22 Februari 2009

Membangun Kesadaran Ramah Lingkungan

It Was Published In Joglo Semar Newspaper
On Wednesday 18 February 2009

Opini

Oleh: Syahrul Kirom*

Pada saat ini krisis lingkungan tengah terjadi, degradasi lingkungan tengah dirasakan semakin memburuk dalam dekade terakhir. Pemanasan global, kepunahan jenis, kekeringan yang panjang, kelangkaan air bersih, pencemaran lingkungan dan polusi udara, serta ancaman senjata biologis dam bencana banjir yang melanda daerah Semarang, Grobogan, Solo. Itu merupakan salah satu dari beberapa deret yang bisa menghancurkan peradaban umat manusia.

Hutan –hutan tropis yang merupakan tempat tinggal bagi jutaan spesies ditebangi secara illegal untuk pertanian, padang rumput, dan tempat tinggal. Bahan baku diambil dari permukaan bumi untuk menjaga kestabilan ekonomi dunia. Kita telah memperlakukan erat atmosfir, tanah, dan air sebagai wadah bagi limbah yang dihasilkan dari penggunanan energi dan sumber daya alam dalam kehidupan manusia.

Komunitas alam ini yang terdiri dari tumbuhan-tumbuhan, hewan, air, dan tanah, udara, dan manusia, telah dirusak oleh perilaku manusia sendiri. Salah satunya yang menyebabkan kerusakan hutan adalah paradigma antroposentrisme yang selalu mengeksploitasi dan menguras alam semesta demi memenuhi kepentingan dan kebutuhan hidupnya.

Pandangan antroposentrisme, disadari atau tidak, telah menimbulkan kejahatan terhadap lingkungan, peristiwa yang paling banyak disoroti dalam kaitannya dengan tentang keberadaan hutan, yang paling sering kita dengar setiap harinya adalah kejahatan terhadap hutan dan lingkungan alam. Terjadinya polusi udara, air, tanah, illegal loging, dan yang lainnya merupakan bagian dari kejahatan terhadap lingkungan.

Pada tahun 2008 ini kerusakan hutan dan kebakaran hutan serta bencana banjir dan tanah longsor yang menimpa sejumlah beberapa daerah di Tanah Air sudah seringkali terjadi. Akan tetapi, fenomena itu tidak pernah memberikan kesadaran penuh kepada insan manusia yang berkesadaran untuk berefleksi secara kritis-filosofis, kenapa bencana itu terus terjadi di Indonesia? Salah siapakah ini?.

Hutan merupakan sumber kehidupan ini telah banyak dieksploitasi oleh manusia-manusia yang tak bertanggung jawab (unresponsibility) dan hanya ingin memenuhi hawa nafus demi memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyak bagi individu. Yaitu dengan cara melakukan penjarahan hutan dan penebangan secara liar (illegal logging).

Karena itu, pemerintah dan masyarakat setempat harus melakukan langkah-langkah konstruktif dalam upaya menanggulangi kerusakan hutan di antaranya mengkampanyekan reboisasi dan penanaman pohon-pohon di daerah yang gundul dan gersang sebagai salah tindakan paling efektif. Maka dari itu, perlu digalakkan gerakan penanaman pohon-pohon atau penghijauaan di sekitar rumah kita dan sudut-sudut perkotaan sebagai bentuk untuk melestarikan hutan kita yang mengalami banyak penggundulan akibat ulah manusia yang tak bertanggung jawab.

Sementara itu, pemerintah dan aparat penegak hukum harus bersikap tegas untuk segera melakukan investigasi dan menangkap siapa saja para pelaku illegal logging yang sering menjarah hasil kekayaan alam Indonesia. Sehingga dengan upaya penangkapan oknum-oknum yang mengeskploitasi bisa menimbulkan efek jera agar aksi kejahatan tersebut tidak terjadi lagi.

Kerusakan hutan di Indonesia juga semakin dipertegas dalam Guiness Book World of Records tahun 2008. Bahwa Indonesia adalah negara yang mengalami deforestasi terbesar dunia. Indonesia kembali memperoleh nilai buruk pengelolaan hutan. Kerusakan hutan itu diakibatkan adanya kebakaran yang terus terjadi. Bahkan Indonesia di tuduh sebagai penghasil karbon terbesar dan memperoleh peringkat kinerja lingkungan ke-102 dari 149 negara yang tercatat dalam EPI (Enviromental Performance Index) tahun 2008. Peringkat itu dirilis dalam World Economic Forum di Davos AS, Januari 2008.
Ramah Hutan

Karena itu, tak salah kiranya jika hampir setiap hari terdengar laporan pengurangan lahan hutan karena penggundulan. Setiap tahun kita juga mendengar laporan menipisnya lapisan ozon di atmosfir bumi. Peristiwa kerusakan hutan jelas juga menyebabkan terjadi bencana banjir, tanah longsor dan gempa bumi.

Henry Skolomowski, seorang filsuf, filsafat lingkungan menyebutnya sebagai permasalah lingkungan. Itu semua mengacu pada adanya sebuah akibat dari interaksi antara manusia dan lingkungan alam sekitarnya. Dalam skala yang lebih besar bisa disebut sebagai masalah ekologis.

Krisis ekologi, krisis bumi dan krisis hutan yang seolah tak berujung. Hal ini merupakan implikasi dari perbuatan dan tindakan manusia yang melakukan pejarahan hasil bumi dan menimbulkan kehancuran hutan. Di sisi lain, kejahatan hutan ini ternyata juga dilakukan karena ada muatan kepentingan ekonomi dan kecanggihan alat teknologi.

Kenyataan itu semakin menegaskan bahwa manusia telah kehilangan nilai-nilai moralitas untuk memelihara hutan. Karena itu, manusia harus mampu mengatur hubungannya dengan hutan dan alam sekitarnya. Manusia harus memandang bahwa hutan merupakan kesatuan utuh yang saling melengkapi. Akan tetapi, sebaliknya hutan justru tambah disakiti oleh manusia sendiri yang tak bermoral. Tak salah kirannya, jika hutan mengamuk dan memorak-porandakan segala harta dan menghilangkan nyawa manusia.

Oleh karena itu, cara pandang manusia terhadap keberadaan hutan inilah yang perlu diubah agar sikap dan perilaku manusia lebih sedikit arif dan bijaksana dalam memaknai eksistensi hutan Karena itu, manusia harus mengembangkan konsepsi tentang hutan yang mengagungkan dan menghormati hutan, juga menganggap hutan sebagai sesuatu yang sakral dan hidup. Dengan begitu, akan melahirkan sikap yang menghormati dan peduli terhadap hutan dan alam sekitarnya.

Dengan demikian, kita harus menyadari bahwa keberadaan hutan dan alam semesta sama dengan posisi manusia yang juga perlu dirawat dan dipelihara dengan baik. Sehingga dengan adanya bencana banjir, angin puting beliung, gempa bumi dan tanah longsor, dengan mengedepankan nilai-nilai moralitas terhadap eksistensi hutan. Umat manusia bisa tergugah untuk kembali merekonstruksi dan melestarikan kondisi hutan kita yang semakin hari demi hari mengalami kehancuran. Semoga ***

Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial, Tinggal di Yogyakarta.

18 Februari 2009

Kritisisme Publik Dalam Pemilu Legislatif 2009

It Was Published In Bali Post
On Tuesday, 17 February 2009



OPINI

Oleh : Syahrul Kirom

Suhu perpolitikan di Indonesia kian memanas menjelang digelarnya pemilu legislatif 9 April 2009. Kampanye-kampanye melalui iklan, spanduk, baliho dan beragam semboyan politis makin memadati daerah sudut-sudut kota di Denpasar, Bali. Kampanye di hadapan publik adalah suatu keniscyaan yang mesti dilakukan oleh para calon presiden dalam menjelaskan visi-misi atau agenda utama untuk menuntaskan setiap persoalan kebangsaan dan untuk memajukan demi kesejahteraan masyarakat. Melalui penjelasan visi dan misi itulah, masyarakat pada nantinya bisa menentukan pilihannya sesuai dengan kehendak hati nuraninya.

Menurut Efendi Gazali dalam satu esainya 'Kampanye Platform' dengan mengutip Mendoza dan Jamieson (2001) menyatakan bahwa kampanye merupakan komunikasi politik yang sudah tentu mengandung kepentingan politik dan sebuah pilihan. Kampanye merupakan sebuah kesempatan bagi para pemilih untuk membandingkan dan mempertentangkan posisi-posisi kebijakan yang spesifik dan rinci para kandidat, lalu memilih yang terbaik di antara penyajian janji-janji itu.

Akan tetapi persoalannya secara filosofis adalah bagaimana masyarakat awam dalam menyikapi deklarasi atau kampanye-kampanye politik dari para capres di tengah situasi kondisi sosial dan politik yang tak menentu dan seiring merebaknya virus-virus korupsi di Indonesia.

Meminjam analisis Michael Foucalt dalam karyanya 'Knowledge of Power' (2001), masyarakat yang akan memilih pemimpin harus mengerti bahwa setiap kepentingan dari calon presiden, terutama dengan janji-janji dan prioritas program yang akan diberikan kepada publik secara ontologis mengandung makna untuk merebut kekuasaan. Pengetahuan politik adalah sarana ampuh dalam memperoleh kekuasaan.

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau masyarakat sesuai keinginan dari pelaku, baik secara langsung dengan jalan memberi perintah maupun secara tidak langsung dengan menggunakan segala alat dan cara yang ada. Karena itu, kekuasaan bisa dipahami bagaimana cara politisi untuk memenangkan Pemilu 2009. Sehingga mereka bisa mendulang suara banyak dari publik. S

Setiap pernyataan yang dimunculkan oleh capres sudah barangkali mempunyai entitas-entitas kepentingan politik. Sehingga masyarakat harus kritis dan melek politik.
Politik adalah seni memperoleh kekuasaan, kampanye-kampanye adalah bagian dari sikap politik sebagai tindakan untuk memengaruhi dan memanipulasi publik. Akan tetapi, dalam realitas sosial-politik, publik sudah terlalu lelah untuk dikibuli dengan janji-janji yang tidak kongkret dan terealisasi secara komprehensif. Karena itu, capres harus bisa menepati janji-janji politik seperti pendidikan gratis, sembako murah, dan mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan serta peningkatan kesejahteraan rakyat.

Sementara itu, kita juga seringkali melihat perilaku politisi, dari tim sukses para calon legislatif (caleg) dengan cara membagi-bagi uang, sembako, atau mungkin mereka mengadakan pendekatan kultural kepada masyarakat untuk diajak makan gratis, dengan maksud menyuap untuk memilih, misalnya kepada salah satu caleg yang akan maju nantinya

Terkadang sang politisi dalam melakukan aktivisme kampanye politik tidak mencerminkan nilai-nilai kejujuran, penuh kebohongan, dan kecurangan, serta ketidakadilan. Sebagian kecil para politisi tidak mempunyai sense of responsibility kepada rakyat Indonesia.

Perlu Ditumbuhkan

Bahkan, cara-cara yang digunakan dalam menggolkan hasrat politik capresnya bisa dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Yang penting partai politiknya dan kelompoknya bisa mencapai tampuk kekuasaan. Paradigma seperti itulah yang perlu direduksi oleh setiap politisi dalam Pemilu 2009 agar kondisi dan stabilitas politik tetap aman serta kondusif sehingga tidak menimbulkan pertengkaran antarkelompok.

Karena itu, kritisisme kesadaran berpolitik perlu ditumbuhkan kepada publik agar mereka tidak mudah ditipu dan dikibuli oleh politisi dari capresnya. Sehingga, rakyat Indonesia bisa menentukan pilihan kepada calon pemimpinnya yang sesuai hati nurani dan secara objektif, jujur dan tanpa ada tendensi kepentingan politik apa pun. Pada akhirnya, kita akan memiliki pemimpin yang bisa mengakomodasi aspirasi publik, mengabdi pada rakyat dan bisa diharapkan oleh masyarakat untuk selalu menepati setiap janji yang dilontarkan dalam kampanye.

Masyarakat yang baik adalah masyarakat yang sadar politik. Kesadaran berpolitik merupakan prasyarat penting untuk mewujudkan masyarakat yang adil, demokratis dan manusiawi. Kesadaran politik masyarakat baru bisa dikatakan memadai jika kesadaran itu tumbuh dari pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang konsep-konsep dasar politik. Kenyataan itu bisa dilihat dalam pemilu di Amerika Serikat pada 4 November 2008, yang sangat demokratis. Sebab, hampir mayoritas warga Amerika Serikat melek politik. Karena itu, pendidikan politik adalah hal penting bagi masyarakat, supaya mereka mampu berpikir secara politis, kritis dan filosofis serta tidak mudah membebek atau bahkan dikibuli dengan berbagai iklan politik yang ditayangkan di televisi.

Hal itu sangat diperlukan agar publik insaf akan harga dirinya, sehingga bertambah kuat dan pengetahuannya tentang politik, hukum dan pemerintahan bertambah luas serta memiliki wawasan politik yang kritis dalam menentukan pilihan calon pemimpin bangsa Indonesia ke depan.

Meski demikian, kampanye-kampanye yang dilakukan oleh capres harus selalu dihormati sebagai jalan proses demokrasi dalam Pemilu 2009 mendatang. Dengan selalu mengedepankan nilai-nilai pendidikan politik, etika politik dan tidak menimbulkan aksi pertengkaran antarpartai politik. Masyarakat agar kritis dalam menentukan pilihan pemimpin dalam pemilu legistatif 9 April 2009. Kekritisan dalam memilih seorang calon pemimpim bangsa Indonesia ini menjadi kunci utama sebuah demokrasi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kepedulian calon legislatif kepada rakyat Indonesia.

Penulis, peneliti pada Social and Philosophical Studies Yogyakarta