30 Maret 2009

Mewaspadai Konflik dalam Pemilu Legislatif 2009

It Was Published in Bali Post Newspaper
Senin, 30 Maret 2009

Opini


Oleh Syahrul Kirom

Pemilu legislatif tanggal 9 April 2009 akan segera dilaksanakan. Suhu perpolitikan pun kian memanas di antara para calon legislatif. Lobi-lobi politik pun cukup intens dilakukan oleh mereka yang akan mencalonkan menjadi anggota legislatif dalam Pemilu 2009. Akan tetapi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Bali juga harus bekerja ekstra keras untuk bisa mewaspadai sejak dini jika nantinya dalam pemilu legislatif terjadi konflik. Hal ini juga perlu menjadi agenda utama KPU, KPUD Bali, dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).

Kita tidak bisa menafikan bahwa di setiap perhelatan demokrasi pemilihan gubernur di beberapa daerah di Indonesia masih seringkali terdapat noda-noda hitam, di mana demokrasi seringkali dibalut dengan kekerasan untuk mencapai kemenangan. Misalnya masih hangat dalam pikiran kita kasus kekerasan dalam pilgub di Maluku Utara beberapa waktu lalu.

Maka benar, apa yang dikatakan Aristoteles bahwa politik adalah seni bagaimana seseorang memperoleh kekuasaan dengan cara represif, anarkis, dan pemaksaan. Berdasarkan dari asumsi tersebut politik dengan menggunakan tindakan pemaksaan, politik uang itulah yang mencipta kesadaran publik untuk menyulut aksi kekerasan. Berdasarkan data dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Indonesia sepanjang tahun 2005-2008 telah berlangsung 323 kali. Sejarah mencatat pilkada bermasalah terjadi di 98 daerah (30%) dan yang disertai kekerasan dan kerusuhan berlangsung di 21 daerah.

Konflik itu muncul apabila terdapat perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan di antara sejumlah individu, kelompok atau organisasi dalam upaya mendapatkan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat untuk memperebutkan kekuasaan. Konflik kekerasan merupakan fenomena yang selalu hadir (inherent omni-presence) dalam setiap pandangan dan kepentingan di antara kelompok-kelompok masyarakat dalam partai politik yang telah menjadi hal sangat alamiah dan sulit sekali untuk dihindarkan. Akan tetapi, hal itu akan menjadi persoalan besar tatkala cara untuk mengekspresikan perbedaan kepentingan diwujudkan dalam ekspresi yang tidak demokratis.

Kekerasan atau apa pun namanya tidak akan bernilai positif. Bahkan sebaliknya, kekerasan hanya akan menarik dan memunculkan persoalan baru atau kekerasan lebih besar. Kekerasan hanya mewariskan penderitaan dan kesengsaraan bagi korbannya. Peradaban bangsa Indonesia ini akan semakin terpuruk jika budaya kekerasan terus disemaikan.

Benturan kepentingan dan perbedaan ideologi, baik yang bersifat horizontal antara kelompok partai yang satu dengan partai lainnya dari para pendukung calon legislatif, serta masyarakat dengan panitia KPU pun bisa menyebabkan konflik, apabila pada tingkat KPUD Bali tidak bersifat netral terutama saat penghitungan suara. Karena bagaimana pun, dalam kondisi tersebut banyak terjadi kecurangan politik. Hal ini sudah seharusnya bisa direduksi oleh setiap Panitia Pengawas Pemilu 2009.

Menurut Ramlan Surbakti, ada beberapa faktor cara yang harus dilakukan oleh KPU Pusat, Panwaslu dan KPUD Bali jika nantinya terjadi konflik dalam pemilu legislatif 2009. Pertama, KPU Pusat, Panwaslu dan KPUD Bali harus melakukan pengaturan konflik melalui model parlemen atau kuasi parlemen di mana
semua pihak berdiskusi secara terbuka untuk mencari kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan atau memaksakan kehendak untuk menang sendiri.

Kedua, perlu adanya mediasi, yaitu kedua pihak sepakat mencari nasihat yaitu dari tokoh publik, KPU, Panwaslu dan KPUD Bali. Akan tetapi, nasihat dari mediator tidak mengikat mereka. Hal ini merupakan langkah konstruktif dalam membangun pemahaman di antara kedua belah pihak yang bertikai sehingga bisa dicapai suatu kesepakatan untuk merajut perdamaian.

Ketiga, menggunakan cara arbitrasi, yaitu kedua pihak sepakat untuk mendapatkan keputusan akhir yang bersifat legal kepada pihak ketiga (arbitrator) misalnya pengadilan. Pada tahap terakhir ini perlu dilakukan bila kesepakatan secara damai tidak bisa dicapai. Sehingga perlu dilakukan di pengadilan dan Mahkamah Agung membuat keputusan akhir yang bisa diterima oleh semua pihak yang bertikai.

Cegah sejak Dini

Lebih dari itu, ada sebuah pertanyaan secara filosofis diajukan adalah, bagaimana caranya meredam dan mengelola konflik jika nanti terjadi dalam pemilu legislatif 2009. Pertama, perlu dilakukan koalisi pusat dan daerah yang stabil di antara partai-partai politik.

Kedua, diterapkan prinsip proporsionalitas yaitu posisi-posisi pemerintahan daerah yang penting didistribusikan kepada partai-partai politik sesuai dengan proporsi jumlahnya dari keseluruhan penduduk.

Ketiga, diterapkan sistem saling veto yaitu suatu keputusan politik tidak akan diputuskan tanpa disetujui oleh semua partai politik yang berkonflik.

Kekerasan sebagai letupan kristalisasi atas ketidakpuasan massa terhadap perbedaan politik haruslah bisa diredam dan disikapi dengan kepala dingin serta mengedepankan nalar yang kritis secara arif dan bijaksana dalam memandang sebuah persoalan politik. Bukan lantas mengusung egoisme serta anarkisme secara brutal dalam menyelesaikan masalah sosial-politik.

Karena itu, peran pemerintah daerah secara konsisten dan kooperatif dalam meredam konflik jika nanti terjadi dalam pemilu legislatif 2009 ini sangat diperlukan terutama dalam menciptakan persatuan dan kesatuan. Sebab, KPU, Panwaslu dan KPUD Bali mempunyai kewajiban dan tanggung jawab secara sosial maupun politik dalam menjaga kestabilan demokrasi serta dalam menyukseskan pemilu legislatif 9 April 2009 secara damai dan adil. Salah satunya, dengan memberikan perlindungan keamanan, kedamaiaan dan ketenteraman kepada seluruh masyarakat Indonesia.

Penulis, peneliti pada Social and Philosophical Studies Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar