8 Januari 2011

Pancasila, Mafia Hukum dan Bank Century

It Was Published in Koran Merapi
Sabtu, 8 Januari 2011

Kolom Nguda Rasa

Syahrul Kirom, Mahasiswa Pascasarjana (S2), Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, UGM Yogyakarta

Selamat datang tahun baru 2011, pada momentum tahun baru ini, sudah seharusnya penegakan hukum di Indonesia dijadikan langkah awal dalam menyelesaikan kasus mafia hukum dan kasus bank century. Karena itu, pancasila sebagai sebuah dasar ideologi negara dan pandangan hidup (way of life) sudah seharusnya bisa dijadikan paradigma bersama dalam membangun bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik, dengan tujuan memperbaiki penegakan hukum di Indonesia.

Akan tetapi, persoalannya secara filosofis, nilai-nilai pancasila yang sudah begitu baik dan nilai luhur dengan adanya prinsip keadilan sosial, kemanusiaan yang adil dan beradab belum mampu menyentuh kesadaran berpikir para penegak hukum seperti polisi, hakim dan, pengacara, jaksa agung. Tidaknya adanya kesadaran akan penghayatan makna filosofis dari nilai-nilai pancasila bagi para penegak hukum ini akhirnya menciptakan kelumpuhan dalam bidang hukum.

Merebaknya kasus korupsi dan munculnya mafia hukum di Indonesia seperti yang menimpa Gayus Tambunan, seorang pegawai di Direktorat Perpajakan. Ini disebabkan karena para penegak hukum mudah disuap dan tidak mampu mengamalkan nilai-nilai filosofis dari pancasila. Oleh karena itu, tulisan paper ini akan berusaha merefleksikan makna filosofis dari nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila terhadap paradigma penegakan hukum di Indonesia ?

Penegakan hukum yang saat ini terjadi Indonesia sangat carut marut, karena para penegak hukum, hanya menekankan pada aspek material dalam artian honor berapa yang akan diterima ketika membela klainnya yang salah tersebut dan bahkan pihak Pengadilan Tinggi atau Jaksa serta hakim mudah sekali disuap. Mereka tidak melihat segala sesuatu sesuai dengan kaidah yang hukum yang berlaku, kualitas penegakan hukum di Indonesia masih sangat rendah. Karena itu, rendahnya penegakan hukum di Indonesia disebabkan paradigma yang salah kaprah dan tidak merenungkan akan esensi filosofis dari pancasila.

Hal itu semua disebabkan, pemahaman penegakan hukum di Indonesia tidak dilandasi oleh nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam pancasila. Sebagaimana kita ketahui, penegakan hukum, hanya akan bisa tegak dan adil, sesuai dengan pemberian uang kepada para penegak hukum. Hukum saat ini telah dinodai oleh praktek kuasa ekonomi dan politik. Sehingga penegakan hukum sulit ditegakkan karena paradigma yang di gunakan dalam menegakkan hukum hanya berdasarkann sejauh mana pemberian uang itu diberikan.

Dengan demikian, paradigma dalam memahami esensi hukum yang bersumber dari nilai-nilai pancasila tidak mampu menyentuh pada “kesadaran”, “Nurani” dan “Proses Berpikir” oleh polisi, hakim dan penegak hukum di Indonesia. Nalar ekonomi-politis dalam menegakkan hukum ini yang justru merugikan pihak rakyat kecil dan negara Indonesia. Sebab apa, paradigma itu telah melunturkan kinerja penegakan hukum.

Karena itu, paradigma penegakan hukum memerlukan kesadaran dalam diri manusia dengan selalu berpijak pada nilai-nilai pancasila yang sudah semestinya ini dijadikan landasan ontologis dalam membina penegakan hukum di Indonesia. Segala keputusan dan penyelidikan harus dilambari atas dasar dan bersumber dari sila-sila dalam pancasila, yang memiliki makna luhur sebagai upaya menjalankan roda demokrasi dalam mewujudkan tegaknya hukum di Indonesia.

Hukum bertujuan untuk menjaga ketertiban masyarakat agar kehidupan sehari-hari dapat berjalan dengan benar, teratur dan aman. Hukum mempunyai fungsi untuk membela keadilan bagi seluruh masyarakat dan bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Karena itu, hukum harus selalu diikuti dengan sanksi riil. Dengan demikian, kejahatan korupsi dapat berkurang, masyarakat merasa lebih aman dan mendapatkan perlindungan

Karena itu, keberadaan hukum yang sudah dibentuk dengan tujuan untuk mengatur ketertiban bangsa Indonesia harus segera dilaksanakan, ketika hukum dimaknai hanya untuk kekuasaan atau bahkan kepentingan politik. Hal inilah yang memunculkan kerusakan pada nalar penegak hukum, sehingga melahirkan para hakim-hakim yang mudah ditekan secara politis dan disuap.

Penegak hukum jangan pernah takut terhadap siapa saja, termasuk pada penguasa, pengusaha dan pejabat negara, semua harus diproses berdasarkan pada hukum. Hal itu telah diajarkan dalam pancasila yang harus juga memegang teguh terhadap hukum Tuhan, hukum kodrat dan hukum filosofis. Kalau memang ada pejabat negara yang salah harus dihukum dan dijatuhi sanksi. Jangan sebaliknya, malah dilindungi. Lembaga penegakan hukum akan menjadi lebih baik, bila penegakan hukum mempunyai visi dan misi yang
berpandangan pada nilai-nilai filosofis pancasila.

Dengan demikian, selama ini kesadaran manusia masih berkembang, selama itu pula manusia Indonesia harus mengamalkan nila-nilai pancasila. Mengingat Pancasila itu titik tolaknya eksistensi, berada pada manusianya, sebagai penegak hukum. Maka kita akan selalu dibawai ke sikap yan realistis dan objektif. Dengan demikian, kritik yang dilakukan oleh Herbert Feith, yakni bahwa kita sering lari kepada moralisme dalam memecahkan masalah. Sehinggga penegakan hukum akan semakin gugur dengan sendirinya.

Karena itu, saya berharap kepada ketua KPK, Muhammad Busyro Muqoddas, Ketua Kejaksaan Tinggi, Basrie Arief dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Timur Pradopo, untuk mampu menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila yang penuh dengan moralitas dalam upaya penegakan hukum di Indonesia, sebagai acun dasar dalam mengambil kebijakan dan keputusan hukum. Sehingga, makna filosofis dari pancasila yang dicetuskan oleh Bung Karno memiliki kegunaan secara praksis sebagai upaya menjalankan konstitusi penegakan hukum yang adil, bersih dari unsur KKN. Semoga.

3 Januari 2011

Prospek Lulusan Dalam Formasi dan Prestasi Mahasiswa Filsafat

Feature

23 Desember 2010

Hiruk-pikuk masyarakat menangkap peluang untuk mendaftar sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) sampai beberapa waktu yang lalu kurang bisa dinikmati oleh para lulusan Filsafat. Hal ini disebabkan oleh jarang atau tidak adanya formasi yang ditawarkan bagi lulusan Fakultas Filsafat. Kenyataan ini menyebabkan kurang bersemangatnya para mahasiswa yang kuliah dengan harapan dapat menjadi PNS di lingkungan pemerintah. Meskipun formasi dosen di lingkungan Kemendiknas dan Kemenag masih tetap ada tetapi dengan syarat baru pendaftar dosen harus minimal berpendidikan S2 maka hal ini menjadi masalah tersendiri bagi sarjana Filsafat. Hanya sebagian universitas di daerah yang masih menerima dosen dengan gelar sarjana. Sedangkan untuk mendaftar S2 dan mendapatkan beasiswa yang ditawarkan biasanya disyaratkan status kepegawaian calon mahasiswa (sudah mengajar di lembaga tertentu). Atas kenyataan ini maka hanya mahasiswa dengan kemampuan ekonomi lebih yang dapat melanjutkan studi. Bagi mereka yang tidak punya akses studi lanjut maka mereka akan mencari pekerjaan di sektor swasta.

Dalam rangka menanggapi persoalan ini, Fakultas Filsafat berusaha untuk mencarikan peluang bagi para lulusan S1 untuk dapat memasuki ranah kompetisi CPNS. Sebetulnya tidak adanya formasi bukan karena kurangnya kemampuan dan bidang kerja yang tidak sesuai bagi lulusan Filsafat, tetapi nampaknya lebih dikarenakan kurang dikenalnya bidang ilmu Filsafat dengan segala kompetensi lulusannya. Oleh karena itu, Fakultas Filsafat melakukan sosialisasi kompetensi alumni ke pemerintah pusat dan daerah dan hasilnya sudah mulai dirasakan. Beberapa departemen sudah mulai membuka formasi termasuk beberapa Pemda Tingkat II. Setelah tahun 2009 selain Kemendiknas dan Kemenag, Kemendagri dan Kemenbudpar, maka tahun 2010 ini Kemenkes dan Kemenakertrans juga membuka peluang yang sama. Sayangnya, formasi yang ditawarkan masih sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah lulusan yang ada mengingat masih ada jurusan filsafat di luar Univeritas Gadjah Mada. Syukurlah, Pemda Tingkat II sudah mulai membuka formasinya. Tahun 2009, Pemkab Jambi dan Ngada sudah memberi kesempatan. Tahun 2010 ini beberapa Pemkab di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur mulai membuka peluang juga. Sejauh informasi yang diterima, Pemkab Magelang menerima lulusan Filsafat dengan 1 formasi untuk Analis Kesbangpol, Pemkab Blora dengan 3 formasi untuk Pamong Budaya, Pemkab Jombang dengan 2 formasi untuk Pemberdayaan Masyarakat dan Pemkab Ngawi dengan 1 formasi untuk Fungsional Umum. Menurut informasi dari alumni, di wilayah Indonesia Timur, Pemda Morotai juga membuka 1 formasi. Total formasi CPNS yang ditawarkan tahun 2010 sebanyak 10 formasi. Dengan melihat jumlah lulusan Filsafat yang rata-rata pertahun sekitar 40-50 lulusan, maka meskipun mereka harus bersaing dengan lulusan di luar UGM, perkembangan jumlah formasi CPNS ini cukup menggembirakan.
Ke depan, Fakultas Filsafat akan terus melakukan sosialisasi dan mengajukan permintaan formasi secara eksplisit untuk bidang-bidang tertentu yang dekat dengan materi-materi kajian Filsafat dan kemampuan lulusan. Dengan ini diharapkan, ke depan akan semakin terbuka lowongan kerja CPNS bagi sarjana Filsafat karena sejauh informasi yang didapat, formasi yang ada tahun 2010 ini masih cukup padat peminat terutama untuk formasi di tingkat pusat.

Perkembangan iklim akademik Fakultas Filsafat yang menonjol akhir-akhir ini adalah prestasi mahasiswa di bidang kepenulisan. Setelah keberhasilan mahasiswa baru angkatan 2010, Raisa Kamila, memenangkan lomba menulis esai tingkat nasional dalam rangka Sumpah Pemuda yang diselenggarakan Tempo Institute Jakarta dan menjadi Juara I dengan menyingkirkan 799 naskah esai mahasiswa lain, beberapa mahasiswa juga mendulang prestasi. Pemberian insentif kepenulisan di media masa bagi mahasiswa S1, S2, dan S3 memberi semangat baru bagi aktivitas mahasiswa. Untuk semester gasal 2010 ini sudah terkumpul puluhan judul tulisan mahasiswa yang dimuat di media massa. Semester lalu, sudah diberikan insentif bagi 11 tulisan mahasiswa. Prestasi lain adalah pada kompetisi penulisan esai yang dilaksanakan Humas UGM. Dua mahasiswa Fakultas Filsafat menjadi pemenang Kompetisi Penulisan Kontribusi Mahasiswa bagi Bangsa dan Negara yang diselenggarakan oleh Bagian Humas UGM yaitu Fitri Tunjung Nugroho (S1) dan Syahrul Kirom (S2). Syahrul Kirom juga merupakan salah satu mahasiswa yang aktif berkontribusi mengenalkan Prodi Ilmu Filsafat dengan menulis di media massa. Diucapkan selamat kepada para mahasiswa berprestasi, semoga prestasi ini akan diikuti oleh mahasiswa lain.
Diharapkan, iklim akademis ini akan semakin berkembang. Dan di tahun mendatang akan lebih berkembang juga kegiatan-kegiatan ilmiah semacam seminar, konferensi, dan lainnya yang dilakukan atas inisiatif para mahasiswa. (WD3).