22 November 2009

Menguak Nilai-Nilai Filosofis Wayang

It Was Pubslished In Sinar Harapan Neswpaper

Resensi Buku, 21 November 2009

Oleh :Syahrul Kirom

Peresensi : Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Filsafat,Fakultas Filsafat,Universita Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan Bergiat, di Institute for Research and Development of Philosophy (IRDP) Yogyakarta

Negara Indonesia terkenal dengan memiliki banyak budaya (multicultur). Salah satu budaya yang terkenal di Indonesia, yakni budaya jawa dengan adanya pertunjukan wayang. Wayang merupakan salah satu simbol budaya Jawa. Wayang adalah seni yang dimiliki orang Jawa. Dengan wayang, manusia akan mengenal sejarah orang Jawa.

Melalui buku dengan judul “Filsafat Wayang” (2009) yang ditulis Slamet Sutrisno, dkk ini pada dasarnya ingin mengungkap nilai nilai filosofis pewayangan yang ada di dalam budaya Jawa (cultur of Java). Selain itu, filsafat wayang itu juga dikaji secara metafisika, epistemologis maupun aksiologi sehingga diperoleh pengetahuan dan makna baru serta nilai-nilai filosofis di dalam filsafat wayang.

Wayang merupakan hasil kreasi, cipta, rasa, dan karsa manusia Indonesia karena proses daya spiritual. Wayang sendiri memiliki kekuatan spiritual bagi orang Jawa, yang sesungguhnya perlu dilihat dan dikaji oleh masyarakat Indonesia. Padahal, selama ini pertunjukkan wayang bukan untuk kepentingan biologis, akan tetapi lebih pada aspek kepuasan batiniah dan membangun kekuatan spiritual (hlm:1).

Wayang dalam mengambarkan realitasnya itu menggunakan logika dongeng. Wayang merupakan cerminan kehidupan manusia secara konkret. Karena itu, filsafat wayang berakar pada realitas nilai-nilai kehidupan masyarakat Jawa. Dalam wayang biasanya terdiri dari dalang, niyaga dan pesinden dan peralatan wayang adalah wayang kulit, gamelan, panggung, dengan seluruh perangka masing-masing.

Sementara itu, pada umumnya cerita-cerita pewayangan dalam pementasan di Indonesia, biasanya diambilkan dari karya-karya sastra seperti serat mintaraga, serat dewaruci, serat parta krama, serat bratayudha, serat rama. Wayang sebagai mediator ini digunakan untuk merekontruksi kembali sejarah dalam cerita serat serat Jawa tersebut. Sedangkan, lakon-lakon yang dimainkan dalam pementasan wayang itu dibagi menjadi empat kategori, yakni Pertama, lakon baku atau lakon pokok. Kedua, lakon carangan. Ketiga, lakon karangan. Keempat, lakon sempalan.

Secara epistemologis, wayang sebenarnya telah menjadi sumber pengetahuan bagi orang-orang Jawa, dengan adanya pertunjukkan wayang. Kita bisa menyerap, memaknai dan menghayati sebuah cerita yang dimainkan oleh Dalang. Wayang itu sendiri merupakan simbol yang telah memberikan pengetahuan dan wawasan kepada orang-orang Jawa.

Pengetahuan pagelaran wayang itu bisa diperoleh melalui mitos dan gnosis. Wayang sejatinya memiliki pengetahuan suci, wayang mengajarkan “ngelmu” yang amat dekat dengan modalitas kepengetahuannya dengan apa yang disebut Gnostik-secara etimologis ini berasal dari Gigonisko yang artinya menyelami, mendalami pengetahuan batin (hlm: 86).

Secara keseluruhan wayang adalah sebuah dunia, dalam artian, Heideggerian, sebagai sistem fungsi dan makna yang mengorganisir aktivitas dan identitas. Wayang sebagai gestalt ini bukan hanya totatalitas teoritis melainkan totalitas maknawi, bereksistensi sebagai sebuah dunia tempat masing-masing penyangganya memperoleh kebermaknaan melalui jejaring aktivitas dan tujuan hidup manusia. Berdasarkan asumsi tersebut, pengetahuan teoritis menangkap fakta-fakta tersebut.

Sementara itu, secara metafisika, wayang itu tak lain dan tidak bukan merupakan simbol dari hidup dan kehidupan itu sendiri. Wayang bahkan dapat dikatakan sebagai ensiklopedi tentang hidup, yang diungkapkan secara ontologis-metafisik. Wayang juga melambangkan keberadaan manusia , yang dalam pertunjukkan dimulai dari “pendapa suwung” atau kosong dan diakhiri atau kembali menjadi “pendapa suwung”. (hlm: 119).

Di sisi lain, secara aksiologis, pagelaran wayang sendiri juga mempunyai nilai-nilai yang bermanfaat bagi orang-orang Jawa dan mereka yang menonton wayang. Pada dasarnya, wayang itu menyerap ajaran-ajaran dan nilai-nilai tentang penghormatan terhadap alam dan keinginan-keinginan manusia untuk berhubungan dengan kekuatan-kekuatan adikodrati. Itulah nilai-nilai yang sesungguhnya terkandung di dalam wayang.

Kehadiran buku “Filsafat Wayang” ini sangat signifikant sekali bagi para peneliti, budayawan dan bahkan masyarakat Indonesia. Dengan adanya buku tersebut kita dapat mengetahui dan memahami secara utuh tentang makna wayang sebagai simbol budaya Jawa. Melainkan juga, keberadaan buku filsafat wayang bisa semakin memperteguh identitas Budaya Jawa yang terkenal dengan Wayang. Sehingga kita sebagai orang Jawa harus senantiasa selalu melestarikan nilai –nilai budaya daerah (local indigenios) seperti wayang. Dengan begitu, wayang sebagai salah satu identitas budaya Jawa harus selalu dijaga serta dilestarikan. Sehingga wayang sebagai kebudayaan orang Jawa, tidak bisa diambil atau bahkan diakui Identitas wayangnya oleh negara lain. Semoga.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

mas, jual buku tersebut?

yudi shinodha mengatakan...

kalau bisa dibedah secara mendalam dan coba kita implementasikan ke generasi muda saat ini agar dapat mengenal dan memahami wayang. karena saya pikir generasi muda saat ini kurang begitu menyukai wayang karena mungkin dipandang premitif atau kuno

Posting Komentar