18 September 2009

Membumikan Teologi Mudik

It was Published in Bisnis Indonesia Newspaper

17 September 2009

OPINI

Oleh : Syahrul Kirom
Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Setiap akhir bulan Ramadan menjelang Idulfitri 1430 H, banyak umat Islam yang berbondong-bondong mudik Lebaran ke kampung halaman.

Mereka rela berdesak-desakan mengantre berjam-jam di terminal bus, kereta api dan bandara untuk bisa pulang ke kampung halamannya.

Mudik merupakan salah satu upaya keinginan umat Islam untuk bisa berkumpul, bercengkerama, bersenda gurau terhadap keluarga dan saudara-saudara terdekatnya. Mudik ke desa adalah suatu kenikmatan tersendiri bagi mereka yang punya hati nurani untuk berbagi terhadap sesamannya

Mudik seolah-olah telah menjadi rutinitas dan budaya tahunan bagi umat Islam untuk melakukan silaturahmi kepada sanak saudaranya yang ada di desa. Itulah fenomena mudik yang sesungguhnya saat ini kita rasakan hanya sebagai sebuah budaya dan ritual mudik secara biologis. Tanpa memaknai apa itu hakikat mudik?

Pertanyaan itu perlu dikemukakan, hal ini menyangkut beribu umat Islam yang sedang melakukan mudik. Sebab apa, jika makna mudik tidak dimengerti secara komprehensif kepada umat Islam akan menyebabkan ruh daripada ibadah puasa kita akan menjadi sirna tanpa memiliki arti secara genuine.

Sehingga menyebabkan mudik kita seolah-olah hanya mendapat kecapaian, kelelahan secara fisik dan mengeluarkan biaya yang sangat mahal. Selain itu, apabila mudik tidak maknai secara sungguh-sungguh akan menimbulkan musibah.

Kejadian musibah itu bisa dirasakan oleh umat Islam saat ini, seperti gempa bumi, tanah longsor, kecelakaan bus dan sepeda motor, kebakaran, pencurian, keracunan makanan yang menyebabkan kematian.

Itu salah satu contoh nyata bahwa musibah sering terjadi pada akhir bulan Ramadan, ketika mereka akan mudik. Pertanyaannya secara filosofis adalah kenapa musibah selalu banyak terjadi di penghujung Ramadan?

Menurut Sukidi, secara epistemologis, jawabnya adalah musibah itu sebagai akibat logis dari pembangkangan manusia terhadap Allah SWT. Bahkan fenomena itulah, yang dahulu kala mendorong banyak filsuf tradisional dari berbagai agama seperti Huston Smith (Kristen), Frithjof Schuon (Islam), Ananda Comarasawamy (Hindu) yang menunjukkan bahwa musibah itu muncul karena manusia modern sangat jauh sekali dari realitas surgawi atau dalam filsafat perennial (sophia perennis) mereka hidup "di pinggir lingkaran eksistensi (baca: musibah )".

Karena itu, kesadaran mudik jangan hanya dilandasi oleh faktor material untuk menunjukkan tingkat kekayaan kepada saudara dan tetangga di rumah. Sebaliknya, kesadaran mudik harus dilandasi karena faktor peningkatan nilai-nilai transendental kepada Allah SWT.

Dengan begitu, sudah saatnya umat Islam yang mudik, meminjam istilahnya Nasaruddin Umar, mudik harus dijadikan sebagai 'mudik rohani'.

Mudik rohani ini sejatinya adalah suatu fenomena umat Islam untuk kembali kepada asal mulanya dari tanah kelahiran yakni kepada sang pencipta Allah SWT.

Peningkatan ketakwaan

Ada beberapa faktor teologi mudik yang perlu dikedepankan oleh umat Islam. Pertama, tradisi umat Islam yang mudik sudah seharusnya dimengerti bahwa mudik harus di maknai sebagai sebuah peningkatan nilai-nilai ketakwaan dan keimananlah yang paling mutlak. Umat Islam harus bisa mentransendensikan dirinya melalui olah rohani serta kemampuannya sebagai upaya untuk merajut jalinan kasih dengan sesama umat manusia.

Kedua, tindakan yang perlu dilakukan oleh umat Islam ketika mudik ke rumah adalah melakukan ta'aruf, silaturahmi dan berbaik-baikan kepada orang tua, saudara-saudara sebagai bagian dari diri umat Islam untuk kembali menjadi fitrah yang suci. Setelah melakukan ibadah puasa penuh selama 1 bulan lamanya. Dengan begitu, nilai-nilai kebaikan dari kesucian itu bisa muncul kembali ke dalam diri dan ruh umat Islam.

Selain itu, makna silaturahmi mengandung arti yang baik untuk memperluas rezeki, pengetahuan dan tukar pengalaman terhadap sesama saudara. Dengan demikian, silaturahmi adalah langkah awal untuk melebur dosa-dosa yang pernah kita lakukan kepada saudara-saudara yang mungkin pernah kita hina, fitnah, caci maki, lecehkan, dan sakiti hatinya. Karena itu, benar bahwa Islam adalah agama rahmatan lilalamiin yang mengasihi dan suka menolong kepada sesamanya.

Ketiga, wisata mudik harus dimaknai secara teologis sebagai wisata spiritual. Dengan menggunakan nalar mudik sebagai wisata spiritual ini akan membangunkan kesadaran umat Islam, ketika mereka menjalankan ibadah puasa selama 1 bulan penuh masih tetap melekat dalam diri umat Islam, yakni nilai-nilai kesadaran religiusitasnya harus dijadikan langkah awal untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Huston Smith dalam karyanya The Religions of Man (2001), meneguhkan bahwa pandangan agama tak lebih dari sekadar jalan menuju Allah SWT. Maka dari itu, wisata mudik ke kampung halaman adalah wisata jalan menuju kepada Allah, yakni jalan kebaikan yang diajarkan dalam setiap agama-agama dunia termasuk agama Islam.

Dengan mudik ke kampung halaman, umat Islam bisa memberikan sebagian rezekinya kepada suadara-saudara dan bisa menjalin tali silaturahmi serta bermaaf-maafan. Tindakan itu merupakan cermin bagaimana umat Islam akan menuju jalan Allah SWT.

Dengan demikian, mudik menuju wisata spiritual merupakan sebuah keniscayaan yang harus dijadikan niat awal bagi umat Islam yang melakukan mudik. Sehingga dengan mengedepankan nilai-nilai spiritual dalam ajaran Islam itu menjadikan kita bisa kembali kepada fitrah yang suci.

Kembali kepada fitrah suci adalah sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh umat Islam setelah sekian lama kita telah melanggar fitrah asalnya sebagai manusia dengan melakukan kemaksiatan, dan korupsi. Karena itu, dengan kembali kepada fitrah yang suci dengan membersihkan diri dari sifat-sifat yang jahat dan suka menzalimi sesamanya adalah suatu kewajiban. Semoga.

2 September 2009

Pemilihan Menteri dan Kepentingan Publik

It Was Published in Bali Post

24 Agustus 2009

OPINI

Akhir-akhir ini, isu seputar siapa yang berhak mendapat jatah kursi dalam kabinet atau menteri untuk periode 2009-2014, dari partai koalisi atau dari kalangan profesionalitas semakin mengemuka. Pasalnya, di tengah kondisi kemiskinan dan pengangguran yang terus meningkat. Bangsa Indonesia ini membutuhkan menteri-menteri yang berkompetensi dan berkualitas dalam bidangnya untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut.

Karena itu, jika hampir mayoritas menteri-menteri itu diambilkan dari partai koalisi. Bangsa Indonesia mau dibawa kemana untuk kemajuan rakyat Indonesia. Kejujuran dan transparan, amanah dari setiap para menteri ini juga perlu dijadikan pertimbangan, paling tidak harus ada uji kelayakan.

Oleh karena itu, saya hanya berharap kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk lebih jeli, cerdas, dan kritis dalam memilah-memilah menteri siapa saja yang berhak menduduki jabatan tersebut. Dan juga lebih mengutamakan orang-orang yang memiliki profesionalitas dalam menjabat amanah tersebut. Hal ini disebabkan, manyangkut kepentingan bangsa Indonesia ke depan, bukan kepentingan partai pendukung sesaat.
Bangsa Indonesia saat ini butuh pemimpin yang duduk di menteri yang mampu membaca dan memetakan persoalan kerakyatan dan kebangsaan? Dan bahkan para menteri yang mempunyai tanggung jawab untuk mensejahterahkan dan memakmurkan betul nasib rakyat Indonesia.

Sementara itu, dalam memilih menteri yang harus dilihat adalah sikap, tanggung jawab besar dari para menteri, terutama berkaitan dengan profesionalitas, dan kemampuan dalam menganalisis dan mengatasi masalah yang berada di dalam Departemen yang akan dipimpinnya.
`
Kepentingan Publik

Dalam konteks pemilihan seorang menteri, kepentingan publik haruslah lebih diutamakan, ketimbang kepentingan pribadi atau partai pendukungnya. Oleh karena itu, meskipun kemenangan SBY-Boediono, yang juga di dukung oleh partai pendukung, bukan lantas, partai pendukungnya yang diutamakan dalam menduduki kursi jabatan menteri.

Kemenangan SBY-Boediono adalah kemenangan seluruh rakyat Indonesia yang memilihnya, bukan kemenangan partai pendukung. Dengan begitu, kepentingan dan aspirasi rakyat harus dijamin dahulu daripada kepentingan partai koalisi.

Meminjam bahasa Hannah Arendt-aktivitas politik dalam pilpres 8 Juli 2009 yang lalu, tidak berarti hendak mengejar satu tujuan, hanya untuk kekuasaan dan popularitas. Akan tetapi, adalah tujuan untuk memberikan kesejahteraan, kemakmuran, dan pelayanan kepada masyarakat Indonesia.

Tindakan politik tidak dimaksudkan untuk memperoleh kesejahteraan bagi diri sendiri, partainya atau partai pendukungnya. Tapi, untuk kepentingan bangsa Indonesia dalam setiap kehidupan politik dan kehidupan umat manusia. Dengan memberikan kepada rakyat yang meliputi kebebasan, persamaan hak, keadilan, solidaritas, kemakmuran, kesejahteraan, keamanan, pelayanan publik yang baik dan jujur. Dengan menjalankan tindakan itu semua, maka elite politik dan elite pemerintahan telah melakukan tujuan politik yang secara genuine.

Politik adalah sebuah dunia yang memiliki nilai-nilai luhur dan tujuannya sendiri yang harus direalisasikan dengan mmemberikan pelayanan kepada publik dan memberikan kebaikan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam esai yang ditulis Hannah Arendt berjudul “Public Rights and Private Interest“ menegaskan, seluruh hidup manusia berpolitik dan bergerak secara konstan dalam dua aturan eksistensi yang berbeda. Ia bergerak dalam dunia, bergerak bersama orang lain, dan juga bersama mereka yang mengikutinya. Itulah “kebaikan publik”.

Partisipasi warga dalam pilpres 8 Juli 2009 lalu adalah kebaikan bersama karena dia berada dalam dunia bersama. Karena itu, kepentingan publik harus dikedepankan.
Kepentingan publik bagaikan sebagai juri. Sebagai partai pemenang pemilu 2009, yakni partai demokrat, kita diminta untuk berpegang pada kepentingan kebenaran dan kejujuran publik. Ini faktor yang paling utama dan fundamental dalam membangun peradaban bangsa Indonesia. Itulah kepentingan yang tercerahkan, melainkan juga kepentingan komunitas politik yang bisa mengakomodasi seluruh kepentingan rakyat Indonesia. Kejujuran dan imparsialitas adalah tuntutan warga.

Kepentingan publik yang ada di dalam keadilan imparsialitas yang kita miliki sebagai partai pemenang seringkali tercampur dengan masalah pribadi kita, karena itulah yang seringkali menyebabkan kesusahan dan kesulitan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi kepentingan bangsa Indonesia.

John Rawls, dalam karyanya “A Theory of Justice” (1973), menyatakan secara ekplisit bahwa keadilan sosial harus dilihat dalam posisi deontologis “yang hak prioritas atas yang baik”, di mana “yang hak dan yang baik untuk kepentingan publik harus diutamakan. Secara filosofis keadilan sosial adalah keadilan substantif yang menjadi subjek struktur dasar masyarakat yaitu “cara di mana institusi-institusi sosial dan departemen-departemen di dalam pemerintahan mampu mendistribusikan hak-hak serta kewajiban fundamental dan menentukan pembagian nikmat-nikmat kepada rakyat Indonesia.

Karena itu, dalam memilih menteri, kita berharap kepada presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) perlu melihat aspek-aspek yang sangat penting, yang sesuai dengan kecerdasan, intelektualitas, kompetensi, skill, pengetahuan dan wawasan calon menteri yang baru dalam mengeluti bidang tertentu. Faktor itulah yang harus dipertimbangkan dalam mencari sosok menteri atau kabinet.

Dengan begitu, kita berharap dan menagih janji kepada SBY, untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, maka ciptakanlah dulu pemerintahan bersih dalam pemilihan kabinet, dengan memilih kabinet yang sungguh-sungguh bersih akan menciptakan dan menjalankan setiap kebijakan Departemen yang dipegangnya dengan adil dan demokrasi. Dalam artian, pilihlah menteri yang mempunyai itikad baik, etika politik untuk mengabdi dan membantu rakyat Indonesia, bukan karena faktor ingin kekuasaan, jabatan, popularitas dan bahkan kekayaan untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya.

Penulis : Peneliti Pada Social and Philosophical Studies Yogyakarta