1 Juni 2011

Pancasila Landasan Etik Berbangsa

It Was Published in Koran Jakarta News Paper

Rabu, 1 Juni 2011

GAGASAN

Syahrul Kirom

Mahasiswa Pascasarjana (S2), Program Master Filsafat, Fakultas Filsafat, UGM, Yogyakarta.

Hari ini, tepatnya tanggal 1 Juni 2011. Bangsa Indonesia memperingati hari kelahiran Pancasila. Karena itu, pada momentum yang sangat berharga saat ini, seluruh elemen masyarakat dan pemimpin bangsa Indonesia harus selalu membumikan nilai-nilai Pancasila dalam segala aspek bidang kehidupan, baik secara sosial, politik, ekonomi, budaya, bahkan pendidikan. Pancasila ini dihadirkan untuk mengatasi kompleksitas persoalan kebangsaan, termasuk dengan kasus korupsi.

Merebaknya praktik korupsi yang akhir-akhirnya dilakukan oleh pejabat negara, anggota DPR RI, merupakan salah satu bukti nyata bahwa praktik korupsi dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia masih terjadi, melainkan isu radikalisme agama masih muncul akibat kurangnya pemahaman mendasar terhadap nilai-nilai Pancasila. Persoalan secara filosofis, apakah sampai saat ini Pancasila juga masih mampu menumpas para koruptor, bahkan untuk mengubah karakter dan sifat-sifat yang tercela dari para birokrat, elite politik, pejabat negara? Lalu di mana peran dan fungsi Pancasila sebagai pengubah karakter bangsa? Pada akhirnya, nilai-nilai Pancasila tidak mampu menyelesaikan persoalan kebangsaan.

Karena itu, masyarakat Indonesia ini harus mampu mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila dalam kepribadian dan karakter bangsa Indonesia, sebagai upaya dalam membangun Indonesia yang lebih baik, sejahtera dan adil. Sebab, hingga saat nilai-nilai Pancasila yang masih luhur, seperti menjunjung tinggi kemanusiaan dan kesejahteraan terhadap seluruh rakyat Indonesia.

Keberadaan nilai-nilai Pancasila sudah seharusnya memberikan pendasaran etika politik dan perilaku etis dalam menjalankan tugas negara dan jabatan. Sebab apa, kelahiran Pancasila itu akan memberikan efek positif, bila ternyata nilai-nilai Pancasila bisa sakti dan mampu membawa setiap karakter serta perubahan tindakan manusia ke arah yang lebih luhur, bukan ke arah tindakan yang korup dan menyelewengkan kekuasaan.

Karena itu, Pancasila yang juga memiliki sumber-sumber ilmu pengetahuan dan memiliki nilai-nilai yang luhur sudah seharusnya dapat diimplementasikan oleh setiap pejabat negara, elite politik, anggota DPR, dan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, persoalan secara filosofis adalah kenapa Pancasila itu sulit diterapkan di dalam diri bangsa Indonesia? Seolah-olah Pancasila itu hanya sebagai sebuah simbol, tapi tak memiliki arti dan sumbangsih dalam menyelesaikan persoalan kebangsaan. Persolan itu yang mungkin seharusnya kita selesaikan secara bersama.

Pancasila sebagai pegangan hidup atau petunjuk itu sudah semestinya bisa diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila disebut juga weltanschaung atau pandangan hidup yang mengarahkan pada tindakan manusia ke arah nilai-nilai kejujuran dan kebaikan. Hal itu menunjukkan bahwa Pancasila merupakan gagasan vital bangsa, sistem nilai dasar, yang derivasinya terbangun ke dalam sistem moral dan sistem hukum negara bangsa, negara kesatuan RI Modern. Sebagai pandangan hidup, Pancasila mengandung sistem normatif perspektif bagi kehidupan manusia.

Pancasila mengandung prinsip-prinsip mulia. Kehendak untuk menegakkan negara Indonesia pastilah didasari oleh niat dan pedoman yang baik. Gagasan-gagasan yang terkandung di dalamnya merangkum kebijaksanaan (wisdom) bangsa Indonesia atas konteks budaya dan agama yang telah berabad-abad lamanya disimpan sebagai norma etis. Unsur-unsur kebaikan tercantum, berurat akar dan menjadi pedoman masyarakat Indonesia.

Menurut Koento Wibisono, untuk mengembangkan Pancasila, pertama harus ada unsur keyakinan, setiap ideologi selalu memuat konsep-konsep dasar yang menggambarkan seperangkat keyakinan yang diorientasikan kepada tingkah laku para pendukungnya untuk mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan, yakni dengan tujuan untuk kemajuan bangsa Indonesia. Kedua, unsur mitos, setiap ideologi selalu memitoskan suatu ajaran dari seseorang atau suatu badan sebagai kesatuan, yang secara fundamental mengajarkan suatu cara bagaimana sesuatu hal yang ideal itu pasti dapat dicapai. Ketiga, loyalitas, setiap ideologi selalu menuntut adanya loyalitas serta keterlibatann optimal para pendukungnya untuk mendapatkan derajat penerimaan optimal, dalam ideologi terkandung juga adanya tiga subunsur, yaitu rasional, penghayatan, dan susila.

Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia mengandung konsekuensi setiap aspek penyelenggaraan negara dan semua sikap dan tingkah laku bangsa Indonesia dalam bermasyarakat dan bernegara harus berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Karena itu nilai-nilai Pancasila itu perlu diamalkan agar negara dan bangsa Indonesia ini bisa mencapai kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Nilai-nilai Pancasila yang terdiri dari lima sila itu memiliki banyak sumber pengetahuan yang sudah seharusnya mampu diimplemenatsikan dalam kehidupan manusia, dan sumber pengetahuan Pancasila itu harus dijadikan petunjuk terhadap manusia dalam melakukan tindakan. Pengetahuan yang terkandung di dalam Pancasila sesungguhnya sudah cukup untuk mengatasi persoalan kebangsaan dan untuk membawa kemajuan bangsa Indonesia yang lebih. Jika pengetahuan-pengetahuan Pancasila itu diterapkan secara asli dan benar-benar (genuine) terhadap manusia di dalam menjalankan semua aktivitas dan bahkan dalam menjalankan tugas negara.

Dengan demikian, Pancasila adalah etika dan moral bangsa Indonesia dalam arti merupakan inti bersama dari berbagai moral yang secara nyata terdapat di Indonesia. Seperti diketahui, di tanah air kita terdapat berbagai moral sesuai dengan adanya berbagai agama dan kepercayaan. Karena itu, nilai-nilai Pancasila itu sebenarnya sudah cukup untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan, bila seluruh elite politik, pejabat negara, dan anggota DPR mampu mematuhi dan melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Semoga.

Pancasila dan Korupsi Pejabat Negara

It Was Published in Koran Merapi News Paper

Rabu, 1 Juni 2011

Nguda Rasa

Syahrul Kirom

Penulis : Mahasiswa Pascasarjana (S2), Program Master Filsafat, Fakultas Filsafat, UGM Yogyakarta dan Dosen, Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU) Khozinatul Ulum, Blora, Jawa Tengah

Pada momentum hari kelahiran pancasila 1 Juni 2011 ini, pancasila sebagai ideologi, pandangan hidup (way of life) dan nilai-nilai luhur serta karakter bangsa Indonesia semakin dipertanyakan, apalagi tingkat keampuhan dan pancasila ? Sebab apa, nilai-nilai pancasila tidak mampu menyelesaikan persoalan kebangsaan dari aspek ekonomi, sosial, politik dan pendidikan.

Sementara itu, permasalahan aktual yang akhir-akhir ini kita lihat di televisi, mengenai merebaknya praktik korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara seperti praktik korupsi yang di duga melibatkan Wafid Muharram sebagai Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga membuat peradaban bangsa Indonesia ini semakin hancur. Sehingga ketika sikap-sikap korup itu selalu menjadi budaya bangsa Indonesia, maka negara Indonesia akan mengalami kesulitan untuk maju dan bersaing dengan negara lain.

Menguatnya praktek korupsi di Indonesia itu disebabkan para pejabat negara, elite politik itu tidak mampu mengamalkan nilai-nilai pancasila. Bahkan mereka sangat apatis, dan tidak peduli dengan apa itu pancasila. Pancasila dijadikan sebagai sebuah identitas saja. Tapi, tidak pernah diimmplementasikan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Padahal, sebagaimana yang kita ketahui secara bersama. Pancasila sebagai sebuah pandangan hidup (way of life) itu memberikan suatu petunjuk bagi masyarakat Indonesia. Pancasila yang mempunyai nila-nilai luhur itu sudah seharusnya mampu dijadikan alat dan tindakan dalam setiap mengambil keputusan dan kebijakan di dalam sistem pemerintahan di Indonesia.

Para pejabat negara dan elite politik tidak akan melakukan korupsi jika mereka mampu memahami sila Pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, di sini yang dimaksudkan bahwa Ketuhanan Itu memiliki nilai-nilai yang terkandung yaitu ketakwaan dan keimanan terhadap Tuhan. Sehingga sudah sepatutnya mereka yang melakukan korupsi harus takut kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Karena itu, sudah saatnya lagi nila-nilai pancasila itu harus diimplementasikan oleh seluruh masyarakat Indonesia, jati diri bangsa Indonesia harus dibangunkan kembali dengan mengingat lagi nilai-nilai etis dan nilai-nilai luhur di dalam kandungan pancasila. Sehingga pancasila perlu direkontektualisaskinan dan direvitaliasasi kembali sebagai upaya untuk memecahkan persoalan kebangsaan yang kini di hadapi oleh bangsa Indonesia, mulai dari praktek korupsi dan masalah ekonomi, sosial, politik.

Sementara itu, di dalam sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, di dalam sila kelima itu mengandung banyak nilai luhur, di mana setiap manusia itu harus selalu memperhatikan setiap kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyaty Indonesia. Padahal, sikap korup itu sama saja dengan melanggar prinsip-prinsip moral dari kesejahteraan dan keadilan sosial. Sebab apa, yang dipentingkan dari sikap korup, pada hakekatnya adalah kepentingan individu, bukan kepentingan bersama.

Karena itu, filsafat pancasila itu harus mampu menyelesaikan persoalan tersebut, di mana pancasila sebagai welstanchauung harus-harus benar diaplikasikan terhadap seluruh masyarakat. Rasionalisme di dalam menerapkan dan mengembangkan pancasila sebagai sebuah ideologi harus mampu menjawab persoalan yang hadapi bangsa Indonesia saat ini. Nila-nilai yang terkandung di dalam pancasila harus selalu dijadikan langkah dasar di dalam manusia bertindak dan untuk menyelesaikan problem-problem di dalam kehidupan manusia.

Dengan demikian, untuk mengatasi persoalan kebangsaan dalam upaya pengembangan pancasila, maka dari itu diperlukan beberapa faktor. Pertama, yakni harus ada proses penyadaran terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalam nilai-nilai pancasila, di mana nilai-nilai pancasila memiliki banyak makna bagi kehidupan umat manusia. Penyadaran bisa dilakukan kepada masyarakat dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan kepada pejabar negara, bahwa pancasila sebagai pandangan hidup harus selalu diikutsertakan dalam setiap mengambil kebijakan pemeriintah, sehingga diharapkan dengan penyadaran melalui nilai-nilai luhur pancasila perilaku korupsi bisa direduksi.

Sebagai kesadaran (conciousness) dan atas dukungan kerja sama cipta-rasa-karsa, pengetahuan menimbulkan disiplin kehendak kejiwaan (sesuai dengan bawaan karsa kejiwaan untuk berbuat baik) atau wajib untuk melaksanakan pengetahuan yang kebenaran/ kenyataanya telah dipastikan oleh cipta rasa dan telah sesuai dengan rasa keindahan kejiwaan, bagi pengetahuan tentang pancasila sebagai kesadaran ideologis menimbulkan wajib ideologis (Ferrw Edwin, dkk, 2006:157). Pengetahuan tentang pancasila sebagai kesadaran pancasila dapat menimbulkan kelanjutan transformasi dalam keadaan kepribadian dan jiwa manusia.

Kedua, memperbaiki mental bagi pejabat negara agar tidak selalu melakukan korupsi yaitu dengan selalu menanamkan nilai-nilai pancasila. Dengan memberikan pengetahuan mengenai nilai-nilai pancasila. Hal ini akan meningkatkan pengalaman seseorang sehingga menambah pengalaman atau peresapan pengetahuan tentang pancasila itu dalam mentalitas, lebih meningkat dalam watak dan dalam tingkatan yang lebih tinggi yakni di dalam hati-budi-nurani.

Ketiga, menanamkan nilai-nilai pancasila itu ke dalam hati nurani, sebab apa, jika di dalam hati nurani saja tidak memiliki kepedulian dan empati terhadap nilai-nilai luhur dari ontologi pancasila, maka susah rasanya untuk mengimplementasikan makna pancasila di dalam kehidupan masyarakat. Maka dari itu, yang perlu dibenahi adalah di dalam nurani manusia. Sehingga penyadaran nilai-nilai pancasila tidak hanya dilakukan melalui rasio dan pikiran manusia saja. Akan tetapi, harus juga menyentuh hati nurani manusia.

Pancasila adalah inheren kepada eksistensi manusia sebagai manusia terlepas dari keadaan konkretnya. Untuk menunjukkan “akses” ke arah Pancasila, Driyarkara memulai dengan eksistensi manusia yang cara mengadanya ialah ada bersama dalam, bukan antara” Aku-Engkau” (Slamet Sutrisno, 2006:76). Karena itu, jika nilai-nilai pancasila itu sudah inheren di dalam diri manusia, kemungkinan persoalan-persoalan kebangsaan itu dapat diselesaikan seperti korupsi yang melanda negara Indonesia.

Oleh karena itu, kebutuhan kebangsaan saat kini dan mendatang untuk menyelesaikan masalah-masalah di Indonesia, baik itu dari bidang, sosial, politik, ekonom dan budaya adalah dengan memberikan pemahaman secara komprehensif dan filofosis mengenai nilai-nilai pancasila dalam pemenuhan eksplanasinya di kalangan elite politik, pejabat negara dan birokrat. Mereka perlu didik mengenai nilai-nilai pancasila agar mereka tidak melakukan praktek korupsi dan kecurangan lainnya di dalam sistem demokrasi di Indonesia. Semoga.