12 Juni 2008

Membangun Kesadaran Etika Lingkungan

Di Muat di Bali Post.
Pada Selasa Paing, 25 April 2006.

Oleh : Syahrul Kirom *

BENCANA banjir dan tanah longsor yang menimpa sejumlah daerah di Tanah Air sudah seringkali terjadi terutama pada musim penghujan. Namun, realitas tersebut tidak pernah menyadarkan diri kita sebagai insan manusia yang berkesadaran dan tidak ingin belajar dari sebuah kesalahan atas kejadian tersebut.

Beragam bencana yang melanda bangsa Indonesia ini adalah sebuah kejahatan yang dilakukan oleh manusia, karena manusia sendiri yang seringkali lalai serta melakukan eksploitasi alam semesta secara semena-mena, tanpa berpikir akan implikasinya.

Fenomena banjir dan tanah langsor ini merupakan akibat ulah manusia yang tak pernah memperlakukan alam selayaknya manusia. Oleh karena itu, kita jangan pernah menyalahkan alam dan bahkan Tuhan sekalipun. Kejadian bencana itu adalah salah satu indikator bahwa manusia telah kehilangan eksistensinya untuk saling menyapa dan menyayangi alam semesta ini. Alam sebagai sumber kehidupan ini telah banyak dieksploitasi oleh manusia-manusia yang tak bertanggung jawab dan hanya ingin memperoleh keuntungan sesaat. Yakni dengan melakukan penjarahan hutan dan penebangan secara liar tanpa mengedepankan aspek kerugian yang ditimbulkan.

Melihat fenomena banjir bandang tersebut setidaknya ada beberapa hal yang harus diupayakan oleh masyarakat dan pemerintah agar kejadian itu tak terulang kembali dengan memakan banyak korban. Pertama, pemerintah dan masyarakat setempat harus melakukan langkah-langkah konstruktif dalam upaya menanggulangi kejadian banjir di antaranya mengkampanyekan reboisasi dan penanaman pohon-pohon di daerah yang gundul dan gersang sebagai salah tindakan paling efektif untuk mengurangi korban yang tewas.

Kedua, pemerintah dan aparat penegak hukum harus bersikap tegas untuk segera melakukan investigasi dan menangkap siapa saja para pelaku illegal logging yang sering menjarah hasil kekayaan alam Indonesia. Sehingga dengan upaya penangkapan oknum-oknum yang mengeskploitasi bisa menimbulkan efek jera agar aksi kejahatan tersebut tidak terjadi lagi.

Etika Lingkungan

Akibat kedua hal tersebut, tak ayal lagi, bila kemudian terjadi krisis ekologi, krisis bumi dan krisis kemanusiaan yang seolah tak berujung. Hal ini merupakan implikasi dari perbuatan dan tindakan manusia yang melakukan pejarahan hasil bumi dan menimbulkan kehancuran. Di sisi lain, kejahatan ekologis ini ternyata juga dilakukan karena ada muatan kepentingan ekonomi dan kecanggihan alat teknologi.

Melainkan bersumber dari etika manusia yang bercorak antroposentris, yang memandang manusia sebagi pusat dari alam dan seolah-olah hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya hanya sekedar alat bagi pemuas kepentingan dan kebutuhan.
Melihat realitas tersebut, manusia telah kehilangan nilai-nilai etika lingkungan (enviromentalis), yakni etika lingkungan yang seharusnya menjadi seperangkat aturan untuk mengatur hubungan manusia dengan alam. Etika yang memandang alam sebagai kesatuan utuh yang saling melengkapi. Tapi, alam justru tambah disakiti oleh manusia sendiri yang tak bermoral. Tak salah kirannya, jika alam mengamuk dan memorak-porandakan segala harta dan menghilangkan nyawa manusia.

Melihat realitas tersebut, Lester R Brown dalam salah satu tulisannya menyarankan 'Revolusi Lingkungan Hidup'. Yang berarti manusia harus membangun dengan cepat masa depan lingkungan hidup yang dapat menopang kehidupan, tergantung pada penyusunan kembali ekonomi global, pergeseran besar dalam tingkah laku reproduktif manusia dan perubahan dramatik dalam nilai dan gaya hidup.

Paradigma manusia terhadap lingkungannya inilah yang perlu diubah agar sikap dan perilaku manusia lebih sedikit arif dan bijaksana dalam memaknai alam. Karena itu, manusia harus mengembangkan konsepsi tentang alam yang mengagungkan dan menghormati alam, juga menganggap alam sebagai sesuatu yang sakral dan hidup. Dengan demikian, akan melahirkan sikap yang menghormati dan peduli terhadap lingkungan. Atas dasar itu, kesadaran terhadap pentingnya lingkungan hidup ini harus terus tertanam dalam diri manusia.

Etika lingkungan hidup menuntut agar etika dan moralitas tersebut diberlakukan juga bagi komunitas biotis atau komunitas ekologis. Etika lingkungan harus juga dipahami sebagai refleksi kritis atas norma-norma dan prinsip atau nilai moral yang selama ini dikenal dalam komunitas manusia untuk diterapkan secara lebih luas dalam komunitas biotis dan komunitas ekologis.
Di samping itu, dalam perspektif etika lingkungan ini manusia harus memperlakukan alam tidak semata-mata dalam kaitannya dengan kepentingan dan kebaikan manusia. Etika ini berpijak untuk mengembangkan nilai moralitas manusia dalam menyikapi bencana banjir dan tanah longsor. Persoalannya secara filosofis adalah bagaimana kita bersikap terhadap alam ini, apa yang sebaiknya kita lakukan dan kita tinggalkan, apa yang seharusnya dan apa yang tidak harus kita lakukan terhadap tumbuhan, hewan, tanah, hutan, air dan seterusnya.

Oleh karena itu, manusia harus menumbuhkan kesadaran terhadap lingkungan dengan memegang beberapa prinsip. Pertama, manusia harus bersikap hormat terhadap alam. Kedua, manusia harus mempunyai prinsip bertanggung jawab, yakni tanggung jawab terhadap lingkungan merupakan tanggung jawab manusia juga (Robin Attfield, 1999). Ketiga, manusia harus memiliki solidaritas kosmis. Keempat, manusia harus mengimplementasikan prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam. Kelima, harus memiliki prinsip no harm (tidak merugikan alam). Keenam, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam. Ketujuh, prinsip keadilan. Dalam arti adil tentang perilaku manusia terhadap alam. Kedelapan, prinsip demokrasi. Kesembilan, prinsip integritas moral.

Dengan demikian, kita harus menyadari bahwa keberadaan alam semesta sama dengan posisi manusia yang juga membutuhkan perawatan dan pemeliharaan serta kepedulian terhadap dimensi ekologis yang harus diperlakukan dengan baik. Sehingga dengan adanya bencana banjir dan tanah longsor melalui etika lingkungan ini kita tergugah untuk kembali memperbaiki dan merekonstruksi kondisi alam yang semakin hari demi hari mengalami kehancuran.

* Penulis adalah peneliti pada Social and Philosophical Studies Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar