24 Juli 2009

Pemicu Kekerasan Bernuansa Agama

It Was Published in Solopos Newspaper
Jum'at 24 Juli 2009
Gagasan

Oleh : Syahrul Kirom*
Dosen, Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU) Chozinatul Blora Jawa Tengah

Agama merupakan fenomena sosial yang tidak pernah selesai untuk dibicarakan dan ditafsirkan; agama selalu hidup dalam sejarah umat manusia dan mengikuti perkembangan zaman. Karena itu, agama mengalami interpretasi dan interpretasi ulang yang kadang digunakan kelompok-kelompok tertentu untuk membela kepentingannya demi meraih kekuasaaan dan bahkan melakukan kekerasan atas nama agama.

Nampaknya, kekerasan atas nama agama telah dilakukan oleh para pelaku bom yang terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton di Jakarta pekan lalu. fenomena itu jelas terkait dengan adanya terorisme yang masih mengancam negara Indonesia.

Kenyataan itu, membuktikan bahwa masyarakat muslim di Indonesia tidak bisa memahami akan arti pentingnya pluralisme beragama, pluralisme adalah suatu keniscyaan yang sesungguhnya harus kita hormati untuk melahirkan perilaku kedamaiaan dan kesejukan agama serta kasih sayang terhadap sesamanya.

Sementara itu, kenyataan pluralisme agama membuat umat beragama harus menegaskan kembali identitas keagamaan di tengah-tengah umat beragama lain yang juga eksis. Pluralisme keagamaan sudah menjadi kenyataan sejarah yang tidak bisa dihindari, menafikan pluralisme sama artinya dengan menafikan keberadaan manusia itu sendiri.

Namun, pluralisme dan perbedaan (eksoterik) agama sering menjadi sumber konflik dan ketegangan di antara umat beragama. Bahkan umat beragama sebagian besar masih memandang agama lain dalam konteks "superior" dan "inferior".

Karena itu, menarik memperhatikan tesis Huntington (The Clash of Civilizations and the Remaking of the World Order, 1996) yang menjelaskan "peradaban" sebagai pengelompokan terbesar masyarakat yang melampaui tingkat pembedaan manusia dari spesies lainnya. Sebuah peradaban ditentukan oleh anasir-anasir objektif bersama-bahasa, sejarah, agama, adat, dan lembaga-lembaga-juga oleh swa-identifikasi masyarakat. Huntington menyatakan, kini ada tujuh atau delapan peradaban besar di dunia: Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Kristen Ortodoks, Amerika Latin, dan "mungkin" Afrika.

Banyaknya kekerasan dipicu sentimen agama di Indonesia, seakan membenarkan, agama memang mendukung perilaku kekerasan, self fulfilling prophecy atas kekerasan berbau agama. Akibat yang diderita para pemeluk agama adalah mereka hidup dalam ruang yang serba sempit tertekan, karena agama yang diharapkan bisa menjadi tempat berlindung dan pengayom, malah berlaku kasar, terkesan jadi bengis.

Standar ganda yang diterapkan para pemeluk itu menganggap, agamanya yang paling sempurna dan paling benar, sementara agama lain tidak sempurna, karena itu salah dan sesat Dengan menempatkan standar ganda semacam ini -yang kemudian terkonstruksi pada masing-masing penganut agama- terjadi saling mengklaim (truth claim), kebenaran hanya ada dalam agamanya; agama orang lain tidak mengajarkan kebenaran karena tidak ada kebenaran maka tidak ada pula keselamatan. Berpijak pada truth claim ini, maka pemahaman keagamaan mengarah pada segregasi-segregasi antar umat beragama.

Semua itu akan terjadi saat pemahaman atas agama atau keberagamaan masyarakat merupakan keberagamaan yang parochial, sehingga yang terbangun adalah sentimen-sentimen negatif atas agama lain. Namun, mungkin akan tereliminir sentimen-sentimen keagamaan dan kekerasan atas nama agama, saat cara keberagamaan masyarakat beranjak pada cara keberagamaan yang lebih toleran. Artinya apresiatif terhadap perbedaan-perbedaan yang ada dalam agama-agama itu.

Sikap toleran dan apresiatif inilah yang merupakan kata kunci pada inklusivisme beragama. Perbedaan dalam agama dipahami sebagai sesuatu yang bukan taken for granted sebagai sunnahtullah, tetapi menjadi kesadaran pluralisme pada masing-masing penganut agama.

Banyaknya agama itu mengandaikan sebuah kenyataan yang tidak saja wajar adanya, tetapi sebuah keniscayaan yang harus dihargai, dihormati, bahkan dijadikan semacam pijakan bersama guna menumbuhkan kedewasaan dalam beragama. Pluralitas agama tidak digerakkan untuk menuju kehidupan yang penuh disharmoni, pertikaian, ataupun perkelaian fisik antar agama.

Karena itu, perbedaan agama sudah seharusnya menjadi modal dasar dan elan vital membangun sebuah peradaban masyarakat religius yang mendahulukan, kompromi-kompromi dan dialog. Karena itu di sinilah kekuatan utama agama-agama yang mengemban misi profetiknya. Bukan agama yang di kemas dengan kalimat-kalimat yang magis dan sakral, untuk saling menghancurkan dan menakut-nakuti sesama pemeluk agama.

Kita semua percaya, setiap agama mengajarkan prinsip-prinsip universal tentang keadilan, kejujuran, pembelaan terhadap yang tertindas, dan kaum minoritas. Agama mengajarkan agar manusia saling mengasihi, saling menyayangi, dan mencintai. Karena itu, perbedaan-perbedaan yang ada dalam cara atau tata cara, metode, atau jalan menuju Tuhan, karena sesungguhnya perbedaan itu hanya penampilan, yang hakekatnya sama-sama menghadap Tuhan, mengabdikan diri pada sang Khaliq dengan pelbagai ungkapan dan ekspresinya. Semoga.

0 komentar:

Posting Komentar