-qur’an. Kitab Suci ini “pada hakekatnya adalah sebuah dokumen agamis dan etik yang punya tujuan praktis bagi penciptaan sebuah masyarakat yang baik dan adil secara moral”. Masyarakat tipe ini haruslah terdiri dari manusia yang soleh secara agama dengan kesadaran yang tajam dan kuat tentang Allah yang memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan*. Dalam bahasa yang sangat populer adalah ‘amrun bi al ma’ruf wan nahyun ‘ani al munkar’.

Dalam al-qur’an, doktrin”amrun bi al ma’ruf wan nahyu ‘ani al munkar” dijumpai dalam delapan ayat, tersebar dalam lima surat, dua Makkiyah dan tiga Madaniyah. Yang Makkiyah adalah surat al A’raf ayat 157 dan surat Luqman ayat 17. Kemudian yang Madaniyah adalah surat Ali Imran ayat 104, 110, dan 114; surat at Taubah ayat 41. Yang tegas-tegas berupa perintah terdapat dalam surat Luqman, yaitu perintah terhadap anaknya agar mendirikan shalat, mendirikan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, serta tabah menghadapi cobaan. Ayat-ayat yang lain sekalipun memuat perintah, susunan bahasanya berbentuk dan bernada afirmatif (penegasan).

Apa hubungan pembicaraan kita tentang ayat-ayat ini dengan pemberdayaan masyarakat? Pemberdayaan masyarakat hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang berdaya secara politik, ekonomi, sosial, iptek, dan kultural. Orang yang tidak berdaya tetapi ingin memberdayakan masyarakat tidak akan pernah berhasil. Tingkatnya hanya tingkat angan-angan.

Umat yang terlalu banyak berangan-angan tetapi tidak berdaya adalah beban Islam dan beban sejarah. Oleh sebab itu Al qur’an menyuruh kita bercermin kepada yang kongkret, kepada yang empirik, sebab di sana juga terdapat ayat-ayat Allah. Oleh sebab suatu sistem teologi yang terlalu sibuk mengurus yang serba ghaib dan lupa terhadap yang kongkret tidak akan menang dalam kompetisi duniawi. Padahal kejayaan di dunia diperlukan untuk meraih kejayaan diakherat. Karir hidup di dunia, menurut pandangan al qur’an akan sangat menentukan corak kehidupan di alam sana.

Berpijak dari asumsi diatas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, teologi klasik sudah tidak relevan lagi bila dikaitkan dengan masalah pemberdayaan masyarakat karena terlalu intelektual spekulatif. Teologi murni spekulatif tentang Tuhan hampir-hampir tidak dijumpai dalam al qur’an.

Kedua, doktrin tauhid yang menegaskan keesaan Allah memerlukan dimensi sosial, politik, ekonomi, iptek,dan kebudayaan dalam makna yang sempit. Tanpa terkait dengan semua dimensi ini, tawhid yang serupa itu pasti tidak berasal dari al qur’an.

Ketiga, prinsip egaliter adalah sisi sosial dari doktrin tauhid. Prinsip ini terlalu lama terbenam dalam sejarah umat Islam. Oleh sebab itu prinsip ini perlu dibongkar kembali untuk memberdayakan umat secara keseluruhan. Tanpa tegaknya prinsip ini, sistem sosial dan sistem politik dengan label Islam sekalipun pasti akan memperpanjang sistem pemasungan dan bahkan penindasan terhadap sektor masyarakat yang lemah dan tak berdaya. Al Qur’an sejak masa dini telah menyatakan perang terhadap segala macam bentuk pemasungan dan penindasan karena kitab suci ini sangat menghargai martabat manusia.

Penulis adalah Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar