31 Oktober 2009

Mengembalikan Khittah Pemuda Indonesia

It Was Published in Wawasan Sore Newspaper

29 Oktober 2009

OPINI

Oleh : Syahrul Kirom*

Staf Pengajar, Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU) Chozinatul Ulum Blora, Jawa Tengah

Hari ini 28 Oktober 2009. Kita memperingati Hari sumpah Pemuda yang digagas oleh Budi Utomo. Pemuda adalah harapan bangsa Indonesia. Di pundak kaum pemuda inilah kemajuan negara Indonesia akan ditentukan oleh tindakan mereka. Pemuda merupakan cerminan dari wajah peradaban kita. Pemuda memiliki semangat, kekuatan, integritas, disiplin dan intelektual yang tinggi untuk bisa membangun bangsa Indonesia ke arah kehidupan yang lebih sejahtera, adil, demokratis dan sentosa bagi seluruh rakyat Indonesia.

Akan tetapi, seiring dengan perjalanan waktu, peran dan fungsi kaum pemuda yang tergabung dalam sebuah wadah organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) sebagai wadah tinggal tempat berkumpulnya kaum pemuda dalam membawa aspirasi kepentingan masyarakat semakin dipertanyakan kembali?

Padahal, peran pemuda di masyarakat adalah untuk memajukan pembangunan daerah dan olahraga daerah semakin tidak berjalan secara efektif. Melainkan juga, fungsi pemuda untuk memberantas narkoba, perjudian, minuman keras, pencegahan HIV/AIDS dan tanggung jawab sosial dalam menyelesaikan permasalahan sosial semakin tidak direspon dan kepedulian dari kaum pemudaa saat ini malah berkurang.

Ada beberapa mainstream yang menyebabkan itu semua. Pertama, kaum pemuda saat ini telah kehilangan semangat idealisme dalam memajukan perkembangan bangsa Indonesia ke depan. Kaum pemuda lebih memilih kepada pragmatis dan oportunis politik. Pemuda sebagai alat perekat itu telah kehilangan ruh dan komitmen serta konsistensi dalam membangun jiwa pemuda yang lebih mandiri.

Kedua, dalam konteks kelembagaan, organisasi kepemudaan (OKP) lebih terjebak pada unsur sektarianisme, dan primordialisme, sebagai wadah perhimpunan dan pergerakan kaum pemuda. Taring mereka tidak berbunyi kembali apalagi ketika bersentuhan dengan unsur kekuasaan untuk memasuki struktur jabatan pada tingkat jajaran elit pemerintahan.

Gerakan OKP kini menunjukan massifitas dan intensitas yang tinggi sebagai gerakan underbow dalam merajut parpol demi mendapatkan kekuasaan. Ketika OKP sudah terjun dalam panggung parpol, OKP akan selalu dijadikan alat politik untuk memobilisasi massa. Melainkan juga, keberadaan OKP malah digunakan bagi mereka yang duduk di dalam struktur OKP untuk bisa meniti jalan setapak demi setapak menuju proses legitimasi kekuasan di tingkat pemerintahan. Kalau sudah begini harapan masyarakat terhadap eksistensi kaum pemuda dalam membawa kepentingan publik semakin sirna dan pudar.

Ketiga, OKP masih dipersepsikan dan digunakan sebagai alat kepentingan parpol dan dipihak luar tanpa disertai pemberberdayaan (empowerment) OKP secara institusional. OKP masih terus dimanfaatkan sebagai tangga menuju puncak kekuasaan, karier politik, dan terkadang menjadi alat kepentingan sesaat.

Keempat, OKP masih selalu diidentikkan dengan pemasungan kreativitas kaum muda dan OKP seringkali digunakan-meminjam istilahnya Antonio Gramsci dikatakan sebagai alat kooptasi dan hegemoni aspirasi politik pemuda. OKP sebagai wadah elitis dan prokekuasaan telah kehilangan naluri keberpihakan pada rakyat kecil. OKP sebagai media lokomotif partai berkuasa dan elite pemuda yang pro kekuasaan.

Kelima, orientasi para aktivis OKP dewasa ini, termasuk KNPI sebagai wadah berhimpunnya kaum pemuda, tampaknya lebih pada dimensi politik semata, bukan disebabkan karena untuk kepentingan publik, dan tujuan semua dari adanya organisasi kepemudaan.

Keenam, paradigma yang digunakan kaum pemuda sekarang ini sudah tidak memfokuskan dalam membawa aspirasi kepentingan masyarakat, maksudnya organisasi kepemudaan belum pernah melakukan kegiatan yang menyentuh persoalan rakyat Indonesia pada seputar, pemberdayaan kesejahteraan masyarakat.

Sebaliknya, ketidakpekaan kalangan OKP terhadap isu-isu aktual tampaknya pula lebih disebabkan oleh pertimbangan survival dalam memperebutkan kekuasaan atas jabatan tersebut. Agaknya pemuda lebih tertarik pada aktivitas yang lebih profesional, yang berorientasi pada perolehan lapangan kerja atau ekonomi, atau yang bersentuhan langsung dengan isu-isu yang saling tarik menarik antara kepentingan rakyat di satu sisi dengan kepentingan negara atau kekuasaan pada sisi lain.

Di tengah pusaran arus demokrasi, OKP nyaris kehilangan legitimasinya di kalangan dunia kepemudaan. OKP belum sepenuhnya menjadi penentu, pelopor dan sebagai agent of change, melainkan masih ditentukan alat kepentingan politik dan kekuasaan. Karena itu, OKP sudah seharusnya melakukan sebuah gerakan-gerakan alternatif demi menggugah masyarakat untuk senantisa melakukan upaya pressure terhadap segala kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Pemuda sekarang ini sudah seharusnya bisa menjawab permasalahan bangsa yang kian parah.

Maka dari itu, OKP saat ini harus mampu mengembalikan hakikat dan nilai perjuangan OKP sebagaimana ditata oleh para perintis dan pengembangnya sejak awal oleh Boedi Utomo pada tahun 1928. OKP harus melakukan konsolidasi demokrasi dalam membentuk penguatan peran lembaga kemasyarakatan agar lebih berdaya dalam mengelola potensi dan peran pemuda. Sementara itu, OKP harus tetap konsisten pada kiprahnya sebagai wadah berhimpun kaum muda dalam posisinya sebagai 'masyarakat warga' yang semestinya memberdayakan secara politik, ekonomi, sosial, budaya dan bahkan agama.

Pada momentum Hari Sumpah Pemuda saat ini, kaum pemuda harus mampu merenungkan kembali secara filosofis peran dan wadah pergerakan yang solid, kuat, dispilin, insentif, dari seluruh kaum pemuda dengan melakukan konsolidasi kekuatan kepada masyarakat sipil untuk tetap konsisten menjadi pengontrol elite politik dan kontrol moral terhadap arus perjalanan sistem pemerintahan negara dan bangsa Indonesia tercinta ini.

0 komentar:

Posting Komentar