21 April 2008

Cermin Budaya Korupsi

Di Muat di Jawa Pos.
Pada Senin, 09 Okt 2006. Kolom Prokon Aktivis

Oleh : Syahrul Kirom*

Pemberian gratifikasi kepada pejabat negara menjadi wacana menarik. Pasalnya, hal itu dilakukan menjelang Hari Raya Idul Fitri 1427 H. Pemberian gratifikasi biasanya meliputi parsel, bingkisan, uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, serta pengobatan cuma-cuma.

Awalnya, parsel memang diberikan sebagai wujud silaturahmi keluarga atau ke kerabat lainnya. Tetapi, perkembangan menunjukkan bahwa nilai dan bentuk parsel semakin hari semakin tidak proporsional atau melebihi batas. Parsel bisa tetap berbentuk barang, tetapi harganya semakin mahal.

Isinya juga bisa berubah bentuk menjadi uang atau bentuk lain dengan nilai yang jauh lebih besar. Karena itu, parsel bisa merupakan pintu masuk bagi berkembangnya korupsi. Tak ayal lagi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun melarang mengirim dan menerima parsel bagi pejabat publik atau pejabat negara.

Persoalannya, kenapa pejabat negara dilarang menerima dan memberi gratifikasi? Pertama, pemberian parsel itu, baik disadari maupun tidak, jelas akan memberikan peluang besar bagi pejabat negara untuk menyuap dan celah untuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Sebab, parsel merupakan salah satu bentuk gratifikasi yang jelas bernuansa korupsi. Hal itu diatur dalam UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 pasal 12 B ayat 1 dan ayat 2 bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Karena itu, setiap pejabat negara yang menerima bingkisan atau parsel wajib melapor kepada KPK untuk diverifikasi, apakah parsel tersebut benar-benar sebagai bentuk silaturahmi ataukah parsel itu bernilai tinggi yang jelas memilik keterkaitan dengan jabatan.

Kedua, pemberian parsel akan melanggengkan budaya korupsi yang meluas di tubuh pejabat negara, seperti pejabat pemerintah pusat beserta jajarannya, anggota DPR/DPRD, duta besar, gubernur, bupati, wali kota dan jajaran pejabat di lingkunganya serta pejabat badan usaha milik negara/daerah (BUMN/BUMD) beserta jajarannya. Mereka sudah seharusnya menolak pemberian bingkisan.

Dennis F . Thompson dalam Political Ethics and Public Office (1993) menyatakan bahwa pemberian gratifikasi merupakan bagian dari pelanggaran etika. Secara etis, kebiasaan itu tidak tepat. Sebab, sebagian rakyat sedang dilanda kesulitan ekonomi. Berdasar data, jumlah orang msikin di Indonesia mencapai 17 persen di antara 220 juta penduduk Indonesia saat ini. Jumlah pengganguran 10 juta (Media Indonesia, 3/10/2006).

Karena itu, kini saatnya masyarakat atau pejabat negara menghentikan kebiasaan mengucapkan selamat kepada rekan kerja, pejabat pemerintah, dan penyelenggara negara dalam bentuk iklan di media cetak dan elektronik atau karangan bunga, bingkisan makanan, dan barang-barang berharga lainnya.

Bingkisan tersebut lebih baik disalurkan kepada rakyat miskin, kaum duafa, panti sosial, dan yang membutuhkan, baik dalam bentuk kebutuhan pokok, alat pendidikan, maupun biaya kesehatan dengan semangat kepedulian sosial. Dengan begitu, wibawa dan martabat pejabat negara semakin dihargai di mata publik.

Budaya Korupsi

Pengiriman bingkisan untuk pejabat negara adalah salah satu bentuk gratifikasi yang terkadang dianggap remeh. Padahal, itu sebenarnya merupakan sebuah penyimpagan kekuasaan. Sebab, secara filosofis, hal tersebut termasuk bentuk penyimpangan kecil atau korupsi kecil, seperti penyogokan, penyuapan, dan pelicin, yang dimanfaatkan untuk menjalankan mesin birokrasi pemerintahan.

Saya khawatir, ketika terus dilanggengkan dan dibenarkan (justified), korupsi kecil itu akan merebak dan mengakar di tubuh pejabat negara. Selain itu, korupsi mengakibatkan pejabat publik menciptakan peraturan baru atau regulasi yang tidak perlu sehingga memaksa publik memberikan pelicin untuk setiap urusan.

Karena itu, gerakan antikorupsi di Indonesia harus selalu di dengungkan. Tradisi pemberian gratifikasi perlu dikikis dan diberantas hingga ke akar-akarnya karena bagian dari korupsi. Fenomena-feomena kecil seperti itu telah mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik kepada pejabat negara.

Pelarangan penerimaan parsel itu hendaknya dianggap sebagai upaya preventif untuk mencegah menjamurnya korupsi di Indonesia. Upaya preventif tersebut bisa dilakukan dengan cara menyadarkan publik bahwa pemberian yang sudah dianggap "lazim" dan menjadi sesuatu yang biasa, secara mentalitas, bukanlah hal yang baik. Sebaliknya, itu akan menciptakan mental menjadi sang koruptor.

Upaya preventif juga bertujuan memperkuat masyarakat dengan meningkatkan sikap antikorupsi sebagai upaya memberantas korupsi dari bawah hingga ke atas. Sebab, masyarakat yang memiliki kesadaran antikorupsi itu akan menciptakan pemerintahan yang bersih (good government) dari unsur-unsur KKN. Semoga.

*Syahrul Kirom, mahasiswa Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.

0 komentar:

Posting Komentar