12 Juni 2008

Kebangkitan atau Kebangkrutan Nasional

Di Muat di Koran Surya.
Pada Hari Jum'at 18 Mei 2008.

Oleh : Syahrul Kirom *

Peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2007 besok merupakan sebuah perjalanan panjang atas sejarah kelam Indonesia. Bagaimana rakyat Indonesia harus keluar dari penjajahan kolonialisme Belanda selama berpuluh-puluh tahun.

Akhirnya berkat kelahiran organisasi Boedi Oetomo pada tanggal 1908 ini menjadi langkah awal untuk menciptakan semangat dan menyatukan suatu ideologi yang sama demi mempertahankan negara dari hegemoni kekuasaan Barat.

Melalui semangat nasionalisme dan mencintai tanah air yang tinggi serta tidak didasarkan pada perbedaan bahasa, kultural, atau posisi geografis, kita dapat mencapai persamaan untuk meraih kembali negara Indonesia tercinta. Semangat nasionalisme adalah perasaan satu nasib, satu perjuangan dalam kesengsaraan di bawah penindasan kolonialisme imperialisme.

Kolonisalisme harus segera dilawan karena itu adalah bentuk penyiksaan secara kultural-struktural yang menyebabkan kita tidak bisa bebas untuk melakukan apa saja, sebab segala gerak-gerik kita dibatasi.

Apakah selama ini kita sudah mengalami kebangkitan dalam konteks secara luas mulai dari aspek kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya, dan bahkan agama sudah mengalami perbaikan secara baik atau tidak? Ternyata, selama ini apa yang kita dengung-dengungkan untuk bangkit dari imperialisme Barat tak bisa diwujudkan.

Realitas itu seringkali ditemukan dengan terjadinya kesenjangan ekonomi yang begitu lebar, antara kaum proletar dan borjuis. Munculnya kemiskinan massal, kemakmuran sepihak, kepincangan ekonomi regional yang selalu meningkat, ketidakseimbangan pertumbuhan populasi, pemakaian sumber-sumber alam yang tidak terpulihkan dengan cara yang tidak rasional, juga proses produksi dan konsumsi yang tidak sesuai dengan daya lingkungan. Fenomena itu tak lain karena adanya penyimpangan-penyimpangan oleh elite pemerintahan.

Krisis Ekonomi
Akibat kebijakan yang diselewengkan oleh pihak-pihak tertentu membuat krisis ekonomi melanda negeri ini. Krisis ekonomi jilid 2 kini sedang menimpa perekonomian kita. Hal itu disebabkan derasnya aliran dana yang masuk dari kawasan Asia, termasuk Asia Tenggara yang dikhawatirkan akan menyebabkan melemahnya tingkat pertumbuhan ekonomi.

Kondisi saat ini mirip dengan krisis ekonomi pada tahun 1997. Ada beberapa hal yang menyebabkan krisis ekonomi saat ini. Pertama, ini bisa dilihat dengan terus melambungnya cadangan devisa di Bank Indonesia (BI) yang kini meningkat dan mencapai sekitar 51 miliar dolar AS atau Rp 459 triliun. Padahal, sekarang posisi cadangan devisa investor asing di pasar modal mencapai Rp 43,2 miliar dolar AS.

Kedua, dalam data BI menunjukkan net buy investor di pasar modal mencapai Rp 3,2 triliun. Di pasar surat utang negara (SUN), investor asing membukukan net buy lebih
tinggi lagi, yaitu sekitar Rp 6,7 triliun atau naik Rp 0,2 triliun dibanding triwulan keempat 2006. Sementara itu realisasi pembayaran utang luar negeri mengecil sehingga pengeluaran pemerintah dalam bentuk valas lebih rendah daripada sisi penerimaan. Ini menyebabkan penghematan Rp 30,7 triliun per akhir Maret 2007. Walau demikian, BI mencatat kenaikan utang luar negeri swasta hingga 51,131 miliar dolar AS per akhir Desember 2006 (Suara Karya, 12/5).

Menurut Anggito Abimanyu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Depkeu, ancaman krisis yang mengintai kali ini berbeda dengan sepuluh tahun lalu. Jika pada 1997 pemicu krisis adalah aliran dana keluar (capital outflow), maka saat ini adalah capital inflow.

Yang perlu diperhatikan dengan adanya krisis ekonomi saat ini adalah mewaspadainya derasnya aliran dana asing yang masuk. Semakin banyak kita berhutang kepada negara lain berarti semakin parah penderitaan yang akan kita alami. Inilah yang menimbulkan terjadinya krisis perekonomian bangsa Indonesia. Karena itu, pemerintah harus menekan maksimal SUN yang bisa menjadi instrumen peredam kelebihan likuiditas tersebut.

Untuk mengatasi kebangkrutan pertumbuhan ekonomi, maka upaya yang sangat konstruktif dalam membangun kemandirian suatu bangsa Indonesia adalah mengusir dominasi imperialisme Barat yang selama ini selalu mengintervensi perekonomian negara Indonesia, yakni melalui pembangunan tatanan ekonomi nasional secara sistematis.

Meminjam analisisnya Bung Hatta, ekonom Indonesia, kita harus bisa melihat proses perbaikan ekonomi yang sesuai dengan kondisi sosial-budaya nasional, dengan melihat pada letak geografis dan demografis, melainkan juga ekonomi berbasis kerakyatan. Selain itu, bagaimana kita bisa memotong segala usaha atas hegemoni sistem ekonomi kolonial dan ekonomi kapitalisme agar tidak menghamba kepada pemilik modal asing.

Maka upaya untuk memahami semangat mencintai ekonomi kerakyatan perlu ditekankan secara bersama. Hubungan kita dengan perusahaan transnasional harus dipatahkan dengan cepat, yakni pada struktur-struktur ekonomi yang terus melanggengkan dominasi pemilik modal. Perusahaan transnasional telah menjadi monster, raksasa global yang memegang kekuasaan ekonomi-politik yang sangat besar.

Perekononomian adalah tulang punggung paling dasar dalam membangun peradaban bangsa Indonesia. Jangan sekali-sekali terjebak kekuasaan dan menggantungkan hutang pada negara lain, sebab proses interdependensi terhadap kebijakan luar negeri ini jelas akan menyebabkan keterlambatan perekonomiaan negara Indonesia.

Di sisi lain, keterlambatan pertumbuhan perkonomiaan Indonesia, tidak hanya disebabkan pengaruh pada kebijakan global. Jangan lupa untuk ikut mengenyahkan sistem perekonomian yang korup. Misalnya yang terjadi pada PT Jamsostek oleh Ahmad Junaedi, PT PLN oleh Edie Widiono, kasus Bulog dengan Widjanarko sebagai tokoh utamanya dan tokoh lain di baliknya, serta korupsi yang sudah menggurita hingga ke daerah. Faktor itulah yang menjadikan pilar-pilar
perekonomiaan runtuh.

Kita berharap pada momentum Hari Kebangkitan Nasional ini pemerintah dan menteri perekonomian bisa kembali membuat kebijakan-kebijakan ekonomi makro maupun mikro yang kuat. Tidak hanya pada pencapaian pertumbuhan ekonomi semata, juga pada pemerataan. Pemerintah harus mampu menciptakan terobosan-terobosan baru demi memperbaiki sistem perkonomian bangsa Indonesia yang lebih maju.

* Peneliti pada Social and Philosophical Studies Jogjakarta.

0 komentar:

Posting Komentar