7 Desember 2009

Keadilan Distributif VS Kenaikkan Gaji Pejabat

It was published in Bali Post Newspaper

DEBAT PUBLIK

Senin, 14 November 2009

Oleh : Syahrul Kirom*

Peneliti Pada Institute for Research and Development of Philosophy (IRDP) Yogyakarta

Wacana kenaikkan gaji pejabat negara di Indonesia menuai kritik. Pasalnya, di tengah kondisi bangsa Indonesia yang masih sering di timpa musibah bencana alam, banjir, lumpur lapindo, kemiskinan yang meningkat, pengangguran yang meningkat dan kelaparan yang terjadi di Indonesia. Dengan tegaanya pemerintah bersikukuh menaikkan gaji pejabat negara untuk anggaran belanja negara (APBN) yang akan direalisasikan awal Januari 2010 Apakah pejabat negara tidak menyadari bahwa sesungguhnya secara ontologis, mereka sedang menari-nari di atas penderitaan rakyat Indonesia ?

Apakah tindakan menaikkan gaji pejabat negara itu merupakan cerminan aspirasi wakil rakyat ? Kita malu mempunyai seorang pejabat negara yang diberi kepercayaan dan mandat dari rakyat untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Sebaliknya, pejabat negara lebih mengutamakan kepentinganya. Apakah itu sikap dan tindakan yang dibenarkan oleh hati nurani dan nalar yang logis ?

Kenaikkan gaji pejabat negara itu sangat tidak logis sekali. Pasalnya, para pejabat negara yang baru dilantik belum menunjukkan kinerja dan profesionalitasnya secara maksimal dalam upaya menjalankan amanah, tugas dan jabatan sebagai pelayan dan abdi rakyat Indonesia sudah meminta kenaikkan gaji. Itulah yang menyebabkan timbulnya pro dan kontra dari masyarakat Indonesia. Logika yang harus dibangun oleh pemerintah adalah ada kenaikkan gaji, tentunya harus ada peningkatan hasil kerja, terutama dalam memberikan pelayanan dan pengabdianya untuk kepentingan masyarakat Indonesia.

Karena itu, kenaikkan gaji pejabat negara perlu kita kritisi secara bersama.
Pertama, kenaikkan gaji negara itu sangat tidak relevan dengan kondisi dan keadaan bangsa Indonesia di tengah gempuran bencana yang terus melanda bangsa Indonesia pada setiap aspek kehidupan umat manusia. Apakah tidak sebaiknya dana itu digunakan untuk menolong dan membantu kepada mereka yang timpa musibah kemiskinan, kelaparan dan sebaiknya dana itu digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi kepentingan umat manusia.

Kedua, menurut John Rawls dalam karyannya “A Theory of Justice” (1973), bahwa kenaikkan gaji pejabat merupakan bentuk ketidakadilan sosial. Sebab apa, nikmat-nikmat itu hanya diperuntukkan pejabat negara, bukan untuk kepentingan seluruh bangsa Indonesia Karena itu, kenaikkan gaji pejabat negara telah mereduksi- apa yang disebut Rawl sebagai keadilan distributif, dalam artian keadilan itu harus dirasakan oleh semua umat manusia, di mana hak-hak rakyat juga harus terpenuhi dan bahkan pembagian nikmat nikmat sosial harus menyentuh seluruh aspek kehidupan baik di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, budaya dan agama.

Karena itu, keadilan distributif harus lebih dikedepankan oleh pemerintah. Keadilan adalah kebaikan yang harus selalu dijunjung tinggi oleh pemerintah. Dengan demikian, keadilan adalah kewajiban yang harus dipenuhi pemerintah, tanpa adanya penegakan keadilan sosial, kesejahteraan dan kemakmuran. Rakyat Indonesia akan terus menderita dan kemiskinan semakin meningkat.

Selain itu, keadilan struktural juga harus dijadikan pertimbangan pemerintah ketika mereka akan menaikkan gaji pejabat negara. Sudahkah pemerintah memperhatikan keadilan struktur sosial masyarakat di Indonesia secara komprehensif. Karena itu, keadilan sosial adalah keadilan untuk seluruh kepentingan bangsa Indonesia.

Menurut Franz Magnis Suseno, prinsip keadilan adalah mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua pihak yang bersangkutan. Kalau pemerintah menaikkan gaji pejabat negara, sudah seharusnya pemerintah juga memperhatikan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Itulah yang disebut dengan prinsip keadilan sosial. Pada dasarnya, keadilan menuntut agar kita jangan mau mencapai tujuan-tujuan untuk kepentingan individu atau kelompok, akan tetapi, untuk semua umat manusia yang hidup di dalam kewarganegaraan Indonesia tercinta ini.

Ketiga, meminjam analisis Jurgen Habermas dalam teori diskursusnya, keadilan bisa disetujui ketika keadilan menghasilkan prosedur diskursus praktis untuk mencapai konsensus rasional mengenai suatu klaim moral, dalam hal ini tentang keadilan. Maksudnya, ketika pemerintah akan menaikkan gaji pejabat negara itu harus melalui konsensus rasional. Sebab apa, kenaikkan gaji pejabat negara itu sesungguhnya harus meminta persetujuaan kepada rakyat dan bangsa Indonesia, pertanyaan secara filosofis adalah apakah kenaikkan gaji pejabat negara itu sesuai konsensus rasionalitas seluruh rakyat Indonesia ?

Karena itu, kewajiban pemerintah untuk memenuhi kepentingan umat manusia harus lebih diutamakan. Sebab apa, rakyat yang memilih para pejabat negara. Oleh karena itu, membangun kesadaran moral untuk peduli terhadap hak-hak rakyat Indonesia ini harus selalu dilakukan oleh para pejabat negara yang duduk di dalam sistem pemerintahan.

Keputusan Adil

Dengan demikian, pemerintah harus bersikap bijaksana dan adil dalam setiap mengambil keputusan-keputusan. Karena bagaimana pemerintah adalah wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu legislatif dan pemilihan presiden 2009. Sudah seharusnya pemerintah pusat mampu memberikan tauladan yang baik, untuk kepentingan rakyat Indonesia. Kita berharap kepada pemerintah pusat, meski kenaikkan pejabat gaji akan direalisasikan pada awal Januari 2010. Maka pejabat negara harus memperbaiki sistem kinerjanya yang lebih baik dan program-program yang akan dilakukan hanyalah untuk kepentingan masyarakat Indonesia.

Karena itu, keadilan distributif yang digagas seorang filsuf, John Rawls harus diimplementasikan dan ditegakkan oleh pejabat negara dalam setiap mengambil kebijakan dan keputusan di dalam sistem pemerintahan di Indonesia yang demokratis, dengan tujuan untuk mencapai keadilan sosial, kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga.

22 November 2009

Menguak Nilai-Nilai Filosofis Wayang

It Was Pubslished In Sinar Harapan Neswpaper

Resensi Buku, 21 November 2009

Oleh :Syahrul Kirom

Peresensi : Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Filsafat,Fakultas Filsafat,Universita Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan Bergiat, di Institute for Research and Development of Philosophy (IRDP) Yogyakarta

Negara Indonesia terkenal dengan memiliki banyak budaya (multicultur). Salah satu budaya yang terkenal di Indonesia, yakni budaya jawa dengan adanya pertunjukan wayang. Wayang merupakan salah satu simbol budaya Jawa. Wayang adalah seni yang dimiliki orang Jawa. Dengan wayang, manusia akan mengenal sejarah orang Jawa.

Melalui buku dengan judul “Filsafat Wayang” (2009) yang ditulis Slamet Sutrisno, dkk ini pada dasarnya ingin mengungkap nilai nilai filosofis pewayangan yang ada di dalam budaya Jawa (cultur of Java). Selain itu, filsafat wayang itu juga dikaji secara metafisika, epistemologis maupun aksiologi sehingga diperoleh pengetahuan dan makna baru serta nilai-nilai filosofis di dalam filsafat wayang.

Wayang merupakan hasil kreasi, cipta, rasa, dan karsa manusia Indonesia karena proses daya spiritual. Wayang sendiri memiliki kekuatan spiritual bagi orang Jawa, yang sesungguhnya perlu dilihat dan dikaji oleh masyarakat Indonesia. Padahal, selama ini pertunjukkan wayang bukan untuk kepentingan biologis, akan tetapi lebih pada aspek kepuasan batiniah dan membangun kekuatan spiritual (hlm:1).

Wayang dalam mengambarkan realitasnya itu menggunakan logika dongeng. Wayang merupakan cerminan kehidupan manusia secara konkret. Karena itu, filsafat wayang berakar pada realitas nilai-nilai kehidupan masyarakat Jawa. Dalam wayang biasanya terdiri dari dalang, niyaga dan pesinden dan peralatan wayang adalah wayang kulit, gamelan, panggung, dengan seluruh perangka masing-masing.

Sementara itu, pada umumnya cerita-cerita pewayangan dalam pementasan di Indonesia, biasanya diambilkan dari karya-karya sastra seperti serat mintaraga, serat dewaruci, serat parta krama, serat bratayudha, serat rama. Wayang sebagai mediator ini digunakan untuk merekontruksi kembali sejarah dalam cerita serat serat Jawa tersebut. Sedangkan, lakon-lakon yang dimainkan dalam pementasan wayang itu dibagi menjadi empat kategori, yakni Pertama, lakon baku atau lakon pokok. Kedua, lakon carangan. Ketiga, lakon karangan. Keempat, lakon sempalan.

Secara epistemologis, wayang sebenarnya telah menjadi sumber pengetahuan bagi orang-orang Jawa, dengan adanya pertunjukkan wayang. Kita bisa menyerap, memaknai dan menghayati sebuah cerita yang dimainkan oleh Dalang. Wayang itu sendiri merupakan simbol yang telah memberikan pengetahuan dan wawasan kepada orang-orang Jawa.

Pengetahuan pagelaran wayang itu bisa diperoleh melalui mitos dan gnosis. Wayang sejatinya memiliki pengetahuan suci, wayang mengajarkan “ngelmu” yang amat dekat dengan modalitas kepengetahuannya dengan apa yang disebut Gnostik-secara etimologis ini berasal dari Gigonisko yang artinya menyelami, mendalami pengetahuan batin (hlm: 86).

Secara keseluruhan wayang adalah sebuah dunia, dalam artian, Heideggerian, sebagai sistem fungsi dan makna yang mengorganisir aktivitas dan identitas. Wayang sebagai gestalt ini bukan hanya totatalitas teoritis melainkan totalitas maknawi, bereksistensi sebagai sebuah dunia tempat masing-masing penyangganya memperoleh kebermaknaan melalui jejaring aktivitas dan tujuan hidup manusia. Berdasarkan asumsi tersebut, pengetahuan teoritis menangkap fakta-fakta tersebut.

Sementara itu, secara metafisika, wayang itu tak lain dan tidak bukan merupakan simbol dari hidup dan kehidupan itu sendiri. Wayang bahkan dapat dikatakan sebagai ensiklopedi tentang hidup, yang diungkapkan secara ontologis-metafisik. Wayang juga melambangkan keberadaan manusia , yang dalam pertunjukkan dimulai dari “pendapa suwung” atau kosong dan diakhiri atau kembali menjadi “pendapa suwung”. (hlm: 119).

Di sisi lain, secara aksiologis, pagelaran wayang sendiri juga mempunyai nilai-nilai yang bermanfaat bagi orang-orang Jawa dan mereka yang menonton wayang. Pada dasarnya, wayang itu menyerap ajaran-ajaran dan nilai-nilai tentang penghormatan terhadap alam dan keinginan-keinginan manusia untuk berhubungan dengan kekuatan-kekuatan adikodrati. Itulah nilai-nilai yang sesungguhnya terkandung di dalam wayang.

Kehadiran buku “Filsafat Wayang” ini sangat signifikant sekali bagi para peneliti, budayawan dan bahkan masyarakat Indonesia. Dengan adanya buku tersebut kita dapat mengetahui dan memahami secara utuh tentang makna wayang sebagai simbol budaya Jawa. Melainkan juga, keberadaan buku filsafat wayang bisa semakin memperteguh identitas Budaya Jawa yang terkenal dengan Wayang. Sehingga kita sebagai orang Jawa harus senantiasa selalu melestarikan nilai –nilai budaya daerah (local indigenios) seperti wayang. Dengan begitu, wayang sebagai salah satu identitas budaya Jawa harus selalu dijaga serta dilestarikan. Sehingga wayang sebagai kebudayaan orang Jawa, tidak bisa diambil atau bahkan diakui Identitas wayangnya oleh negara lain. Semoga.

31 Oktober 2009

Mengembalikan Khittah Pemuda Indonesia

It Was Published in Wawasan Sore Newspaper

29 Oktober 2009

OPINI

Oleh : Syahrul Kirom*

Staf Pengajar, Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU) Chozinatul Ulum Blora, Jawa Tengah

Hari ini 28 Oktober 2009. Kita memperingati Hari sumpah Pemuda yang digagas oleh Budi Utomo. Pemuda adalah harapan bangsa Indonesia. Di pundak kaum pemuda inilah kemajuan negara Indonesia akan ditentukan oleh tindakan mereka. Pemuda merupakan cerminan dari wajah peradaban kita. Pemuda memiliki semangat, kekuatan, integritas, disiplin dan intelektual yang tinggi untuk bisa membangun bangsa Indonesia ke arah kehidupan yang lebih sejahtera, adil, demokratis dan sentosa bagi seluruh rakyat Indonesia.

Akan tetapi, seiring dengan perjalanan waktu, peran dan fungsi kaum pemuda yang tergabung dalam sebuah wadah organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) sebagai wadah tinggal tempat berkumpulnya kaum pemuda dalam membawa aspirasi kepentingan masyarakat semakin dipertanyakan kembali?

Padahal, peran pemuda di masyarakat adalah untuk memajukan pembangunan daerah dan olahraga daerah semakin tidak berjalan secara efektif. Melainkan juga, fungsi pemuda untuk memberantas narkoba, perjudian, minuman keras, pencegahan HIV/AIDS dan tanggung jawab sosial dalam menyelesaikan permasalahan sosial semakin tidak direspon dan kepedulian dari kaum pemudaa saat ini malah berkurang.

Ada beberapa mainstream yang menyebabkan itu semua. Pertama, kaum pemuda saat ini telah kehilangan semangat idealisme dalam memajukan perkembangan bangsa Indonesia ke depan. Kaum pemuda lebih memilih kepada pragmatis dan oportunis politik. Pemuda sebagai alat perekat itu telah kehilangan ruh dan komitmen serta konsistensi dalam membangun jiwa pemuda yang lebih mandiri.

Kedua, dalam konteks kelembagaan, organisasi kepemudaan (OKP) lebih terjebak pada unsur sektarianisme, dan primordialisme, sebagai wadah perhimpunan dan pergerakan kaum pemuda. Taring mereka tidak berbunyi kembali apalagi ketika bersentuhan dengan unsur kekuasaan untuk memasuki struktur jabatan pada tingkat jajaran elit pemerintahan.

Gerakan OKP kini menunjukan massifitas dan intensitas yang tinggi sebagai gerakan underbow dalam merajut parpol demi mendapatkan kekuasaan. Ketika OKP sudah terjun dalam panggung parpol, OKP akan selalu dijadikan alat politik untuk memobilisasi massa. Melainkan juga, keberadaan OKP malah digunakan bagi mereka yang duduk di dalam struktur OKP untuk bisa meniti jalan setapak demi setapak menuju proses legitimasi kekuasan di tingkat pemerintahan. Kalau sudah begini harapan masyarakat terhadap eksistensi kaum pemuda dalam membawa kepentingan publik semakin sirna dan pudar.

Ketiga, OKP masih dipersepsikan dan digunakan sebagai alat kepentingan parpol dan dipihak luar tanpa disertai pemberberdayaan (empowerment) OKP secara institusional. OKP masih terus dimanfaatkan sebagai tangga menuju puncak kekuasaan, karier politik, dan terkadang menjadi alat kepentingan sesaat.

Keempat, OKP masih selalu diidentikkan dengan pemasungan kreativitas kaum muda dan OKP seringkali digunakan-meminjam istilahnya Antonio Gramsci dikatakan sebagai alat kooptasi dan hegemoni aspirasi politik pemuda. OKP sebagai wadah elitis dan prokekuasaan telah kehilangan naluri keberpihakan pada rakyat kecil. OKP sebagai media lokomotif partai berkuasa dan elite pemuda yang pro kekuasaan.

Kelima, orientasi para aktivis OKP dewasa ini, termasuk KNPI sebagai wadah berhimpunnya kaum pemuda, tampaknya lebih pada dimensi politik semata, bukan disebabkan karena untuk kepentingan publik, dan tujuan semua dari adanya organisasi kepemudaan.

Keenam, paradigma yang digunakan kaum pemuda sekarang ini sudah tidak memfokuskan dalam membawa aspirasi kepentingan masyarakat, maksudnya organisasi kepemudaan belum pernah melakukan kegiatan yang menyentuh persoalan rakyat Indonesia pada seputar, pemberdayaan kesejahteraan masyarakat.

Sebaliknya, ketidakpekaan kalangan OKP terhadap isu-isu aktual tampaknya pula lebih disebabkan oleh pertimbangan survival dalam memperebutkan kekuasaan atas jabatan tersebut. Agaknya pemuda lebih tertarik pada aktivitas yang lebih profesional, yang berorientasi pada perolehan lapangan kerja atau ekonomi, atau yang bersentuhan langsung dengan isu-isu yang saling tarik menarik antara kepentingan rakyat di satu sisi dengan kepentingan negara atau kekuasaan pada sisi lain.

Di tengah pusaran arus demokrasi, OKP nyaris kehilangan legitimasinya di kalangan dunia kepemudaan. OKP belum sepenuhnya menjadi penentu, pelopor dan sebagai agent of change, melainkan masih ditentukan alat kepentingan politik dan kekuasaan. Karena itu, OKP sudah seharusnya melakukan sebuah gerakan-gerakan alternatif demi menggugah masyarakat untuk senantisa melakukan upaya pressure terhadap segala kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Pemuda sekarang ini sudah seharusnya bisa menjawab permasalahan bangsa yang kian parah.

Maka dari itu, OKP saat ini harus mampu mengembalikan hakikat dan nilai perjuangan OKP sebagaimana ditata oleh para perintis dan pengembangnya sejak awal oleh Boedi Utomo pada tahun 1928. OKP harus melakukan konsolidasi demokrasi dalam membentuk penguatan peran lembaga kemasyarakatan agar lebih berdaya dalam mengelola potensi dan peran pemuda. Sementara itu, OKP harus tetap konsisten pada kiprahnya sebagai wadah berhimpun kaum muda dalam posisinya sebagai 'masyarakat warga' yang semestinya memberdayakan secara politik, ekonomi, sosial, budaya dan bahkan agama.

Pada momentum Hari Sumpah Pemuda saat ini, kaum pemuda harus mampu merenungkan kembali secara filosofis peran dan wadah pergerakan yang solid, kuat, dispilin, insentif, dari seluruh kaum pemuda dengan melakukan konsolidasi kekuatan kepada masyarakat sipil untuk tetap konsisten menjadi pengontrol elite politik dan kontrol moral terhadap arus perjalanan sistem pemerintahan negara dan bangsa Indonesia tercinta ini.

12 Oktober 2009

Membangun Spiritualisme Lingkungan Hidup

It Was Pubslihed in Harian Jogja Newspaper

9 Oktober 2009

ASPIRASI

Oleh : Syahrul Kirom*

Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Filsafat,UGM

Akhir-akhir ini gempa bumi masih mengancam beberapa daerah di Indonesia misalnya yang baru saja terjadi di Tasikmalaya, Jawa Barat. Fenomena itu disebabkan karena manusia telah gagal mengemban misinya sebagai pemimpin di muka bumi, untuk memelihara lingkungan hidup. Salah satu faktor penyebabnya adalah umat manusia kurang peduli dalam menjaga lingkungan. Hal itu menjadikan manusia dengan kadar keimanan dan ketaqwaanya semakin tipis dan acuh terhadap proses perusakan lingkungan alam yang makin cepat dan meluas.

Hutan yang merupakan sumber kehidupan ini telah banyak dieksploitasi oleh manusia-manusia yang tak bertanggung jawab (unresponsibility) dan hanya ingin memenuhi hawa nafsu demi memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya bagi individu. Yaitu dengan cara melakukan penjarahan hutan dan penebangan secara liar (illegal logging).

Tindakan yang eskploitatif, destruktif dan tidak peduli terhadap alam tersebut berakar kuat pada cara pandang yang hanya mementingkan manusia. Pandangan ini jelas akan melahirkan sikap dan perilaku rakus dan tamak yang menyebabkan manusia mengambil semua kebutuhannya dari alam tanpa mempertimbangkan keseimbangan dan kelestarian.

Spiritualisme Lingkungan

Karena itu, kita sebagai pemimpin di bumi ini adalah untuk memenuhi amanah Tuhan yang mencakup kewajiban dan tanggung jawab moral, sosial manusia terhadap Tuhan terhadap diri manusia sendiri dan sesama manusia serta lingkungan hidup. Sehingga relasi manusia dengan lingkungan dan kehidupan ini berarti menjadi pengelola, penguasa, pemakmur dan penyelenggara atas kehidupan yang berlangsung ini. Manusia dianggap oleh Tuhan yang memiliki otoritas penuh terhadap alam, sebagai wakilnya manusia harus mampu melestarikan lingkungan alam dengan baik.

Lingkungan hidup merupakan salah satu bagian dari konsep religius (weltanschauung). Karena itu, dalam perspektif Islam bencana alam sebenarnya memberikan otokritik bagi kita sebagai manusia beragama, sejauhmana nilai-nilai spritualitas mewarnai kebijakan kita tentang lingkungan. Selama ini kita hanya terjebak dengan kecenderungan-kecenderungan yang vested interest, sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak ramah lingkungan yang berakibat pada eksploitasi alam secara tidak proporsional dan merusak keseimbangan ekosistem.

Dalam hal ini, wajar kalau Al-Gore, mantan Wakil Presiden Amerika, dalam karyanya “Earth in the Balance: Ecology and the Human Spirit” menyatakan, “Semakin dalam saya menggali akar krisis lingkungan yang melanda dunia, semakin mantap keyakinan saya bahwa krisis ini tidak lain adalah manifestasi nyata dari krisis spiritual kita”.

Pada tahap inilah statemen Al-Gore di atas sangat menggugat dimensi terdalam dari kemanusiaan kita. Fenomena bencana alam sebenarnya manifestasi nyata dari krisis spiritual, demikian mengikuti bahasanya. Kalau begitu, berarti nilai-nilai keberagamaan kita selama ini apatis begitu saja. Karenanya, tidak mempertimbangkan nilai-nilai spiritualitas dalam setiap mengambil kebijakan mengenai lingkungan yang sesungguhnya itu adalah langkah mendasar yang perlu dilakukan di masa mendatang. Kesadaran ini tidak hanya dilakukan pada tingkat kolektif-formal oleh para aparatus negara, tetapi juga mesti di mulai dari tingkat individual sebagai kesadaran pribadi.

Menurut E.F. Schumacher dalam karyannya “A Guide for The Perplexed”, (1981), masalah krisis lingkungan ini sangat terkait dengan krisis kemanusiaan, dengan moralitas sosial serta krisis orientasi kita terhadap Tuhan. Mengikuti kerangka berpikir Schumacher ini, seharusnya manusia yang dipersalahkan dan bukannya Tuhan. Kitalah yang melakukan berbagai tindakan destruktif terhadap lingkungan alam.

Karena itu, kehadiran The Celestine Vision sangat dibutuhkan dalam konteks saat ini, yang bermaksud mengingatkan kembali (recollection of meaning) kepada manusia, khususnya manusia modern yang rakus, materi dengan mengekspolitasi alam, agar mulai menyadari bahwa hidup itu sebatas pengejaran materi bukanlah “segalanya” dalam kehidupan manusia. Ada sesuatu yang lebih berharga dari sekadar materi yaitu spiritualitas. Pergesaran ke orientasi spiritual ini merupakan protes keras gerakan New Agers terhadap dosa-dosa sains, kapitalisme, imperialisme, materialisme dan segala sesuatu yang sifatnya eksploitatif terhadap lingkungan.

Dimensi moral dan spiritual yang sepenuhnya dilahirkan kembali sebagai sebuah harapan yang paling mungkin, setelah berbagai usaha –usaha praktis sains dan teknologi tidak membawa pemecahanya. Inilah apa yang sering disebut orang sebagai mengembalikan world view dan etika. Thomas Bery mencatat bahwa kita perlu mengembalikan spritualitas terhadap lingkungan alam.

Lingkungan alam yang dinamis merupakan “sebuah kebun spiritual” yang sudah seharusnya dijadikan sebagai langkah dan tindakan untuk selalu melakukan eksploitasi amal ibadah, bukan dalam rangka melakukan eksploitasi alam yang sebanyak-banyak. Sehingga menyebabkan terjadinya bencana alam, karena alam harus dijadikan sebagai bagian untuk tercapainya alam transendental sebagai komunitas spiritualitas dengan sandaran Tuhan sebagai tujuan akhirnya. Semoga.***

18 September 2009

Membumikan Teologi Mudik

It was Published in Bisnis Indonesia Newspaper

17 September 2009

OPINI

Oleh : Syahrul Kirom
Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Setiap akhir bulan Ramadan menjelang Idulfitri 1430 H, banyak umat Islam yang berbondong-bondong mudik Lebaran ke kampung halaman.

Mereka rela berdesak-desakan mengantre berjam-jam di terminal bus, kereta api dan bandara untuk bisa pulang ke kampung halamannya.

Mudik merupakan salah satu upaya keinginan umat Islam untuk bisa berkumpul, bercengkerama, bersenda gurau terhadap keluarga dan saudara-saudara terdekatnya. Mudik ke desa adalah suatu kenikmatan tersendiri bagi mereka yang punya hati nurani untuk berbagi terhadap sesamannya

Mudik seolah-olah telah menjadi rutinitas dan budaya tahunan bagi umat Islam untuk melakukan silaturahmi kepada sanak saudaranya yang ada di desa. Itulah fenomena mudik yang sesungguhnya saat ini kita rasakan hanya sebagai sebuah budaya dan ritual mudik secara biologis. Tanpa memaknai apa itu hakikat mudik?

Pertanyaan itu perlu dikemukakan, hal ini menyangkut beribu umat Islam yang sedang melakukan mudik. Sebab apa, jika makna mudik tidak dimengerti secara komprehensif kepada umat Islam akan menyebabkan ruh daripada ibadah puasa kita akan menjadi sirna tanpa memiliki arti secara genuine.

Sehingga menyebabkan mudik kita seolah-olah hanya mendapat kecapaian, kelelahan secara fisik dan mengeluarkan biaya yang sangat mahal. Selain itu, apabila mudik tidak maknai secara sungguh-sungguh akan menimbulkan musibah.

Kejadian musibah itu bisa dirasakan oleh umat Islam saat ini, seperti gempa bumi, tanah longsor, kecelakaan bus dan sepeda motor, kebakaran, pencurian, keracunan makanan yang menyebabkan kematian.

Itu salah satu contoh nyata bahwa musibah sering terjadi pada akhir bulan Ramadan, ketika mereka akan mudik. Pertanyaannya secara filosofis adalah kenapa musibah selalu banyak terjadi di penghujung Ramadan?

Menurut Sukidi, secara epistemologis, jawabnya adalah musibah itu sebagai akibat logis dari pembangkangan manusia terhadap Allah SWT. Bahkan fenomena itulah, yang dahulu kala mendorong banyak filsuf tradisional dari berbagai agama seperti Huston Smith (Kristen), Frithjof Schuon (Islam), Ananda Comarasawamy (Hindu) yang menunjukkan bahwa musibah itu muncul karena manusia modern sangat jauh sekali dari realitas surgawi atau dalam filsafat perennial (sophia perennis) mereka hidup "di pinggir lingkaran eksistensi (baca: musibah )".

Karena itu, kesadaran mudik jangan hanya dilandasi oleh faktor material untuk menunjukkan tingkat kekayaan kepada saudara dan tetangga di rumah. Sebaliknya, kesadaran mudik harus dilandasi karena faktor peningkatan nilai-nilai transendental kepada Allah SWT.

Dengan begitu, sudah saatnya umat Islam yang mudik, meminjam istilahnya Nasaruddin Umar, mudik harus dijadikan sebagai 'mudik rohani'.

Mudik rohani ini sejatinya adalah suatu fenomena umat Islam untuk kembali kepada asal mulanya dari tanah kelahiran yakni kepada sang pencipta Allah SWT.

Peningkatan ketakwaan

Ada beberapa faktor teologi mudik yang perlu dikedepankan oleh umat Islam. Pertama, tradisi umat Islam yang mudik sudah seharusnya dimengerti bahwa mudik harus di maknai sebagai sebuah peningkatan nilai-nilai ketakwaan dan keimananlah yang paling mutlak. Umat Islam harus bisa mentransendensikan dirinya melalui olah rohani serta kemampuannya sebagai upaya untuk merajut jalinan kasih dengan sesama umat manusia.

Kedua, tindakan yang perlu dilakukan oleh umat Islam ketika mudik ke rumah adalah melakukan ta'aruf, silaturahmi dan berbaik-baikan kepada orang tua, saudara-saudara sebagai bagian dari diri umat Islam untuk kembali menjadi fitrah yang suci. Setelah melakukan ibadah puasa penuh selama 1 bulan lamanya. Dengan begitu, nilai-nilai kebaikan dari kesucian itu bisa muncul kembali ke dalam diri dan ruh umat Islam.

Selain itu, makna silaturahmi mengandung arti yang baik untuk memperluas rezeki, pengetahuan dan tukar pengalaman terhadap sesama saudara. Dengan demikian, silaturahmi adalah langkah awal untuk melebur dosa-dosa yang pernah kita lakukan kepada saudara-saudara yang mungkin pernah kita hina, fitnah, caci maki, lecehkan, dan sakiti hatinya. Karena itu, benar bahwa Islam adalah agama rahmatan lilalamiin yang mengasihi dan suka menolong kepada sesamanya.

Ketiga, wisata mudik harus dimaknai secara teologis sebagai wisata spiritual. Dengan menggunakan nalar mudik sebagai wisata spiritual ini akan membangunkan kesadaran umat Islam, ketika mereka menjalankan ibadah puasa selama 1 bulan penuh masih tetap melekat dalam diri umat Islam, yakni nilai-nilai kesadaran religiusitasnya harus dijadikan langkah awal untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Huston Smith dalam karyanya The Religions of Man (2001), meneguhkan bahwa pandangan agama tak lebih dari sekadar jalan menuju Allah SWT. Maka dari itu, wisata mudik ke kampung halaman adalah wisata jalan menuju kepada Allah, yakni jalan kebaikan yang diajarkan dalam setiap agama-agama dunia termasuk agama Islam.

Dengan mudik ke kampung halaman, umat Islam bisa memberikan sebagian rezekinya kepada suadara-saudara dan bisa menjalin tali silaturahmi serta bermaaf-maafan. Tindakan itu merupakan cermin bagaimana umat Islam akan menuju jalan Allah SWT.

Dengan demikian, mudik menuju wisata spiritual merupakan sebuah keniscayaan yang harus dijadikan niat awal bagi umat Islam yang melakukan mudik. Sehingga dengan mengedepankan nilai-nilai spiritual dalam ajaran Islam itu menjadikan kita bisa kembali kepada fitrah yang suci.

Kembali kepada fitrah suci adalah sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh umat Islam setelah sekian lama kita telah melanggar fitrah asalnya sebagai manusia dengan melakukan kemaksiatan, dan korupsi. Karena itu, dengan kembali kepada fitrah yang suci dengan membersihkan diri dari sifat-sifat yang jahat dan suka menzalimi sesamanya adalah suatu kewajiban. Semoga.

2 September 2009

Pemilihan Menteri dan Kepentingan Publik

It Was Published in Bali Post

24 Agustus 2009

OPINI

Akhir-akhir ini, isu seputar siapa yang berhak mendapat jatah kursi dalam kabinet atau menteri untuk periode 2009-2014, dari partai koalisi atau dari kalangan profesionalitas semakin mengemuka. Pasalnya, di tengah kondisi kemiskinan dan pengangguran yang terus meningkat. Bangsa Indonesia ini membutuhkan menteri-menteri yang berkompetensi dan berkualitas dalam bidangnya untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut.

Karena itu, jika hampir mayoritas menteri-menteri itu diambilkan dari partai koalisi. Bangsa Indonesia mau dibawa kemana untuk kemajuan rakyat Indonesia. Kejujuran dan transparan, amanah dari setiap para menteri ini juga perlu dijadikan pertimbangan, paling tidak harus ada uji kelayakan.

Oleh karena itu, saya hanya berharap kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk lebih jeli, cerdas, dan kritis dalam memilah-memilah menteri siapa saja yang berhak menduduki jabatan tersebut. Dan juga lebih mengutamakan orang-orang yang memiliki profesionalitas dalam menjabat amanah tersebut. Hal ini disebabkan, manyangkut kepentingan bangsa Indonesia ke depan, bukan kepentingan partai pendukung sesaat.
Bangsa Indonesia saat ini butuh pemimpin yang duduk di menteri yang mampu membaca dan memetakan persoalan kerakyatan dan kebangsaan? Dan bahkan para menteri yang mempunyai tanggung jawab untuk mensejahterahkan dan memakmurkan betul nasib rakyat Indonesia.

Sementara itu, dalam memilih menteri yang harus dilihat adalah sikap, tanggung jawab besar dari para menteri, terutama berkaitan dengan profesionalitas, dan kemampuan dalam menganalisis dan mengatasi masalah yang berada di dalam Departemen yang akan dipimpinnya.
`
Kepentingan Publik

Dalam konteks pemilihan seorang menteri, kepentingan publik haruslah lebih diutamakan, ketimbang kepentingan pribadi atau partai pendukungnya. Oleh karena itu, meskipun kemenangan SBY-Boediono, yang juga di dukung oleh partai pendukung, bukan lantas, partai pendukungnya yang diutamakan dalam menduduki kursi jabatan menteri.

Kemenangan SBY-Boediono adalah kemenangan seluruh rakyat Indonesia yang memilihnya, bukan kemenangan partai pendukung. Dengan begitu, kepentingan dan aspirasi rakyat harus dijamin dahulu daripada kepentingan partai koalisi.

Meminjam bahasa Hannah Arendt-aktivitas politik dalam pilpres 8 Juli 2009 yang lalu, tidak berarti hendak mengejar satu tujuan, hanya untuk kekuasaan dan popularitas. Akan tetapi, adalah tujuan untuk memberikan kesejahteraan, kemakmuran, dan pelayanan kepada masyarakat Indonesia.

Tindakan politik tidak dimaksudkan untuk memperoleh kesejahteraan bagi diri sendiri, partainya atau partai pendukungnya. Tapi, untuk kepentingan bangsa Indonesia dalam setiap kehidupan politik dan kehidupan umat manusia. Dengan memberikan kepada rakyat yang meliputi kebebasan, persamaan hak, keadilan, solidaritas, kemakmuran, kesejahteraan, keamanan, pelayanan publik yang baik dan jujur. Dengan menjalankan tindakan itu semua, maka elite politik dan elite pemerintahan telah melakukan tujuan politik yang secara genuine.

Politik adalah sebuah dunia yang memiliki nilai-nilai luhur dan tujuannya sendiri yang harus direalisasikan dengan mmemberikan pelayanan kepada publik dan memberikan kebaikan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam esai yang ditulis Hannah Arendt berjudul “Public Rights and Private Interest“ menegaskan, seluruh hidup manusia berpolitik dan bergerak secara konstan dalam dua aturan eksistensi yang berbeda. Ia bergerak dalam dunia, bergerak bersama orang lain, dan juga bersama mereka yang mengikutinya. Itulah “kebaikan publik”.

Partisipasi warga dalam pilpres 8 Juli 2009 lalu adalah kebaikan bersama karena dia berada dalam dunia bersama. Karena itu, kepentingan publik harus dikedepankan.
Kepentingan publik bagaikan sebagai juri. Sebagai partai pemenang pemilu 2009, yakni partai demokrat, kita diminta untuk berpegang pada kepentingan kebenaran dan kejujuran publik. Ini faktor yang paling utama dan fundamental dalam membangun peradaban bangsa Indonesia. Itulah kepentingan yang tercerahkan, melainkan juga kepentingan komunitas politik yang bisa mengakomodasi seluruh kepentingan rakyat Indonesia. Kejujuran dan imparsialitas adalah tuntutan warga.

Kepentingan publik yang ada di dalam keadilan imparsialitas yang kita miliki sebagai partai pemenang seringkali tercampur dengan masalah pribadi kita, karena itulah yang seringkali menyebabkan kesusahan dan kesulitan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi kepentingan bangsa Indonesia.

John Rawls, dalam karyanya “A Theory of Justice” (1973), menyatakan secara ekplisit bahwa keadilan sosial harus dilihat dalam posisi deontologis “yang hak prioritas atas yang baik”, di mana “yang hak dan yang baik untuk kepentingan publik harus diutamakan. Secara filosofis keadilan sosial adalah keadilan substantif yang menjadi subjek struktur dasar masyarakat yaitu “cara di mana institusi-institusi sosial dan departemen-departemen di dalam pemerintahan mampu mendistribusikan hak-hak serta kewajiban fundamental dan menentukan pembagian nikmat-nikmat kepada rakyat Indonesia.

Karena itu, dalam memilih menteri, kita berharap kepada presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) perlu melihat aspek-aspek yang sangat penting, yang sesuai dengan kecerdasan, intelektualitas, kompetensi, skill, pengetahuan dan wawasan calon menteri yang baru dalam mengeluti bidang tertentu. Faktor itulah yang harus dipertimbangkan dalam mencari sosok menteri atau kabinet.

Dengan begitu, kita berharap dan menagih janji kepada SBY, untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, maka ciptakanlah dulu pemerintahan bersih dalam pemilihan kabinet, dengan memilih kabinet yang sungguh-sungguh bersih akan menciptakan dan menjalankan setiap kebijakan Departemen yang dipegangnya dengan adil dan demokrasi. Dalam artian, pilihlah menteri yang mempunyai itikad baik, etika politik untuk mengabdi dan membantu rakyat Indonesia, bukan karena faktor ingin kekuasaan, jabatan, popularitas dan bahkan kekayaan untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya.

Penulis : Peneliti Pada Social and Philosophical Studies Yogyakarta

24 Juli 2009

Pemicu Kekerasan Bernuansa Agama

It Was Published in Solopos Newspaper
Jum'at 24 Juli 2009
Gagasan

Oleh : Syahrul Kirom*
Dosen, Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU) Chozinatul Blora Jawa Tengah

Agama merupakan fenomena sosial yang tidak pernah selesai untuk dibicarakan dan ditafsirkan; agama selalu hidup dalam sejarah umat manusia dan mengikuti perkembangan zaman. Karena itu, agama mengalami interpretasi dan interpretasi ulang yang kadang digunakan kelompok-kelompok tertentu untuk membela kepentingannya demi meraih kekuasaaan dan bahkan melakukan kekerasan atas nama agama.

Nampaknya, kekerasan atas nama agama telah dilakukan oleh para pelaku bom yang terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton di Jakarta pekan lalu. fenomena itu jelas terkait dengan adanya terorisme yang masih mengancam negara Indonesia.

Kenyataan itu, membuktikan bahwa masyarakat muslim di Indonesia tidak bisa memahami akan arti pentingnya pluralisme beragama, pluralisme adalah suatu keniscyaan yang sesungguhnya harus kita hormati untuk melahirkan perilaku kedamaiaan dan kesejukan agama serta kasih sayang terhadap sesamanya.

Sementara itu, kenyataan pluralisme agama membuat umat beragama harus menegaskan kembali identitas keagamaan di tengah-tengah umat beragama lain yang juga eksis. Pluralisme keagamaan sudah menjadi kenyataan sejarah yang tidak bisa dihindari, menafikan pluralisme sama artinya dengan menafikan keberadaan manusia itu sendiri.

Namun, pluralisme dan perbedaan (eksoterik) agama sering menjadi sumber konflik dan ketegangan di antara umat beragama. Bahkan umat beragama sebagian besar masih memandang agama lain dalam konteks "superior" dan "inferior".

Karena itu, menarik memperhatikan tesis Huntington (The Clash of Civilizations and the Remaking of the World Order, 1996) yang menjelaskan "peradaban" sebagai pengelompokan terbesar masyarakat yang melampaui tingkat pembedaan manusia dari spesies lainnya. Sebuah peradaban ditentukan oleh anasir-anasir objektif bersama-bahasa, sejarah, agama, adat, dan lembaga-lembaga-juga oleh swa-identifikasi masyarakat. Huntington menyatakan, kini ada tujuh atau delapan peradaban besar di dunia: Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Kristen Ortodoks, Amerika Latin, dan "mungkin" Afrika.

Banyaknya kekerasan dipicu sentimen agama di Indonesia, seakan membenarkan, agama memang mendukung perilaku kekerasan, self fulfilling prophecy atas kekerasan berbau agama. Akibat yang diderita para pemeluk agama adalah mereka hidup dalam ruang yang serba sempit tertekan, karena agama yang diharapkan bisa menjadi tempat berlindung dan pengayom, malah berlaku kasar, terkesan jadi bengis.

Standar ganda yang diterapkan para pemeluk itu menganggap, agamanya yang paling sempurna dan paling benar, sementara agama lain tidak sempurna, karena itu salah dan sesat Dengan menempatkan standar ganda semacam ini -yang kemudian terkonstruksi pada masing-masing penganut agama- terjadi saling mengklaim (truth claim), kebenaran hanya ada dalam agamanya; agama orang lain tidak mengajarkan kebenaran karena tidak ada kebenaran maka tidak ada pula keselamatan. Berpijak pada truth claim ini, maka pemahaman keagamaan mengarah pada segregasi-segregasi antar umat beragama.

Semua itu akan terjadi saat pemahaman atas agama atau keberagamaan masyarakat merupakan keberagamaan yang parochial, sehingga yang terbangun adalah sentimen-sentimen negatif atas agama lain. Namun, mungkin akan tereliminir sentimen-sentimen keagamaan dan kekerasan atas nama agama, saat cara keberagamaan masyarakat beranjak pada cara keberagamaan yang lebih toleran. Artinya apresiatif terhadap perbedaan-perbedaan yang ada dalam agama-agama itu.

Sikap toleran dan apresiatif inilah yang merupakan kata kunci pada inklusivisme beragama. Perbedaan dalam agama dipahami sebagai sesuatu yang bukan taken for granted sebagai sunnahtullah, tetapi menjadi kesadaran pluralisme pada masing-masing penganut agama.

Banyaknya agama itu mengandaikan sebuah kenyataan yang tidak saja wajar adanya, tetapi sebuah keniscayaan yang harus dihargai, dihormati, bahkan dijadikan semacam pijakan bersama guna menumbuhkan kedewasaan dalam beragama. Pluralitas agama tidak digerakkan untuk menuju kehidupan yang penuh disharmoni, pertikaian, ataupun perkelaian fisik antar agama.

Karena itu, perbedaan agama sudah seharusnya menjadi modal dasar dan elan vital membangun sebuah peradaban masyarakat religius yang mendahulukan, kompromi-kompromi dan dialog. Karena itu di sinilah kekuatan utama agama-agama yang mengemban misi profetiknya. Bukan agama yang di kemas dengan kalimat-kalimat yang magis dan sakral, untuk saling menghancurkan dan menakut-nakuti sesama pemeluk agama.

Kita semua percaya, setiap agama mengajarkan prinsip-prinsip universal tentang keadilan, kejujuran, pembelaan terhadap yang tertindas, dan kaum minoritas. Agama mengajarkan agar manusia saling mengasihi, saling menyayangi, dan mencintai. Karena itu, perbedaan-perbedaan yang ada dalam cara atau tata cara, metode, atau jalan menuju Tuhan, karena sesungguhnya perbedaan itu hanya penampilan, yang hakekatnya sama-sama menghadap Tuhan, mengabdikan diri pada sang Khaliq dengan pelbagai ungkapan dan ekspresinya. Semoga.

10 Juli 2009

Menyoal Iklan Politik Pilpres 2009

It Was Published in Duta Masyarakat Newspapers
Selasa, 30 Juni 2009

OPINI

Oleh : SYAHRUL KIROM, Dosen, Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU) Chozinatul Ulum Blora Jawa Tengah

Akhir-akhir ini, manuver politik yang dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, M Jusuf Kalla-Wiranto, dan Mega-Prabowo, dari pasangan capres-cawapres tersebut dalam pemilu presiden 8 Juli 2009 kian memanas. Kunjungan dan pendekatan kepada rakyat pun menjadi semakin menguat. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh dukungan dan suara dari rakyat dalam pemilu 2009.

Janji-janji politik yang dilakukan capres-cawapres kian mewabah di berbagai iklan politik. Baik itu di televisi maupun media cetak. Para capres-cawapres menebar pesona dan pencitraan politik untuk mencapai kekuasaan. Padahal, sejatinya, itu semua hanya janji-janji politis belaka yang sesungguhnya jauh dari realitas kehidupan sosial-masyarakat.

Pada kenyataannya di pelosok-pelosok desa dan bahkan di sudut-sudut perkotaan masih banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan dan pengangguran, politik dari hari ke hari kian menjauhkan diri dari pengabdian kepada rakyat, justru kekuasaan yang lebih dikedepankan karena itu, politik kerakyatan perlu dikedepankan untuk memajukan kepentingan bangsa Indonesia.

Menyitir pernyataan Iwan Fals, lewat lagunya yang berjudul �Manusia Setengah Dewa�, turunkan harga sembako, berikan aku pekerjaan, tegakkan keadilan seadil-adilnya. Indonesia ini butuh kedamaian, Indonesia butuh kesejahteraan, Indonesia butuh keadilan, bukan janji-janji politik yang ada dalam iklan politik di televise dan media cetak, yang hanya manis di bibir, tapi kenyataan tidak terimplementasikan secara komprehensif bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Kekuasaan bisa dipahami bagaimana cara capres-cawapres untuk memenangkan pemilu presiden 2009. Sehingga mereka bisa mendulang suara banyak dari publik. Setiap pernyataan yang dimunculkan oleh capres-cawapres sudah barangkali mempunyai entitas �entitas kepentingan politik. Karena itu, masyarakat harus kritis dan melek politik.�� �

Politik adalah cara atau seni untuk memperoleh kekuasaan, di mana terkadang politik sering diasumsikan sebagai perebutan kekuasan dengan cara yang kotor, kampanye-kampanye adalah bagian dari tugas poltik yang harus diwaspadai ketika mereka banyak menawarkan janji-janji yang belum pasti. Rakyat Indonesia sudah terlalu lelah untuk dikibuli dengan janji-janji yang tidak konkret dan terealisasi secara komprehensif.

Banyak berbagai konsep yang ditawarkan oleh ketiga capres-cawaprees dengan berbagai alibi, mulai pro ekonomi kerakyatan dan program lain-lainnya. Apakah hanya sekedar janji-janji itu akan menyelesaikan persoalan kebangsaan dan kerakyatan? Masalah yang sangat kompleks seperti kemiskinan dan pengangguran saja belum selesai sudah banyak berjanji.

Kini banyak rakyat yang menderita kelaparan, penggusuran PKL, PHK dan pengangguran serta kemiskinan yang kian menjangkiti masyarakat. Karena itu, kekuasaan sudah seharusnya diberikan kepada rekyat untuk menyelesaikan masalah itu, bukan sebaliknya kekuasaan diprioritaskan adalah untuk kepentingan individu dan kepentingan parpol.

Ruang penampakan
Iklan politik yang ditayangan melalui televisi itu sejatinya adalah ruang penampakan itu dan memang itu harus diciptakan oleh capres-cawapres secara kontinue dengan tindakan, di mana keberadaannya dijamin kalau para pelaku berkumpul dengan maksud membicarakan dan membebaskan persoalan publik dari kemiskinan dan pengangguran. Karena itu, ruang penampakan senantiasa merupakan potential space yang menemukan aktualisasinya dalam tindakan dan ucapan pelbagai individu untuk berkumpul bersama untuk melakukan proyek bersama.

Karena itu, masyarakat harus kritis dan melek politik, janji-janji yang ditayangkan oleh para calon pemimpin itu dalam televisi dan media cetak hanyalah bias dan yang berada dalam ruang penampakan, dan belum terwujudkan dalam realitas kehidupan masyarakat Indonesia. Apakah rakyat tetap percaya begitu saja, rakyat harus cerdas dan melek politik dalam melakukan pemilihan preseiden 8 Juli 2009.

Tindakan berkampanye adalah representasi dari dunia politik yang terpusat dan sekaligus realisasi dari vita activa tertinggi. Meminjam bahasa Hannah Arendt, ucapan, kata-kata yang disampaikan dalam kampanye dengan berbagai janji-janji politik, program yang ditawarkan , tanpa tindakan, karya dan kerja akan kehilanagan makna dan tidak berarti apa-apa (meaningless) bagi kepentingan rakyat Indonesia. Dengan begitu, rakyat Indonesia harus kritis dalam memahami pemilu presiden 2009 dan jangan mudah dikibuli, dibohongi dengan janji-janji yang bernuansa politis, yang belum tentu jelas efek positifnya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia

8 Juli 2009

Membumikan Etika Religius Calon Pemimpin 2009

It Was Published in Duta Masyarakat Newspapers

Selasa, 7 Juli 2009

OPINI

Oleh : SYAHRUL KIROM, Alumnus Santri Pondok Pesantren Tambakberas Bahrul Ulum Jombang, Jawa Timur.

Menjelang pemilu presiden 8 Juli 2009 mendatang, suhu perpolitikan di Indonesia kian memanas. Pasalnya, dalam pemilu presiden 2009 kali ini yang telah di beritakan oleh berbagai media cetak maupun elektronik ada tiga kandidat capres (calon presiden) dan cawapres (calon wakil presiden) yang akan maju dalam persaingan untuk memperebutkan kursi RI-1 di Indonesia, yakni Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono, M. Jusuf Kalla dan Wiranto, Megawati Soekarno Putri dan Prabowo.

Mencermati perkembangan perpolitikan di negeri kita ini kian menarik manakala Masyarakat sebagai pemilih mampu membaca dan merekam jejak kepemimpinan ketiga capres tersebut. Di antara mereka manakah yang layak untuk memimpin negeri ini untuk periode 2009-2014. Jika publik atau masyarakat bisa memilih secara kritis dan bijaksana dalam menentukan pilihannya, niscaya negeri ini akan maju dan membawa perubahan bagi rakyat Indonesia.

Kepemimpinan yang baik merupakan cerminan dari karakter calon pemimpin. Seorang pemimpin itu harus berwibawa, memiliki intelektual yang tinggi, integritas, loyalitas terhadap pengabdian masyarakat dan memiliki sense of responsibility yang tinggi untuk menyejahterakan dan memakmurkan bangsa Indonesia.

Selain itu, juga harus memiliki etika berpolitik yang santun dan tidak boleh saling menghina, mengejek atau bahkan menjatuhkan lawan politiknya di depan publik.

Seorang pemimpin dalam bersaing dan berkompentesi harus secara fair, demokratis dan transparan, tidak boleh bermain curang dan menggunakan cara yang kotor serta menghalalkan segala cara, jika tindakan kotor dalam berpolitik itu dilakukan, tunggu saja kehancuran peradaban negara Indonesia.

Sementara itu, dalam karya Al Mawardi yang berjudul �Al Ahkam al �Sultaniyyah� (1966), menyebutkan prinsip-prinsip berpolitik Nabi Muhammad adalah Pertama, berpolitik harus bertujuan untuk kemaslahatan agama dan umat. Kedua, berpolitik tidak boleh melupakan kasih sayang terhadap sesamanya yang menderita kemiskinan dan pengangguran. Ketiga, calon pemimpin harus dapat menjadi tauladan kebaikan bagi orang lain dan dapat hidup secara sederhana, tidak boleh mementingkan keluarga dan partai politiknya. Keempat, calon pemimpin harus berbuat adil dan baik kepada semua orang serta harus mampu menegakkan keadilan hukum untuk semua orang. Kelima, calon pemimpin harus bisa menepati janjinya untuk menyejahterakan umat manusia.

Karena itu, para capres-cawapes perlu belajar banyak dari kepemimpinan rasulullah Nabi Muhammad atau bahkan teologi politik rasulullah dalam memimpin negeri. Rasulullah SAW adalah seorang Rasul dan Nabi, akan tetapi apakah dia dalam memimpin negeri Islam itu berpolitik? Itu semua tergantung pada apa yang kita maksudkan dengan istilah berpolitik, jika maksud berpolitik adalah mendirikan dan memimpin partai politik atau mencalonkan diri untuk memegang jabatan politik atau menjadi wakil rakyat, maka jelas Nabi Muhammad tidak ber-politik.

Menurut Maghfur Usman, berpolitik adalah memimpin umat dalam urusan sehari-hari demi kemaslahatan umat dan mampu menyelesaikan persoalan kebangsaan yang terjadi di antara umat manusia yakni tentang kemiskinan, pengangguran, kelaparan, musibah bencana serta problem sosial politik lainnya dan bagaimana seorang calon pemimpin itu bisa mengabdikan tugas negara untuk umat dan bangsanya, bukan untuk individu, keluarga dan kepentingan kelompok partai politiknya.

Nabi Muhammad memimpin pemerintahan ini dengan bijaksana, adil dan penuh keteladanan, persoalannya secara filosofis adalah bagaimana para capres 2009 ini bisa mentauladani kepemimpinan Nabi Muhammad dalam berpolitik atau menjalankan tugas negara sebagai pemimpin dan kepala negara Islam pada masa itu? Sejarah itulah, yang perlu digali dan diimplementasikan oleh calon presiden 2009 dari Al-Quran sebagai wahyu yang diajarkan dalam agama Islam. Sehingga medan politik yang selama ini dianggap sebagai medan yang kotor dan penuh kemunafikan dapat diubah menjadi medan politik yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Karena itu, para capres 2009 yang akan maju dalam pemilihan presiden (pilpres) 2009 ini harus selalu mengedepankan akhlak dan etika religius-politik yang baik dan tidak bermain curang dengan melakukan penyuapan uang, sembako atau melakukan penggelembungan suara, dengan membeli suara kepada kelompok tertentu. Kita harus banyak belajar dari pemilu legislatif 9 Aprill 2009 lalu yang penuh dengan kecurangan dan ketidaksiapan Komisi Pemilu Umum (KPU).

Dengan begitu, para capres yang akan bertarung untuk meraih kursi kekuasaan presiden RI harus bersikap transparan, jujur, adil dan demokratis.

Dengan demikian, para capres-cawapres ini dalam berpolitik dan berkampanye harus selalu mengedepakan etika religius dan harus memiliki sikap-sikap politik yang baik, jujur, amanah, tabligh, fathonah, saleh, tidak curang, tidak melakukan penyuapan, yang selalu diajarkan Nabi Muhammad. Sehingga, lahirlah sosok pemimpin yang bisa mengayomi dan memberikan tauladan yang baik bagi rakyat dan bangsa Indonesia tercinta ini. Semoga

3 Juli 2009

Teologi Memilih Capres 2009

It Was Published in Duta Masyarakat Newspapers

OPINI, 3 Juli 2009

Oleh : SYAHRUL KIROM, Alumnus Pondok Pesantren Tambakberas Bahrul Ulum, Jombang Jawa Timur.

Mendekati pemilu presiden 8 Juli 2009, suasana perpolitikan kian menghangat. Para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) mulai memasang kuda-kuda dan strategi politik untuk meraih simpati dan dukungan dari rakyat dan masyarakat Indonesia dengan berbagai manuver politik yang dilakukan dari para calon pemimpin.

Selain itu, tim sukses dari tiga capres dan cawapres mulai bergerak dan berkampanye untuk mengegolkan hasrat politik dari para calon pemimpinnya. Keberadaan tim sukses dari salah satu pasangan capres-cawapres adalah salah satu kunci untuk memobilisasi massa untuk? bisa mengatur ritme politik dalam menyukseskan? pilihan capresnya.

Namun demikian, dalam berkampanye dari capres dan cawapres harus juga mengedepankan etika politik yang santun, tidak boleh saling mengkritik dan bahkan menjatuhkan lawan politiknya. Politik adalah seni mencapai kekuasaan yang sudah seharusnya diperoleh dengan jalan yang baik, apabila?? tindakan memperoleh kekuasaan itu dilakukan dengan cara halal. Niscaya dalam kepemimpinan tersebut akan mendapat ridho dari Allah. Melainkan juga,? kemajuan dan? kesejahteraan rakyat serta kepentingan bangsa Indonesia akan segera dicapai.

Begitu pula, kekuasaan sudah seharusnya dijadikan tujuan dari para capres-cawapres untuk mendekatkan diri kepada Allah dan beribadahnya kepadanya, dengan jalan memberikan dan menjalankan tugasnya sebagai pemimpin bangsa untuk mempedulikan nasib wong cilik dan menyejahterahkan kehidupan masyarakat Indonesia, bukan untuk kepentingan individu dan partai politiknya.

Karena itu, sudah seharusnya para capres-cawapres juga harus memiliki sifat-sifat yang baik dalam memimpin negara Indonesia. Sehingga eksistensi Tuhan yang maha pengasih, penyayang dan pemurah terejawantah dalam diri? para capres-cawapres yang akan memimpin negeri Indonesia tercinta ini.

Dalam konteks politik, teologi memainkan peranan penting dalam membangun watak dan perilaku para capres dan cawapres. Etika politik dan kesantunan berkomunikasi kepada publik adalah prasyarat mutlak untuk mencapai kekuasaan dan dukungan rakyat Indonesia dengan sikap demokratis.

Paradigma politik yang kotor seperti melakukan penggelembungan suara, penyuapan dalam pemilihan capres-cawapres, memberikan sembako untuk memilih capres perlu direduksi dari alam pikiran para politisi. Karena itu, nilai-nilai politik yang luhur dengan selalu mengedepankan kejujuran, transparan dan demokrasi perlu diimplementasikan dalam pemilu 2009.

Calon pemimpin
Karena itu, dalam pemilu presiden 8 Juli 2009, saya hanya berharap kepada masyarakat muslim di Indonesia, agar sebelum menentukan pemilihan calon pemimpin di antara Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, M Jusuf Kalla-Wiranto, Megawati-Prabowo. Alangkah, sebaiknya masyarakat Islam di Indonesia melakukan sholat Istikhoroh, untuk meminta petunjuk dari Allah Swt dalam mimpinya, manakah di antara ketiga capres-cawapres tersebut yang layak? untuk memimpin bangsa Indonesia ke depan.

Secara teologis, sholat istikhoroh adalah langkah kritis-konstruktif dalam memohon kepada Allah swt, semoga diberikan petunjuk yang jelas untuk memilih pemimpin yang baik dan bertanggung jawab untuk mengabdi kepada rakyat Indonesia di tengah situasi krisis ekonomi global dan meningkatkannya pengangguran, kemiskinan dan kelaparan? yang ada dalam diri bangsa Indonesia.

Sementara itu, salat Istikharah adalah dialog spiritual langsung seorang muslim dengan Tuhan agar diberikan petunjuk dari Allah swt. Dalam menentukan? pilihan? capres-cawapres yang tepat. Melalui sholat Istikhoroh diharapkan mampu melahirkan perilaku serta keyakinan yang kuat guna mentransformasikan pilihan kita? dalam memilih pemimpin bangsa Indonesia untuk periode 2009-2014.

Teologi dalam memilih pemimpin melalui salat Istikharah adalah suatu keniscayaan yang harus dilakukan oleh umat Islam sebagai langkah? yang tepat, agar kita tidak salah lagi dalam memilih pemimpin? yang menyebabkan banyak masalah? bagi rakyat Indonesia.

Dengan begitu, masyarakat Islam di Indonesia harus kritis dan melek politik, kita jangan mudah tergoda dengan berbagai slogan politis, brosur, dan iklan politik yang dikampanyekan oleh capres-cawapres. Karena itu sesungguhnya janji-janji politik yang ditawarkan dalam berbagai iklan di televisi dan media cetak itu belum tentu diimpelementasikan secara genuine.

Karena itu, teologi pemilihan presiden 2009 dengan melakukan salat Istikharah perlu dilibatkan dalam diri umat Islam,? agar dikemudian hari calon pemimpin yang akan kita pilih, benar dan tepat sesuai dengan kepemimpinan Rasulullah. Kehadiran Tuhan perlu dilibatkan dalam pemilihan presiden 2009. Sebagai landasan fundamental untuk memohon petunjuk kepada Allah dalam menentukan pilihan yang? tepat, demokratis, jujur, amanah, ?berkualitas, bertanggung jawab dan bertakwa kepada Allah SWT.

Dengan demikian, janganlah memilih capres-cawapres karena ada kepentingan politik, kekeluargaan, sahabat

28 Mei 2009

Memilih capres perspektif Jawa

It Was Published in Wawasan Sore Newspaper

Kamis, 28 Mei 2009

OPINI

MENJELANG Pemilihan Presiden 8 Juli 2009 suhu perpolitikan kian menghangat. Pasalnya para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang sudah diberitakan media massa, akan ada tiga pasang kandidat capres-cawapres yang maju dalam Pemilu 2009 yakni Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono, M Jusuf Kalla dan Wiranto, Megawati Seokarno Putri dan Prabowo. Para capres semakin gencar untuk melakukan manuver politik dan strategi koalisi untuk mendulang suara yang lebih banyak serta untuk memperbutkan kekuasan di Indonesia.

Pesta Pemilu Presiden 2009 ini adalah bagian dari suatu demokrasi untuk menuju kursi dalam menentukan pemilihan calon presiden dan wakil presiden sebagai pemimpin bangsa Indonesia. Sehingga dengan adanya pemilihan capres diharapkan bisa membawa kemakmuran dan kesejahteran bangsa Indonesia.

Namun demikian, para pemilih juga harus cerdas dan kritis dalam menentukan calon presiden atau pemimpin yang mumpuni, mempunyai integritas, loyalitas dan kesetiaan untuk selalu menyejahterakan rakyat dan memimpin negeri Indonesia tercinta dengan lebih baik serta mempunyai visi dan tujuan yang jelas ke arah kemajuan bangsa Indonesia.

Pemimpin adalah orang yang memimpin kelompoknya untuk mencapai satu tujuan tertentu. Pemimpin diikuti oleh masyarakat dan rakyat yang dipimpinnya dalam geraknya untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dan adil sentosa. Pemimpin yang buta tujuan atau buta cara mencapai tujuan masyarakat dan rakyat Indonesia akan membawa kehancuran peradaban negara Indonesia.

Jika kita memilih pemimpin untuk memimpin negara dan pemerintahan maka tentulah diperlukan kriteria tertentu agar jangan terjadi kesalahan dalam memilih sehingga bisa menyengsarakan dan membuat rakyat semakin menderita dalam kehidupannya.

Dalam buku Meneguhkan Tahta Untuk Rakyat (1999) menjelaskan seorang pemimpin hendaknya bisa mengontribusikan lima gatra kewibawaan regional pada era saat ini. Sebagaimana yang termuat dalam serat surya raja. Pertama, seorang pemimpin harus sanggup merefleksikan dharmajayanti, yakni tanggung jawab yang berisi amanah kalbu generasi dan tradisi leluhurnya. Kedua, seorang pemimpin dituntut agar menjadi wiramabdikka, yang bisa mengantisipasi berbagai gerak perubahan kekinian yang berusaha membebas manusia dari ketertindasan dan kemiskinan. Ketiga, seorang pemimpin harus berperan aktif sebagai priyamabdarukki, yang membentengi segenap pengupayaan budaya yang tegas. Keempat. Seorang pemimpin harus bermakna sribawanti, yang teguh menjadi juru bicara atas perubahan sosial dan inetelektual zaman. Kelima, sihdwipantara yakni seorang pemimpin harus bisa mengakomodasi simbol spiritualitas yang heterogen dan aspirasi rakyat Indonesia.

Sementara itu, menurut Arwan Tuti Artha, seorang pemimpin harus berjanji tidak boleh berprasangka, iri pada orang lain biarpun irang lain tidak senang, melainkan juga. Pemimpin harus berjanji tidak melanggar peraturan negara dan juga seorang pemimpin harus berani mengatakan yang benar itu benar, yang salah itu salah, seorang pemimpin juga harus lebih banyak memberi daripada menerima serta seorang pemimpin tidak boleh mempunyai ambisi kecuali itu untuk menyejahterakan dan mengabdikan diri kepada rakyat Indonesia.

Dalam tradisi masyarakat Jawa, situasi yang sulit seperti dengan adanya krisis ekonomi global, ini seorang pemimpin harus bisa menjadi pengayom, yang siap berdiri paling depan, ing ngarsa sung tulad- ha , menjadi panutan dan tampil mengambil tanggung jawab dengan segala risikonya. Kepemimpinan yang berorientasi pada kerakyatan yang memiliki komitmen pada janji, berwatak tabah, kokoh, toleran, selalu berbuat baik dan sosial.

Dalam Serat Sastra Gendhing. Pertama, seorang pemimpin haruslah seorang yang intelektual, berilmu, jujur, dan pandai menjaga nama, serta mampu menjalin komunikasi dengan pihak lain atas dasar kemandirian. Kedua, seorang pemimpin harus selalu berada di depan, memberi keteladanan dalam membela keadilan dan kebenaran, melainkan juga seorang pemimpin haruslah bertekad bulat menghimpun segala daya dan potensi untuk kemakmuran dan ketinggian martabat bangsa Indonesia.

Ketiga, seorang pemipim harus bertekad menjaga sumber-sumber kesucian agama, kebudaayaan dan aset-aset negara jangan sampai dijual kepada negara lain. Keempat, seorang pemimpin harus bisa mengembangkan seni sastra, seni suara, seni tari untuk mengisis peradaban bangsa Indonesia. Kelima, seorang pemimpin harus bisa menjadi pelestari dan pengembang budaya, pencetus sinar pencerahan ilmu, dan pembawa kebahagian umat, bukan malah jadi pembawa bencana umat manusia. Keenam, seorang pemimpin harus bertekad menjadi pelopor pemersatu dari berbagai kepentingan yang berbeda-beda dari waktu ke waktu serta berperan dalam perdamaiaan dunia.

Karena itu, dalam Pemilu Presiden 2009 ini masyarakat harus benar- benar melek politik untuk bisa mencermati dari jejak rekam dari para capres, seperti Susilo Bambang Yudhoyono dan M Jusuf Kalla, di antara mereka itu mana yang layak untuk kita pilih sesuai dengan hati nurani rakyat dan sesuai dengan kriteria yang telah disebutkan diatas dalam serat jawa, dan rakyat jangan pernah memilih karena ada hubungan partai politik atau karena disuap oleh uang.

Tentukannlah pilihan pemimpin bangsa Indonesi yang mampu membawa kesejahteraan, kedamaiaan, kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, pilihlah calon pemimpin yang berkualitas, berintegritas tinggi, dan bertanggung jawab kepada rakyat dan bangsa Indonesia tercinta ini, serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Meski demikian, kekritisan dan kecerdasan pemilih untuk menentukan pilihan capres dan cawapres dari berbagai partai politik sangat diharapkan oleh publik. Sehingga dengan sikap kritis mampu merekam jejak para capres dan cawapres ini, di mana dengan mengetahuai karakter capres dan wapres, diharapkan para pemilih ini mampu melahirkan calon pemimpin yang handal dan mumpuni serta bisa menjadi teladan bagi rakyat, bertanggung jawab, mempunyai integritas yang tinggi dan mampu sepenuhnya secara tulus dan ikhlas, tanpa tendensi apa pun untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia. hf

Syahrul Kirom
Dosen STIU Chozinatul Ulum
Blora Jawa Tengah

3 April 2009

Menanti Teologi Politik Para Caleg

Dimuat juga di Radar Buton

24 Maret 2009

OPINI

Oleh : Syahrul Kirom

Mulai zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga pascareformasi, banyak masyarakat Indonesia yang hidup serba kesusahan dan kekurangan dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Apakah elite politik tidak melihat realitas tersebut ? Apakah elite politik dan caleg hanya akan menebar janji dalam Pemilu 2009. Rakyat membutuhkan bukti yang nyata dari elite politik untuk menyejahterakan dan mengentaskan kemiskinan. Jika janji-janji politik tidak ditepati akan menyebabkan peradaban bangsa Indonesia semakin hancur.

Karena itu, menjelang Pemilu Legislatif 9 April 2009, caleg dan elite politik harus mulai membenahi sistem partai politik, etika, dan perilakunya kepada rakyat Indonesia. Jika tidak ada perubahan dalam moral elite politik, rakyat tidak akan memilih untuk Pemilu 2009. Sebab, pemilu yang diadakan lima tahun sekali tidak memberikan efek positif bagi kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia.

Karena itu, kita membutuhkan teologi politik untuk membenahi perilaku moral elite politik, bukan tindakan politik secara ansich, yang mementingkan kepentingan partai politik dan kelompoknya. Tapi, bangsa Indonesia ini membutuhkan calon pemimpin yang mempunyai visi, beragama, dan etika politik yang baik kepada rakyat Indonesia untuk melahirkan suatu pandangan yang jauh lebih baik demi kepentingan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Dengan begitu, untuk membenahi pembusukan para elite politik dan calon legislatif, kita butuh teologi politik. Kehadiran Tuhan harus ada dalam alam pikiran elite politik dan caleg sebagai upaya preventif dalam membangun kesadaran etika politik untuk mencegah terjadinya subversivitas, seperti korupsi, money politics, penyimpangan kekuasaan, pengelembungan suara dalam Pemilihan Legislatif (pileg) 9 April 2009.

Ada beberapa faktor mengapa teologi harus dilibatkan dalam politik. Pertama, kehancuran bangsa Indonesia ini bisa juga disebabkan perilaku elite politik yang tidak memberikan pelayanan kepada rakyat Indonesia. Kita sering melihat perilaku elite politik yang tidak terpuji, misalnya, korupsi uang negara.

Menurut Johann Baptist Metz, teolog Jerman, mengusung gagasan teologi ke dalam politik bertujuan memberikan pendasaran teologis yang kuat terhadap elite politik dan calon legislatif. Hal itu dilakukan sebagai bentuk pendorong inisiatif dan iktikad yang baik dari elite politik dalam Pemilu 2009 terhadap rakyat Indonesia demi menyejahterakan dan memakmurkan kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

Kedua, dosa-dosa besar elite politik tampak sudah begitu besar terhadap rakyat Indonesia. Hal itu tampak sekali bahwa para wakil rakyat yang tidak pernah bisa mengentaskan kemiskinan dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat Indonesia. Menurut Toshihiko Izutsu dalam karyanya, The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantical Analysis of Iman and Islam" (1994), bahwa dosa besar memang melanda umat Islam yang tak pernah berlaku jujur dan mengemban amanah rakyat, apalagi mengabdikan diri untuk rakyat Indonesia.

Ketiga, kehadiran Tuhan dalam sistem perpolitikan di Indonesia sangat penting sebagai upaya untuk membenahi moralitas elite politik dan sikap politisi yang sangat paradoksal dengan hati nurani rakyat. Misalnya, kasus korupsi yang sering melanda anggota DPR dan DPRD menjadi bukti nyata. Dengan melakukan praktik korupsi, berarti telah menyelewengan jabatan kekuasaan. Fenomena itulah yang sangat kita sayangkan. Sudah seharusnya wakil rakyat memberikan teladan yang baik kepada rakyat Indonesia.

Tak salah kiranya, maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, bahkan penyelewengan kekuasaan, yang dilakukan pejabat negara telah membiaskan makna dan hakikat politik sebagai alat yang luhur sesungguhnya. Bakkan, telah menjadikan politik sebagai sebuah alat kepentingan yang menjadikan manusia sebagai -meminjam bahasa Thomas Hobbes- homo homini lupus, manusia yang jahat dan rakus terhadap harta benda dan kekuasaan.

Keempat, Michael Novak (1969) dalam A Theology for Radical Politics menyatakan secara eksplisit bahwa sudah seharusnya teologi politik dijadikan alat atau petunjuk dalam menyelenggarakan kekuasaan. Karena itu, politik sangat berkaitan dengan teologi sehingga menyangkut visi mendasar tentang kehidupan individu dan masyarakat Indonesia dalam sebuah negara-bangsa (nation-state).

Karena itu, -meminjam analisis Boni Hargens- dalam pesta Pemilu Legislatif 9 April 2009 ini yang diharapkan rakyat adalah pemerintah ''hadir bagi rakyat'' bukan hanya ketika bencana melanda atau ketika pergolakan politik separatisme memanas, melainkan dalam keseluruhan proses berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, implikasinya bahwa rakyat tidak hanya ''dipandang berarti'' ketika suaranya dalam pemilu sangat berharga untuk membeli kursi kekuasaan.

Melainkan juga, rakyat yang selamanya berharga karena kekuasaan merupakan wewenang politik yang didaulatkan oleh rakyat sebagai sarana untuk menciptakan keadilan (justitia) dan kebaikan umum (bonum commune). Karena itu, membumikan teologi politik merupakan langkah yang paling konstruktif dalam membangun peradaban bangsa Indonesia terhadap pesta demokrasi pada Pemilu 2009 agar menghasilkan calon pemimpin yang berkualitas, bertanggung jawab, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa.

*) Alumnus Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta

Menanti Teologi Politik Para Caleg

Dimuat Juga di Radar Timika Papua

OPINI

Oleh : Syahrul Kirom

Mulai zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga pascareformasi, banyak masyarakat Indonesia yang hidup serba kesusahan dan kekurangan dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Apakah elite politik tidak melihat realitas tersebut ? Apakah elite politik dan caleg hanya akan menebar janji dalam Pemilu 2009. Rakyat membutuhkan bukti yang nyata dari elite politik untuk menyejahterakan dan mengentaskan kemiskinan. Jika janji-janji politik tidak ditepati akan menyebabkan peradaban bangsa Indonesia semakin hancur.

Karena itu, menjelang Pemilu Legislatif 9 April 2009, caleg dan elite politik harus mulai membenahi sistem partai politik, etika, dan perilakunya kepada rakyat Indonesia. Jika tidak ada perubahan dalam moral elite politik, rakyat tidak akan memilih untuk Pemilu 2009. Sebab, pemilu yang diadakan lima tahun sekali tidak memberikan efek positif bagi kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia.

Karena itu, kita membutuhkan teologi politik untuk membenahi perilaku moral elite politik, bukan tindakan politik secara ansich, yang mementingkan kepentingan partai politik dan kelompoknya. Tapi, bangsa Indonesia ini membutuhkan calon pemimpin yang mempunyai visi, beragama, dan etika politik yang baik kepada rakyat Indonesia untuk melahirkan suatu pandangan yang jauh lebih baik demi kepentingan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Dengan begitu, untuk membenahi pembusukan para elite politik dan calon legislatif, kita butuh teologi politik. Kehadiran Tuhan harus ada dalam alam pikiran elite politik dan caleg sebagai upaya preventif dalam membangun kesadaran etika politik untuk mencegah terjadinya subversivitas, seperti korupsi, money politics, penyimpangan kekuasaan, pengelembungan suara dalam Pemilihan Legislatif (pileg) 9 April 2009.

Ada beberapa faktor mengapa teologi harus dilibatkan dalam politik. Pertama, kehancuran bangsa Indonesia ini bisa juga disebabkan perilaku elite politik yang tidak memberikan pelayanan kepada rakyat Indonesia. Kita sering melihat perilaku elite politik yang tidak terpuji, misalnya, korupsi uang negara.

Menurut Johann Baptist Metz, teolog Jerman, mengusung gagasan teologi ke dalam politik bertujuan memberikan pendasaran teologis yang kuat terhadap elite politik dan calon legislatif. Hal itu dilakukan sebagai bentuk pendorong inisiatif dan iktikad yang baik dari elite politik dalam Pemilu 2009 terhadap rakyat Indonesia demi menyejahterakan dan memakmurkan kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

Kedua, dosa-dosa besar elite politik tampak sudah begitu besar terhadap rakyat Indonesia. Hal itu tampak sekali bahwa para wakil rakyat yang tidak pernah bisa mengentaskan kemiskinan dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat Indonesia. Menurut Toshihiko Izutsu dalam karyanya, The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantical Analysis of Iman and Islam" (1994), bahwa dosa besar memang melanda umat Islam yang tak pernah berlaku jujur dan mengemban amanah rakyat, apalagi mengabdikan diri untuk rakyat Indonesia.

Ketiga, kehadiran Tuhan dalam sistem perpolitikan di Indonesia sangat penting sebagai upaya untuk membenahi moralitas elite politik dan sikap politisi yang sangat paradoksal dengan hati nurani rakyat. Misalnya, kasus korupsi yang sering melanda anggota DPR dan DPRD menjadi bukti nyata. Dengan melakukan praktik korupsi, berarti telah menyelewengan jabatan kekuasaan. Fenomena itulah yang sangat kita sayangkan. Sudah seharusnya wakil rakyat memberikan teladan yang baik kepada rakyat Indonesia.

Tak salah kiranya, maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, bahkan penyelewengan kekuasaan, yang dilakukan pejabat negara telah membiaskan makna dan hakikat politik sebagai alat yang luhur sesungguhnya. Bakkan, telah menjadikan politik sebagai sebuah alat kepentingan yang menjadikan manusia sebagai -meminjam bahasa Thomas Hobbes- homo homini lupus, manusia yang jahat dan rakus terhadap harta benda dan kekuasaan.

Keempat, Michael Novak (1969) dalam A Theology for Radical Politics menyatakan secara eksplisit bahwa sudah seharusnya teologi politik dijadikan alat atau petunjuk dalam menyelenggarakan kekuasaan. Karena itu, politik sangat berkaitan dengan teologi sehingga menyangkut visi mendasar tentang kehidupan individu dan masyarakat Indonesia dalam sebuah negara-bangsa (nation-state).

Karena itu, -meminjam analisis Boni Hargens- dalam pesta Pemilu Legislatif 9 April 2009 ini yang diharapkan rakyat adalah pemerintah ''hadir bagi rakyat'' bukan hanya ketika bencana melanda atau ketika pergolakan politik separatisme memanas, melainkan dalam keseluruhan proses berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, implikasinya bahwa rakyat tidak hanya ''dipandang berarti'' ketika suaranya dalam pemilu sangat berharga untuk membeli kursi kekuasaan.

Melainkan juga, rakyat yang selamanya berharga karena kekuasaan merupakan wewenang politik yang didaulatkan oleh rakyat sebagai sarana untuk menciptakan keadilan (justitia) dan kebaikan umum (bonum commune). Karena itu, membumikan teologi politik merupakan langkah yang paling konstruktif dalam membangun peradaban bangsa Indonesia terhadap pesta demokrasi pada Pemilu 2009 agar menghasilkan calon pemimpin yang berkualitas, bertanggung jawab, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa.

*) Alumnus Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta

Menanti Teologi Politik Para Caleg

Dimuat di Radar Cirebon

Selasa, 24 Maret 2009

Oleh : Syahrul Kirom

Mulai zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga pascareformasi, banyak masyarakat Indonesia yang hidup serba kesusahan dan kekurangan dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Apakah elite politik tidak melihat realitas tersebut ? Apakah elite politik dan caleg hanya akan menebar janji dalam Pemilu 2009. Rakyat membutuhkan bukti yang nyata dari elite politik untuk menyejahterakan dan mengentaskan kemiskinan. Jika janji-janji politik tidak ditepati akan menyebabkan peradaban bangsa Indonesia semakin hancur.

Karena itu, menjelang Pemilu Legislatif 9 April 2009, caleg dan elite politik harus mulai membenahi sistem partai politik, etika, dan perilakunya kepada rakyat Indonesia. Jika tidak ada perubahan dalam moral elite politik, rakyat tidak akan memilih untuk Pemilu 2009. Sebab, pemilu yang diadakan lima tahun sekali tidak memberikan efek positif bagi kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia.

Karena itu, kita membutuhkan teologi politik untuk membenahi perilaku moral elite politik, bukan tindakan politik secara ansich, yang mementingkan kepentingan partai politik dan kelompoknya. Tapi, bangsa Indonesia ini membutuhkan calon pemimpin yang mempunyai visi, beragama, dan etika politik yang baik kepada rakyat Indonesia untuk melahirkan suatu pandangan yang jauh lebih baik demi kepentingan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Dengan begitu, untuk membenahi pembusukan para elite politik dan calon legislatif, kita butuh teologi politik. Kehadiran Tuhan harus ada dalam alam pikiran elite politik dan caleg sebagai upaya preventif dalam membangun kesadaran etika politik untuk mencegah terjadinya subversivitas, seperti korupsi, money politics, penyimpangan kekuasaan, pengelembungan suara dalam Pemilihan Legislatif (pileg) 9 April 2009.

Ada beberapa faktor mengapa teologi harus dilibatkan dalam politik. Pertama, kehancuran bangsa Indonesia ini bisa juga disebabkan perilaku elite politik yang tidak memberikan pelayanan kepada rakyat Indonesia. Kita sering melihat perilaku elite politik yang tidak terpuji, misalnya, korupsi uang negara.

Menurut Johann Baptist Metz, teolog Jerman, mengusung gagasan teologi ke dalam politik bertujuan memberikan pendasaran teologis yang kuat terhadap elite politik dan calon legislatif. Hal itu dilakukan sebagai bentuk pendorong inisiatif dan iktikad yang baik dari elite politik dalam Pemilu 2009 terhadap rakyat Indonesia demi menyejahterakan dan memakmurkan kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

Kedua, dosa-dosa besar elite politik tampak sudah begitu besar terhadap rakyat Indonesia. Hal itu tampak sekali bahwa para wakil rakyat yang tidak pernah bisa mengentaskan kemiskinan dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat Indonesia. Menurut Toshihiko Izutsu dalam karyanya, The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantical Analysis of Iman and Islam" (1994), bahwa dosa besar memang melanda umat Islam yang tak pernah berlaku jujur dan mengemban amanah rakyat, apalagi mengabdikan diri untuk rakyat Indonesia.

Ketiga, kehadiran Tuhan dalam sistem perpolitikan di Indonesia sangat penting sebagai upaya untuk membenahi moralitas elite politik dan sikap politisi yang sangat paradoksal dengan hati nurani rakyat. Misalnya, kasus korupsi yang sering melanda anggota DPR dan DPRD menjadi bukti nyata. Dengan melakukan praktik korupsi, berarti telah menyelewengan jabatan kekuasaan. Fenomena itulah yang sangat kita sayangkan. Sudah seharusnya wakil rakyat memberikan teladan yang baik kepada rakyat Indonesia.

Tak salah kiranya, maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, bahkan penyelewengan kekuasaan, yang dilakukan pejabat negara telah membiaskan makna dan hakikat politik sebagai alat yang luhur sesungguhnya. Bakkan, telah menjadikan politik sebagai sebuah alat kepentingan yang menjadikan manusia sebagai -meminjam bahasa Thomas Hobbes- homo homini lupus, manusia yang jahat dan rakus terhadap harta benda dan kekuasaan.

Keempat, Michael Novak (1969) dalam A Theology for Radical Politics menyatakan secara eksplisit bahwa sudah seharusnya teologi politik dijadikan alat atau petunjuk dalam menyelenggarakan kekuasaan. Karena itu, politik sangat berkaitan dengan teologi sehingga menyangkut visi mendasar tentang kehidupan individu dan masyarakat Indonesia dalam sebuah negara-bangsa (nation-state).

Karena itu, -meminjam analisis Boni Hargens- dalam pesta Pemilu Legislatif 9 April 2009 ini yang diharapkan rakyat adalah pemerintah ''hadir bagi rakyat'' bukan hanya ketika bencana melanda atau ketika pergolakan politik separatisme memanas, melainkan dalam keseluruhan proses berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, implikasinya bahwa rakyat tidak hanya ''dipandang berarti'' ketika suaranya dalam pemilu sangat berharga untuk membeli kursi kekuasaan.

Melainkan juga, rakyat yang selamanya berharga karena kekuasaan merupakan wewenang politik yang didaulatkan oleh rakyat sebagai sarana untuk menciptakan keadilan (justitia) dan kebaikan umum (bonum commune). Karena itu, membumikan teologi politik merupakan langkah yang paling konstruktif dalam membangun peradaban bangsa Indonesia terhadap pesta demokrasi pada Pemilu 2009 agar menghasilkan calon pemimpin yang berkualitas, bertanggung jawab, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa.

*) Alumnus Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta

Menanti Teologi Politik Para Caleg

Dimuat di Rakyat Aceh

Selasa, 24 Maret 2009

OPINI

Oleh: Syahrul Kirom *

Mulai zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga pascareformasi, banyak masyarakat Indonesia yang hidup serba kesusahan dan kekurangan dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Apakah elite politik tidak melihat realitas tersebut ? Apakah elite politik dan caleg hanya akan menebar janji dalam Pemilu 2009. Rakyat membutuhkan bukti yang nyata dari elite politik untuk menyejahterakan dan mengentaskan kemiskinan. Jika janji-janji politik tidak ditepati akan menyebabkan peradaban bangsa Indonesia semakin hancur.

Karena itu, menjelang Pemilu Legislatif 9 April 2009, caleg dan elite politik harus mulai membenahi sistem partai politik, etika, dan perilakunya kepada rakyat Indonesia. Jika tidak ada perubahan dalam moral elite politik, rakyat tidak akan memilih untuk Pemilu 2009. Sebab, pemilu yang diadakan lima tahun sekali tidak memberikan efek positif bagi kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia.

Karena itu, kita membutuhkan teologi politik untuk membenahi perilaku moral elite politik, bukan tindakan politik secara ansich, yang mementingkan kepentingan partai politik dan kelompoknya. Tapi, bangsa Indonesia ini membutuhkan calon pemimpin yang mempunyai visi, beragama, dan etika politik yang baik kepada rakyat Indonesia untuk melahirkan suatu pandangan yang jauh lebih baik demi kepentingan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Dengan begitu, untuk membenahi pembusukan para elite politik dan calon legislatif, kita butuh teologi politik. Kehadiran Tuhan harus ada dalam alam pikiran elite politik dan caleg sebagai upaya preventif dalam membangun kesadaran etika politik untuk mencegah terjadinya subversivitas, seperti korupsi, money politics, penyimpangan kekuasaan, pengelembungan suara dalam Pemilihan Legislatif (pileg) 9 April 2009.

Ada beberapa faktor mengapa teologi harus dilibatkan dalam politik. Pertama, kehancuran bangsa Indonesia ini bisa juga disebabkan perilaku elite politik yang tidak memberikan pelayanan kepada rakyat Indonesia. Kita sering melihat perilaku elite politik yang tidak terpuji, misalnya, korupsi uang negara.

Menurut Johann Baptist Metz, teolog Jerman, mengusung gagasan teologi ke dalam politik bertujuan memberikan pendasaran teologis yang kuat terhadap elite politik dan calon legislatif. Hal itu dilakukan sebagai bentuk pendorong inisiatif dan iktikad yang baik dari elite politik dalam Pemilu 2009 terhadap rakyat Indonesia demi menyejahterakan dan memakmurkan kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

Kedua, dosa-dosa besar elite politik tampak sudah begitu besar terhadap rakyat Indonesia. Hal itu tampak sekali bahwa para wakil rakyat yang tidak pernah bisa mengentaskan kemiskinan dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat Indonesia. Menurut Toshihiko Izutsu dalam karyanya, The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantical Analysis of Iman and Islam" (1994), bahwa dosa besar memang melanda umat Islam yang tak pernah berlaku jujur dan mengemban amanah rakyat, apalagi mengabdikan diri untuk rakyat Indonesia.

Ketiga, kehadiran Tuhan dalam sistem perpolitikan di Indonesia sangat penting sebagai upaya untuk membenahi moralitas elite politik dan sikap politisi yang sangat paradoksal dengan hati nurani rakyat. Misalnya, kasus korupsi yang sering melanda anggota DPR dan DPRD menjadi bukti nyata. Dengan melakukan praktik korupsi, berarti telah menyelewengan jabatan kekuasaan. Fenomena itulah yang sangat kita sayangkan. Sudah seharusnya wakil rakyat memberikan teladan yang baik kepada rakyat Indonesia.

Tak salah kiranya, maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, bahkan penyelewengan kekuasaan, yang dilakukan pejabat negara telah membiaskan makna dan hakikat politik sebagai alat yang luhur sesungguhnya. Bakkan, telah menjadikan politik sebagai sebuah alat kepentingan yang menjadikan manusia sebagai -meminjam bahasa Thomas Hobbes- homo homini lupus, manusia yang jahat dan rakus terhadap harta benda dan kekuasaan.

Keempat, Michael Novak (1969) dalam A Theology for Radical Politics menyatakan secara eksplisit bahwa sudah seharusnya teologi politik dijadikan alat atau petunjuk dalam menyelenggarakan kekuasaan. Karena itu, politik sangat berkaitan dengan teologi sehingga menyangkut visi mendasar tentang kehidupan individu dan masyarakat Indonesia dalam sebuah negara-bangsa (nation-state).

Karena itu, -meminjam analisis Boni Hargens- dalam pesta Pemilu Legislatif 9 April 2009 ini yang diharapkan rakyat adalah pemerintah ''hadir bagi rakyat'' bukan hanya ketika bencana melanda atau ketika pergolakan politik separatisme memanas, melainkan dalam keseluruhan proses berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, implikasinya bahwa rakyat tidak hanya ''dipandang berarti'' ketika suaranya dalam pemilu sangat berharga untuk membeli kursi kekuasaan.

Melainkan juga, rakyat yang selamanya berharga karena kekuasaan merupakan wewenang politik yang didaulatkan oleh rakyat sebagai sarana untuk menciptakan keadilan (justitia) dan kebaikan umum (bonum commune). Karena itu, membumikan teologi politik merupakan langkah yang paling konstruktif dalam membangun peradaban bangsa Indonesia terhadap pesta demokrasi pada Pemilu 2009 agar menghasilkan calon pemimpin yang berkualitas, bertanggung jawab, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa.

*) Alumnus Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta

30 Maret 2009

Mewaspadai Konflik dalam Pemilu Legislatif 2009

It Was Published in Bali Post Newspaper
Senin, 30 Maret 2009

Opini


Oleh Syahrul Kirom

Pemilu legislatif tanggal 9 April 2009 akan segera dilaksanakan. Suhu perpolitikan pun kian memanas di antara para calon legislatif. Lobi-lobi politik pun cukup intens dilakukan oleh mereka yang akan mencalonkan menjadi anggota legislatif dalam Pemilu 2009. Akan tetapi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Bali juga harus bekerja ekstra keras untuk bisa mewaspadai sejak dini jika nantinya dalam pemilu legislatif terjadi konflik. Hal ini juga perlu menjadi agenda utama KPU, KPUD Bali, dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).

Kita tidak bisa menafikan bahwa di setiap perhelatan demokrasi pemilihan gubernur di beberapa daerah di Indonesia masih seringkali terdapat noda-noda hitam, di mana demokrasi seringkali dibalut dengan kekerasan untuk mencapai kemenangan. Misalnya masih hangat dalam pikiran kita kasus kekerasan dalam pilgub di Maluku Utara beberapa waktu lalu.

Maka benar, apa yang dikatakan Aristoteles bahwa politik adalah seni bagaimana seseorang memperoleh kekuasaan dengan cara represif, anarkis, dan pemaksaan. Berdasarkan dari asumsi tersebut politik dengan menggunakan tindakan pemaksaan, politik uang itulah yang mencipta kesadaran publik untuk menyulut aksi kekerasan. Berdasarkan data dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Indonesia sepanjang tahun 2005-2008 telah berlangsung 323 kali. Sejarah mencatat pilkada bermasalah terjadi di 98 daerah (30%) dan yang disertai kekerasan dan kerusuhan berlangsung di 21 daerah.

Konflik itu muncul apabila terdapat perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan di antara sejumlah individu, kelompok atau organisasi dalam upaya mendapatkan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat untuk memperebutkan kekuasaan. Konflik kekerasan merupakan fenomena yang selalu hadir (inherent omni-presence) dalam setiap pandangan dan kepentingan di antara kelompok-kelompok masyarakat dalam partai politik yang telah menjadi hal sangat alamiah dan sulit sekali untuk dihindarkan. Akan tetapi, hal itu akan menjadi persoalan besar tatkala cara untuk mengekspresikan perbedaan kepentingan diwujudkan dalam ekspresi yang tidak demokratis.

Kekerasan atau apa pun namanya tidak akan bernilai positif. Bahkan sebaliknya, kekerasan hanya akan menarik dan memunculkan persoalan baru atau kekerasan lebih besar. Kekerasan hanya mewariskan penderitaan dan kesengsaraan bagi korbannya. Peradaban bangsa Indonesia ini akan semakin terpuruk jika budaya kekerasan terus disemaikan.

Benturan kepentingan dan perbedaan ideologi, baik yang bersifat horizontal antara kelompok partai yang satu dengan partai lainnya dari para pendukung calon legislatif, serta masyarakat dengan panitia KPU pun bisa menyebabkan konflik, apabila pada tingkat KPUD Bali tidak bersifat netral terutama saat penghitungan suara. Karena bagaimana pun, dalam kondisi tersebut banyak terjadi kecurangan politik. Hal ini sudah seharusnya bisa direduksi oleh setiap Panitia Pengawas Pemilu 2009.

Menurut Ramlan Surbakti, ada beberapa faktor cara yang harus dilakukan oleh KPU Pusat, Panwaslu dan KPUD Bali jika nantinya terjadi konflik dalam pemilu legislatif 2009. Pertama, KPU Pusat, Panwaslu dan KPUD Bali harus melakukan pengaturan konflik melalui model parlemen atau kuasi parlemen di mana
semua pihak berdiskusi secara terbuka untuk mencari kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan atau memaksakan kehendak untuk menang sendiri.

Kedua, perlu adanya mediasi, yaitu kedua pihak sepakat mencari nasihat yaitu dari tokoh publik, KPU, Panwaslu dan KPUD Bali. Akan tetapi, nasihat dari mediator tidak mengikat mereka. Hal ini merupakan langkah konstruktif dalam membangun pemahaman di antara kedua belah pihak yang bertikai sehingga bisa dicapai suatu kesepakatan untuk merajut perdamaian.

Ketiga, menggunakan cara arbitrasi, yaitu kedua pihak sepakat untuk mendapatkan keputusan akhir yang bersifat legal kepada pihak ketiga (arbitrator) misalnya pengadilan. Pada tahap terakhir ini perlu dilakukan bila kesepakatan secara damai tidak bisa dicapai. Sehingga perlu dilakukan di pengadilan dan Mahkamah Agung membuat keputusan akhir yang bisa diterima oleh semua pihak yang bertikai.

Cegah sejak Dini

Lebih dari itu, ada sebuah pertanyaan secara filosofis diajukan adalah, bagaimana caranya meredam dan mengelola konflik jika nanti terjadi dalam pemilu legislatif 2009. Pertama, perlu dilakukan koalisi pusat dan daerah yang stabil di antara partai-partai politik.

Kedua, diterapkan prinsip proporsionalitas yaitu posisi-posisi pemerintahan daerah yang penting didistribusikan kepada partai-partai politik sesuai dengan proporsi jumlahnya dari keseluruhan penduduk.

Ketiga, diterapkan sistem saling veto yaitu suatu keputusan politik tidak akan diputuskan tanpa disetujui oleh semua partai politik yang berkonflik.

Kekerasan sebagai letupan kristalisasi atas ketidakpuasan massa terhadap perbedaan politik haruslah bisa diredam dan disikapi dengan kepala dingin serta mengedepankan nalar yang kritis secara arif dan bijaksana dalam memandang sebuah persoalan politik. Bukan lantas mengusung egoisme serta anarkisme secara brutal dalam menyelesaikan masalah sosial-politik.

Karena itu, peran pemerintah daerah secara konsisten dan kooperatif dalam meredam konflik jika nanti terjadi dalam pemilu legislatif 2009 ini sangat diperlukan terutama dalam menciptakan persatuan dan kesatuan. Sebab, KPU, Panwaslu dan KPUD Bali mempunyai kewajiban dan tanggung jawab secara sosial maupun politik dalam menjaga kestabilan demokrasi serta dalam menyukseskan pemilu legislatif 9 April 2009 secara damai dan adil. Salah satunya, dengan memberikan perlindungan keamanan, kedamaiaan dan ketenteraman kepada seluruh masyarakat Indonesia.

Penulis, peneliti pada Social and Philosophical Studies Yogyakarta

Tragedi Situ Gintung dan Etika Lingkungan

It Was Published in Pikiran Rakyat Newspaper

Senin, 30 Maret 2009

Wacana

Oleh : Syahrul Kirom*

Mendekati pemilu legislatif 9 April 2009, Indonesia ditimpa musibah bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi akibat jebolnya tanggul Situ Gintung, di Kelurahan Cireundeu, Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Hampir sekitar 53 orang (data terbaru mendekati seratus korban) lebih dan diperkirakan meninggal akibat banjir dan tanah longsor tersebut. Kejadian bencana tersebut harus dijadikan pelajaran secara bersama oleh pemerintah dan masyarakat untuk mempedulikan lingkungan hidup kita.

Pada tahun 2009 ini bencana banjir dan tanah longsor yang menimpa sejumlah beberapa daerah di Tanah Air sudah seringkali terjadi termasuk di Situ Gintung, Ciputat, Tangerang. Akan tetapi, fenomena itu tidak pernah memberikan kesadaran penuh kepada insan manusia yang berkesadaran untuk berefleksi secara kritis-filosofis, kenapa bencana itu terus terjadi di Indonesia? Salah siapakah ini?
Hutan dan alam merupakan sumber kehidupan ini telah banyak dieksploitasi oleh manusia-manusia yang tak bertanggung jawab (unresponsibility) dan hanya ingin memenuhi hawa nafsu demi memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyak bagi individu. Yaitu dengan cara melakukan penjarahan hutan dan penebangan secara liar (illegal logging).

Karena itu, pemerintah dan masyarakat setempat harus melakukan langkah-langkah konstruktif dalam upaya menanggulangi kerusakan hutan dan lingkungan di antaranya mengkampanyekan reboisasi di daerah yang gundul dan gersang sebagai salah satu tindakan paling efektif. Maka dari itu, perlu digalakkan gerakan penghijauaan di sekitar rumah kita dan sudut-sudut perkotaan sebagai bentuk untuk melestarikan lingkugan dan menyediakan ruang resepan air agar tidak terjadi banjir yang meluas ke daerah rumah pemukiman masyarakat.

Karena itu, tak salah kiranya jika hampir setiap hari terdengar laporan pengurangan lahan hutan karena penggundulan. Setiap tahun kita juga mendengar laporan menipisnya lapisan ozon di atmosfir bumi. Peristiwa kerusakan lingkungan ini jelas juga menyebabkan terjadi bencana banjir, tanah longsor.

Henry Skolomowski, seorang filsuf, filsafat lingkungan menyebutnya sebagai permasalah lingkungan. Itu semua mengacu pada adanya sebuah akibat dari interaksi antara manusia dan lingkungan alam sekitarnya. Dalam skala yang lebih besar bisa disebut sebagai masalah ekologis.

Persoalan ekologis muncul konsekuwensi logis dari hubungan manusia dan alam sekitarnya termasuk dengan hutan. Permasalah kerusakan lingkungan hidup merupakan masalah yang sangat serius, karena pengaruhnya sangat besar. Krisis ekologi dan krisis bumi yang seolah tak berujung. Hal ini merupakan implikasi dari perbuatan dan tindakan manusia yang melakukan pejarahan hasil bumi dan menimbulkan kehancuran lingkungan dan alam sekitarnya. Di sisi lain, kejahatan terhadap lingkungan dan hutan ini ternyata juga dilakukan karena ada muatan kepentingan ekonomi dan kecanggihan alat teknologi.

Selain itu, juga akibat pola perilaku manusia yang eskploitatif, destruktif dan tidak peduli terhadap alam tersebut berakar kuat pada cara pandang yang hanya mementingkan manusia. Pandangan ini jelas akan melahirkan sikap dan perilaku rakus dan tamak yang menyebabkan manusia mengambil semua kebutuhannya. dari alam tanpa mempertimbangkan keseimbangan dan kelestarian.

Kenyataan itu semakin menegaskan bahwa manusia telah kehilangan nilai-nilai moralitas untuk memelihara lingkungan hidup sekitarnya. Karena itu, manusia harus mampu mengatur hubungannya dengan hutan dan alam sekitarnya. Manusia harus memandang bahwa alam dan lingkungan sekitarnya merupakan kesatuan utuh yang saling melengkapi. Akan tetapi, sebaliknya alam dan lingkugan hidup justru tambah disakiti oleh manusia sendiri yang tak bermoral. Tak salah kirannya, jika alam itu mengamuk dan memorak-porandakan segala harta dan menghilangkan nyawa manusia.

Oleh karena itu, cara pandang manusia terhadap keberadaan alam dan lingkungan hidup sekitarnya inilah yang perlu diubah agar sikap dan perilaku manusia lebih sedikit arif dan bijaksana dalam memaknai eksistensi hutan Karena itu, manusia harus mengembangkan konsepsi tentang alam yang mengagungkan dan menghormati lingkungan hidup serta menganggap lingkungan hidup sebagai sesuatu yang sakral dan hidup. Dengan begitu, akan melahirkan sikap yang menghormati dan peduli terhadap lingkungan dan alam sekitarnya.

Persoalannya secara filosofis adalah bagaimana kita bersikap terhadap lingkungan hidup kita, apa yang sebaiknya kita lakukan dan kita tinggalkan, apa yang seharusnya dan apa yang tidak harus kita lakukan terhadap tumbuhan, hewan, tanah, hutan, air dan seterusnya.

Menurut A. Sonny Keraf dalam karyanya “Etika Lingkungan“ (2002) untuk melestarikan kerusakan lingkungan ada beberapa prinsip yang harus dipegang oleh umat manusia. Pertama, manusia harus bersikap hormat terhadap lingkungan dan alam sekitarnya (respect for nature). Kedua, manusia harus mempunyai prinsip bertanggung jawab, yakni tanggung jawab terhadap lingkungan merupakan tanggung jawab manusia juga (moral responsibility for nature). Ketiga, manusia harus memiliki solidaritas kosmis (cosmic solidarity). Keempat, manusia harus mengimplementasikan prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap lingkungan dan alam sekitarnya (caring for nature). Kelima, manusia harus memiliki prinsip no harm (tidak merugikan lingkungan hidup). Keenam, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan eksistensi lingkungan. Ketujuh, prinsip keadilan. Yakni adil tentang perilaku manusia terhadap alam dan lingkungan hidup Kedelapan, prinsip demokrasi. Kesembilan, prinsip integritas moral.

Dengan demikian, kita harus menyadari bahwa keberadaan lingkungan dan alam semesta sama dengan posisi manusia yang juga perlu dirawat dan dipelihara dengan baik. Sehingga dengan adanya bencana banjir, angin puting beliung, dan tanah longsor, dengan mengedepankan nilai-nilai moralitas terhadap eksistensi lingkungan hidup. Karena itu, kita harus bisa tergugah untuk kembali merekonstruksi dan melestarikan kondisi lingkungan hidup kita yang semakin hari mengalami kehancuran. Semoga ***


Penulis adalah Peneliti Sosial, Alumnus Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

23 Maret 2009

Menanti Teologi Politik Para Caleg

It Was Published in Jawa Post Newspaper
Senin, 23 Maret 2009

Oleh: Syahrul Kirom *

Mulai zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga pascareformasi, banyak masyarakat Indonesia yang hidup serba kesusahan dan kekurangan dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Apakah elite politik tidak melihat realitas tersebut ? Apakah elite politik dan caleg hanya akan menebar janji dalam Pemilu 2009. Rakyat membutuhkan bukti yang nyata dari elite politik untuk menyejahterakan dan mengentaskan kemiskinan. Jika janji-janji politik tidak ditepati akan menyebabkan peradaban bangsa Indonesia semakin hancur.

Karena itu, menjelang Pemilu Legislatif 9 April 2009, caleg dan elite politik harus mulai membenahi sistem partai politik, etika, dan perilakunya kepada rakyat Indonesia. Jika tidak ada perubahan dalam moral elite politik, rakyat tidak akan memilih untuk Pemilu 2009. Sebab, pemilu yang diadakan lima tahun sekali tidak memberikan efek positif bagi kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia.

Karena itu, kita membutuhkan teologi politik untuk membenahi perilaku moral elite politik, bukan tindakan politik secara ansich, yang mementingkan kepentingan partai politik dan kelompoknya. Tapi, bangsa Indonesia ini membutuhkan calon pemimpin yang mempunyai visi, beragama, dan etika politik yang baik kepada rakyat Indonesia untuk melahirkan suatu pandangan yang jauh lebih baik demi kepentingan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Dengan begitu, untuk membenahi pembusukan para elite politik dan calon legislatif, kita butuh teologi politik. Kehadiran Tuhan harus ada dalam alam pikiran elite politik dan caleg sebagai upaya preventif dalam membangun kesadaran etika politik untuk mencegah terjadinya subversivitas, seperti korupsi, money politics, penyimpangan kekuasaan, pengelembungan suara dalam Pemilihan Legislatif (pileg) 9 April 2009.

Ada beberapa faktor mengapa teologi harus dilibatkan dalam politik. Pertama, kehancuran bangsa Indonesia ini bisa juga disebabkan perilaku elite politik yang tidak memberikan pelayanan kepada rakyat Indonesia. Kita sering melihat perilaku elite politik yang tidak terpuji, misalnya, korupsi uang negara.

Menurut Johann Baptist Metz, teolog Jerman, mengusung gagasan teologi ke dalam politik bertujuan memberikan pendasaran teologis yang kuat terhadap elite politik dan calon legislatif. Hal itu dilakukan sebagai bentuk pendorong inisiatif dan iktikad yang baik dari elite politik dalam Pemilu 2009 terhadap rakyat Indonesia demi menyejahterakan dan memakmurkan kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

Kedua, dosa-dosa besar elite politik tampak sudah begitu besar terhadap rakyat Indonesia. Hal itu tampak sekali bahwa para wakil rakyat yang tidak pernah bisa mengentaskan kemiskinan dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat Indonesia. Menurut Toshihiko Izutsu dalam karyanya, The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantical Analysis of Iman and Islam" (1994), bahwa dosa besar memang melanda umat Islam yang tak pernah berlaku jujur dan mengemban amanah rakyat, apalagi mengabdikan diri untuk rakyat Indonesia.

Ketiga, kehadiran Tuhan dalam sistem perpolitikan di Indonesia sangat penting sebagai upaya untuk membenahi moralitas elite politik dan sikap politisi yang sangat paradoksal dengan hati nurani rakyat. Misalnya, kasus korupsi yang sering melanda anggota DPR dan DPRD menjadi bukti nyata. Dengan melakukan praktik korupsi, berarti telah menyelewengan jabatan kekuasaan. Fenomena itulah yang sangat kita sayangkan. Sudah seharusnya wakil rakyat memberikan teladan yang baik kepada rakyat Indonesia.

Tak salah kiranya, maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, bahkan penyelewengan kekuasaan, yang dilakukan pejabat negara telah membiaskan makna dan hakikat politik sebagai alat yang luhur sesungguhnya. Bakkan, telah menjadikan politik sebagai sebuah alat kepentingan yang menjadikan manusia sebagai -meminjam bahasa Thomas Hobbes- homo homini lupus, manusia yang jahat dan rakus terhadap harta benda dan kekuasaan.

Keempat, Michael Novak (1969) dalam A Theology for Radical Politics menyatakan secara eksplisit bahwa sudah seharusnya teologi politik dijadikan alat atau petunjuk dalam menyelenggarakan kekuasaan. Karena itu, politik sangat berkaitan dengan teologi sehingga menyangkut visi mendasar tentang kehidupan individu dan masyarakat Indonesia dalam sebuah negara-bangsa (nation-state).

Karena itu, -meminjam analisis Boni Hargens- dalam pesta Pemilu Legislatif 9 April 2009 ini yang diharapkan rakyat adalah pemerintah ''hadir bagi rakyat'' bukan hanya ketika bencana melanda atau ketika pergolakan politik separatisme memanas, melainkan dalam keseluruhan proses berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, implikasinya bahwa rakyat tidak hanya ''dipandang berarti'' ketika suaranya dalam pemilu sangat berharga untuk membeli kursi kekuasaan.

Melainkan juga, rakyat yang selamanya berharga karena kekuasaan merupakan wewenang politik yang didaulatkan oleh rakyat sebagai sarana untuk menciptakan keadilan (justitia) dan kebaikan umum (bonum commune). Karena itu, membumikan teologi politik merupakan langkah yang paling konstruktif dalam membangun peradaban bangsa Indonesia terhadap pesta demokrasi pada Pemilu 2009 agar menghasilkan calon pemimpin yang berkualitas, bertanggung jawab, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa.

Alumnus Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta