12 Juni 2008

Buruh dalam Genggaman Kapitalisme

Di Muat di Suara Karya.
Pada hari Selasa 1 Mei 2007

Oleh : Syahrul Kirom *

Hari ini, tepatnya 1 Mei, adalah Hari Buruh International. Buruh merupakan salah satu bentuk "investasi" untuk memajukan perekonomian negara. Tanpa adanya buruh segala macam bentuk perusahaan tidak akan berjalan secara lancar. Melalui peringatan Hari Buruh diharapkan muncul kesadaran dari berbagai pihak untuk memberi perhatian kepada buruh, khususnya menyangkut tingkat kesejahteraan. Dengan demikian mereka dapat bekerja secara maksimal.

Hal itu selaras dengan aksi penolakan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) Nomor 13 Tahun 2003, beberapa waktu lalu. Para buruh meminta agar revisi tersebut dibatalkan, karena jelas-jelas merugikan kaum buruh dan hanya menguntungkan pemilik modal.

Setidaknya ada beberapa alasan para buruh menolak revisi UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Pertama, rencana pemerintah yang ingin menghapus Pasal 35 ayat (3) tentang kewajiban pengusaha untuk memberi perlindungan, yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik.

Kedua, revisi terhadap Pasal 156 bahwa dalam hal pemutusan hubungan kerja (PHK) pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon serta uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima pekerja. Akan tetapi, pemerintah malah menghapus.

Itu merupakan suatu bentuk dehumanisasi terhadap kaum buruh yang seolah-olah dijadikan sebagai mesin kerja, karena tidak mendapat bayaran sesuai dengan hasil kerjanya.
Ketiga, revisi pada Pasal 100 ayat (1) yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja, pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan. Pasal tersebut ternyata dihilangkan. Tindakan penghapusan itu jelas merugikan kaum buruh. Keempat, revisi pada Pasal 167 tentang pemberian uang kompensasi pensiunan, yang ditiadakan.

Pemerintah dan pengusaha beralasan bahwa revisi itu diperlukan sebagai bagian dari perbaikan iklim investasi. Padahal, itu merupakan alasan yang hanya menguntungkan satu pihak saja. Dikatakan bahwa iklim investasi yang baik akan menjamin masuknya investor dalam negeri, terutama asing, ke Indonesia guna membuka pabrik-pabrik baru, sehingga lapangan kerja baru semakin banyak.

Seandainya argumentasi yang dilontarkan pemerintah seperti itu, maka hal itu justru akan menciptakan jutaan pengangguran dan kemiskinan di negeri ini. Apalagi saat ini pengusaha ingin merekruitmen pekerja dari luar negeri. Maka tak salah kiranya jika para buruh menolak revisi UU Ketenagakerjaan tersebut.

Para buruh berasumsi bahwa dalam kondisi ekonomi yang sulit sekarang ini, nasibnya semakin tidak jelas bila revisi terhadap UU No 13/2003 itu jadi dilakukan pemerintah.
Melihat realitas tersebut tak salah kiranya jika kemudian para buruh harus melakukan protes guna membela diri. Karena, bagaimana pun hal itu menyangkut harkat dan martabat mereka sebagai manusia yang sudah seharusnya diperlakukan sebagaimana manusia, bukan sebagai mesin produksi maupun investasi.

Maka benar apa yang dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada semua para pengusaha untuk tidak memperlakukan buruh sebagai faktor produksi, efisiensi, apalagi faktor penarik investasi.

Karena itu, UU Ketenagakerjaan dan peraturan lain yang menyangkut perburuhan harus bisa menyejahterakan buruh.

Untuk memajukan perusahaan, pengusaha tidak boleh menggunakan nalar kapitalis untuk menunjang efisiensi. Karena dampaknya upah pekerja harus ditekan seminimal mungkin agar biaya produksi mengecil.

Sebagai penarik investasi, kalangan pengusaha menerapkan upah pekerja semurah mungkin agar bisa bersaing dengan negara lain. Pengusaha hendaknya tidak berpikir seperti itu. Hal itu justru menyebabkan diskriminasi dan kesenjangan sosial terhadap buruh lainnya. Namun, perlu diingatkan bahwa upah riil harus sebanding dengan produktivitas.

Peraturan tentang ketenagakerjaan seharusnya melindungi tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan, dan meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja beserta keluarganya.
Persoalannya selama ini buruh dijadikan bahan ekploitasi untuk kepentingan bisnis semata. Dengan demikian buruh hanya dijadikan sebagai alat produksi. Pekerja tak ubahnya seperti modal, semuanya di dekati dengan rasionalitas ekonomis. Jika paradigma itu dipakai, para pengusaha jelas mengabaikan aspek rasa kemanusiaan.

Realitas itu semakin meneguhkan paradigma Karl Marx dalam karya masterpiece-nya Das Kapital (1867), mengenai filsafat pekerjaan, yang menganggap manusia sebagai faktor produksi dan mesin penghasil uang. Nilai kerja dari buruh hanya dihitung semata-mata secara kualitatif, bukan pada nilai-nilai sebagai manusia seutuhnya.

Karena itu semuanya harus bisa dijual. Setiap benda harus memiliki harga. Logika yang digunakan para pemilik modal terhadap buruh seperti itulah yang harus diubah. Karena bagaimanapun mereka adalah bagian dari perusahaan yang saling melengkapi satu sama lain.

Momentum peringatan Hari Buruh Sedunia ini diharapkan dapat mengubah segala bentuk kebijakan pemerintah dan pengusaha untuk lebih pro-terhadap kepentingan para buruh. Sudah waktunya pemerintah dan pengusaha memberi hak mereka untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Mereka juga manusia yang harus diberikan kesejahteraan dan kemakmuran untuk memperbaiki kualitas kehidupan.***

*Penulis adalah peneliti pada Social and Philosophical Studies Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar