4 Agustus 2008

Membumikan Teologi Persaudaraan

Telah Dimuat di SUARA MERDEKA
Jum’at 1 Agustus 2008

Wacana

Oleh : Syahrul Kirom*


Dalam acara Konferensi International tentang Dialog Antar-penganut Agama dan Kepercayaan di Madrid Spanyol, 16-18 Juli 2008 lalu. Menteri Agama, Muhammad Maftuh Basyuni menegaskan bahwa munculnya konflik di muka bumi ini bukan disebabkan oleh agama, namun justru manusia yang keliru dan memanfaatkan agama demi tujuan jahat.

Tetapi, dalam realitas kehidupan tak jarang ada berbagai konflik dan kekerasan yang menyeret agama. Agama seolah menjadi legitimasi untuk melakukan peperangan dan kekerasan.

Yang membuat kita tak habis pikir adalah di Indonesia kekerasan dan konflik antar satu agama saja bisa terjadi. Padahal, mereka satu keyakinan yakni dalam bingkai agama Islam. Kenyataan itulah yang membuat kita semakin prihatin terhadap agama Islam sendiri.

Menurut Rosullulah SAW peperangan antar suku dan agama, yang disebabkan hanya membela materi, kekuasaan, jabatan, bukan karena membela kebenaran agama Islam serta ajaran Nabi Muhammad yang terkandung dalam al-Qur’an, maka secara tegas mereka meninggal dalam keadaan jahiliyah.

Menurut Staf Khusus Menag dan Rais Syuri’ah PBNU, Prof. Dr. KH. Maghfur Usman dalam bukunya “Mari Menebar Ukhuwwah” (2007) menyatakan secara tegas bahwa untuk merajut konflik dan kekerasan perlu membangun kesadaran ukhuwwah Islamiyah, ukhuwwah basyariyah dan ukhuwwah wathoniyah atau yang disebut teologi persaudaraan. Maka dari itu, dibutuhkan pemahaman ajaran dan tradisi Islam berdasarkan pada al-Qur’an dan Hadits secara komprehensif.

Ukhuwwah Islamiyah merupakan hubungan antar sesama umat Islam tanpa membedakan secara luas dan sempitnya kapasitas hubungan, mulai hubungan keluarga, masyarakat kecil sampai hubungan ras, suku, kekayaan antar bangsa. Hubungan itu bisa meliputi baik di tingkat nasional maupun international dan menyangkut aspek kehidupan ibadah, mu’amalah, munakahat, dan mu’asyarah yang pada nantinya akan menciptakan pesaudaraan secara hakiki.
Ukhuwwah Wathoniyyah adalah hubungan antara sesama manusia yang berkaitan dengan persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Persaudaraan ini berhubungan dengan kemasyarakatan, di mana umat Islam sebagai warga negara Indonesia ini memiliki kebebasan dan kesamaan derajat serta tanggung jawab dalam menyejahterakan antar sesama umat manusia.

Ukhuwwah Basyariyah adalah persaudaranan ini muncul berdasarkan atas rasa kemanusiaan yang bersifat universal dengan memiliki kesamaan harkat dan martabat kemanusiaan dalam mencapai kehidupan yang sejahtera, adil dan damai dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.


Beberapa Langkah

Dalam membangun kesadaran teologi persaudaraan ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh umat Islam. Pertama, umat Islam harus seringkali melakukan tabayyun jika kita menerima berita yang mencurigakan. Tabayyun berarti menyelidiki kesahihan satu berita dengan melakukan check and recheck dari sumber berita lain sebelum bertindak melakukan kekerasan.

Kedua, umat Islam harus selalu melakukan Islah, jika ada teman yang berseteru. Lebih-lebih pada persoalan partai politik yang menimpa PKB, yang kini menjadi problem aktual di dalam bangsa Indonesia. Akibat dari perpecahan di tubuh internal PKB menjadi dua, yakni antara PKB kubu Muhaimin Iskandar dan Kubu KH. Abdurrahman Wahid.

Lebih parahnya, perpecahan itu akan merembet ke warga Nahdiyin. Karena itu, konflik di tubuh PKB itu harus diselesaikan dengan cara islah, dengan cara perdamaiaan di antara sesama umat Islam.

Dalam al-Qur’an telah dijelaskan “Tuhanmu tidak akan menghancurleburkan suatu negeri secara lalim, jika warga negeri ini termasuk orang-orang yang selalu mengibarkan bendera islah atau perdamaiaan”. (Q.S. Hud:117).

Jurgen Hubermas dalam karyanya “Communication and the evoution of society” (1979), umat Islam harus menciptakan budaya komunikatif terhadap sesama umat Islam. Masyarakat muslim yang komunikatif bukanlah masyarakat muslim yang bertindak secara revolusi melawan dengan kekerasan, tetapi melalui argumentasi (musyawarah).

Bukankah Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan, jika kita mempunyai masalah, alangkah lebih baiknya diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mencapai kata mufakat.

Ketigat, umat Islam perlu menumbuhkan sikap jangan menghina orang lain, tetapi hendaklah saling menghormati dan menghargai setiap perbedaan agama dan keyakinan. Penghinaan hanya akan menyebabkan sakit hati dan sikap permusuhan. Sebaliknya, saling menghormati dan menghargai hak asasi orang lain akan menumbuhkan kedekatan dan persaudaraan antar sesama umat Islam.

Keempat, umat Islam tidak boleh berburuk sangka kepada orang lain. berburuk sangka jelas akan memperkeruh pertengkaran yang hanya menumbuhkan sikap saling mencurigai yang pada titik nadirnya dapat menciptakan destruktifitas hubungan sesama umat manusia.

Kelima, umat Islam hendaklah bersikap terbuka, inklusif dan suka berta’aruf (saling berkenalan) dengan orang lain. sikap seperti ini jelas memiliki muatan yang positif dengan menimbulkan simpati kepada orang lain. sebaliknya, sikap eksklusif, akan menimbulkan efek yang negatif dengan menciptakan perseteruan sesama orang lain.

Michael Keene dalam karyanya “Agama-Agama Dunia” (2006) yang menyatakan bahwa agama-agama di dunia termasuk agama Islam mengajarkan kepada umatnya untuk saling mencintai, menciptakan kasih sayang, persaudaraan, perdamaiaan, dan kerinduan yang mendalam akan lahirnya dunia bak surga, di mana cinta kasih dan saling berbagi dan tak ada kebencian di dalamnya. Inilah yang menjadi dasar utama pertemuan agama-agama dunia termasuk agama Islam untuk hidup harmonis, dalam perbedaan keyakinan beragama.

Keenam, diperlukan sikap yang akomodatif dengan kesediaan menampung banyak kepentingan pendapat dan aspirasi dari berbagai pihak kelompok, melainkan juga dibutuhkan sikap yang sangat selektif dan cerdas dalam setiap menentukan sebuah pilihan dan kebijakan pemerintah yang dapat memberi manfaat bagi kepentingan umat manusia.

Ketujuh, diperlukan sikap yang integratif dengan selalu mengakomodasi kepentingan rakyat Indonesia dan bersikap kooperatif untuk selalu hidup bersama meski berbeda agama dan bekerja sama dengan siapapun dalam kegiatan antar sesama manusia untuk kepentingan bangsa Indonesia.

Karena itu, teologi persaudaraan harus diwujudkan oleh umat Islam dalam kehidupan berjamaah sebagai khilafah 'ala minhajin nubuwwah, tanpa itu tak mungkin ukhuwwah sesama umat Islam bisa terwujud. Teologi persaudaraan wajib diimplementasikan oleh umat Islam dengan Jama'atul Muslimin wa Imaamahum.

Dengan demikian, umat Islam harus memahami ajaran moral dan tradisi Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan selalu mengedepankan nilai-nilai teologi persaudaraan ini diharapkan bisa meminimalisir dan mereduksi setiap konflik sosial dan kekerasan atas nama agama yang selalu senantiasa muncul di dalam masyarakat Islam dan bangsa Indonesia tercinta ini. Semoga.


* Penulis adalah Alumnus Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Teologi Manusia Modern

Telah Dimuat di MEDIA INDONESIAJum’at 27 Juni 2008

OPINI

Oleh : Syahrul Kirom*

Manusia modern adalah anak rahim yang tercipta dari aliran rasionalisme dan emprisisme melalui jargonnya “Aufklarung”. Idealisme filsafat modern seolah ingin menggugat doktrin gereja yang membelenggu dan mengekang akan keberadaan serta eksistensi manusia yang terkena logosentrisme gereja.

Semenjak itu, muncul beberapa penemuan baru yang diusung semisal oleh Issac Newton, Charles Darwin, Albert Einstein, meruntuhkan paradigma gereja-konservatif. Konstruksi gereja sudah tak ada harganya dihadapan realitas manusia modern. Teologi gereja telah mengalami keterkikisan akibat manusia tidak mempercayai akan keberadaan agama yang bersifat abstrak dan penuh dengan dogma.

Filsuf-filsuf besar, seperti Thomas Hobbes, John Locke, Rene Descartes, Immanuel Kant dan David Hume mulai mempertanyakan tentang Tuhan. Maka praktis setelah Hegel, garis filsafat Ketuhanan yang telah ada sejak masa Klasik, Abad Pertengahan, hingga awal modernitas mendadak putus.

Bahkan, yang muncul di panggung filsafat abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah gerakan ateisme yang dipelopori filsuf-filsuf seperti Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Jean-Paul Sartre dan Sigmund Freud. Para filosof tersebut mengalami skeptisisme terhadap pencarian Tuhan. Itu merupakan tamparan telak terhadap orang-orang yang selama ini mempercayai eksistensi Tuhan.

Manusia modern telah mendewakan materi dan segala sesuatu yang dianggap bermakna bagi kehidupan umat manusia. Secara filosofis persoalannya adalah bagaimana konstruksi pemikiran manusia modern dalam menalar Tuhan? Melainkan juga paradigma apa yang digunakan manusia modern dalam memahami teologi? Pertanyaan inilah kirannya sangat urgen untuk dikemukakan dalam tulisan ini.

Dalam paradigma manusia modern, agama dan spiritualisme cenderung sulit mendapat ruang dan waktu. Sebab apa, posisi agama mulai termaginalkan dan tersingkirkan dalam konsepsi manusia modern. Apalagi mengenai Tuhannya. Dunia modern lebih cenderung mengandalkan ilmu empiris dan teknologi yang menyebabkan berlebihan terhadap dunia materi. Implikasinya, realitas yang diakui keberadaan hanyalah berwujud material, fisik dan natural.

David Ray Griffin dalam “Visi-Visi Postmodern” (2005), mengasumsikan ada empat konstruksi yang dibangun oleh manusia modern tentang Tuhan. Pertama, dunia diciptakan oleh tuhan yang berpribadi. Kualitas-kualitas pribadi atau personal yakni kualitas yang dikandung oleh manusia dianggap abadi, asali, dan menjadi dasar. Kualitas-kulitas pribadi yang menyebabkan segala sesuatu terjadi melalui kekuatan tertinggi alam semesta.

Kedua, manusia dalam kehidupan mempunyai power dan kekuasaan untuk menentukkan segala sesuatu yang diinginkan di mana pandangan materialistik-antroposentris yang telah menjadi kerangka pikir manusia modern. Ketiga, manusia modern menganggap dirinya paling hebat (meminjam istilahnya Nieztsche manusia adalah makhluk superman yang bebas sesuai dengan kehendaknya) dan istemewa dalam tata susunan semua benda.

Menurut Erich Fromm, manusia telah dimabukkan dengan suatu kemakmuran material karena sukses dalam menguasai alam. Manusia tidak lagi menganggap dirinya sendiri sebagai perhatian utama dari kehidupan. Nalar manusia sebagai sarana untuk menemukkan kebenaran telah dilepaskan sebagai instrumen belaka untuk memanipulasi benda-benda dan manusia.

Tuhan dalam Nalar Manusia Modern.

Etienne Gilson dalam “God and Philosophy” (1941) menjelaskan teologi adalah proses refleksi rasional tentang hal-hal yang kita anggap suci yang memiliki nilai terpenting (ultimate importance) demi dirinya sendiri. Di era modern teologi mengalami penurunan derajat. Setelah banyak manusia yang mendewakan ilmu pengetahuan sebagai segala-galanya. Konsep teologi cenderung tidak memiliki sumbangan dalam kehidupan ini harus disingkirkan dan dienyahkan dari realitas manusia.

Secara historis, sebelum munculnya penolakan modern. Manusia pramodern membagi teologi menjadi dua. Pertama, teologi konservatif-fundamentalis yang mendasarkan diri pada kekuatan supernatural, yang tidak dapat diuji kebenaranya melalui kacamata ilmu pengetahuan. Kedua, teologi liberal modern berusaha menghindari konflik dengan ilmu pengetahuan. Teologi ini lebih mendekati pada unsur kemodernan.

Di samping itu, ada sebuah pertanyaan filosofis mengapa teologi pada zaman modern mengalami nasib yang tidak terhormat. Pertama, Tuhan, nilai-nilai transenden dan jiwa manusia (dengan kebebasannya) yang merupakan inti dari visi religius berdasarkan tradisi kitab suci tidak lagi diizinkan berperan dalam alam semesta oleh “pandangan dunia ilmiah modern”.

Dalam konteks modern inilah teologi harus memilih dan menolak serta mengabaikan ilmu pengetahuan. Teologi di era modern menyebabkan tersisihkan dalam dunia modern adalah karena ia sudah tidak relevan dengan zaman. Modernitas sudah memiliki pengganti teologi. Masyarakat liberal modern, keselamatan dianggap bisa diperoleh melalui kemajuan materi, yang dimungkinkan oleh pasar dan teknologi sains. Ilmu ekonomi dan ilmu alam dengan dukungan filsafat ilmu merupakan dua cabang pengganti teologi di zaman modern.

Pendek kata, teologi tersisih karena pandangan dunia modern tidak memberikan kemungkinan suatu visi teologis yang berbasis pada rasionalisme dan materialisme. Selain itu, kehausan religius masyarakat modern untuk mendapat keselamatan telah menciptakan pengganti teologi. Karena dianggap tidak relevan dan tidak mungkin, maka pada zaman modern teologi mengalami masanya yang paling sulit.

Pandangan manusia modern, saat ini telah mendominasi lingkungan-lingkungan intelektual yang tidak memberikan landasan apa-apa demi suatu displin spiritual. Yang terjadi adalah memupuk apa yang disebut antispiritualitas. Manusia modern hidupnya hanya diorientasikan pada sesuatu yang bersifat material, nilai-nilai fisik seperti kepuasan daging dan pemilikan benda-benda material. bukan pada sesuatu yang mengandung nilai-nilai moral dan religius.

Di sadari atau tidak, Tuhan telah dicitrakan seperti penjaga surga, sementara nabi adalah salesman. Mata uang untuk membeli semua itu adalah pahala. Proses beragama telah menjadi seperti sebuah praktek perdagangan antara Tuhan dan manusia. Hubungan antara Tuhan dengan manusia ialah hubungan antara pedagang dengan calon konsumen surga.

Berpijak dari paradigma orang-orang modern bahwa segala sesuatu adalah materi. Tuhan dalam konteks manusia modern ini dibentuk sebagai sesembahan tatkala manusia butuh dan dikala duka atau pun suka sehingga persepsi manusia tentang Tuhan adalah bagaimana posisi Tuhan sebagai penguasa, pencipta alam semesta ini serta kemahapenyayangan dan kemahakekuasaan terhadap umat manusia mampu menjadi alat perintah kekuasaan manusia.

Dengan demikian, ketika umat manusia memahami Tuhan sebagai penghasil materi. Maka materi ini mengukuhkan dan menyebabkan manusia modern menjadi atheis. Manusia telah kehilangan kepercayaannya tentang keberadaan Tuhan. Tuhan dalam nalar manusia modern dianggap rendah dan buruk. Singkat kata, Tuhan dipahami manusia modern jika mampu memberikan kebutuhan pada manusia.

Penulis adalah Peneliti Pada Social and Philosophical Studies Yogyakarta.

TEOLOGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Telah Dimuat Harian UMUM SOLOPOS
Jum’at 27 Juni 2008

Gagasan


Oleh : Syahrul Kirom*

Teologi adalah membahas ajaran-ajaran dari sesuatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agamanya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat, yang tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman.

Dalam istilah Arab ajaran-ajaran dasar itu disebut Usul al Din,’aqa’id, credos atau keyakinan-keyakinan. Teologi Islam disebut ‘ilm al tawhid. Selanjutnya kalau yang dimaksud dengan kalam ialah kata-kata manusia, maka teologi dalam Islam disebut ‘ilm al kalam, karena kaum teolog Islam bersilat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing. Teolog dalam Islam memang diberi nama mutakallim yaitu ahli debat yang pintar memakai kata-kata.

Teologi Islam yang diajarkan di Indonesia pada umumnya adalah teologi dalam bentuk ‘ilm tawhid. Ilmu tauhid biasanya kurang bersifat filosofis. Selanjutnya, ilmu tauhid biasanya memberi pembahasan sepihak dan tidak mengemukakan pendapat dan paham dari aliran-aliran atau golongan-golongan lain yang ada dalam teologi Islam. Ilmu tauhid diajarkan dan dikenal di Indonesia pada umumnya ialah ilmu tauhid. Menurut aliran asy ‘ariah, sehingga timbullah kesan dilarang sementara orang Islam Indonesia menganggap inilah satu-satunya teologi yang ada dalam Islam.

Dalam Islam sebenarnya terdapat lebih dari satu aliran teologi. Ada aliran yang bersifat liberal, ada yang bersifat tradisional, dan ada pula yang mempunyai sifat antara liberal dan tradisional.

Warna teologi kita selama ini masih tetap di dominasi pandangan dunia “hitam dan putih”(a dualistic world view), yang mengembangkan paradigma “halal-haram”, ”dosa-pahala”, dalam melihat suatu masalah. Paradigma semacam ini, selayaknya diperiksa kembali, agar lebih relevan dengan tuntutan realitas. Isu “kebebasan” memang penting, namun rasanya “kebebasan untuk siapa” lebih penting lagi. Apakah “kebebasan” dalam pengertian intelectual freedom itu yang lebih mendesak, atau teologi yang mampu membebaskan kaum dhuafa’, dalam proses transformasi diri umat Islam. Itu yang lebih dibutuhkan dalam konteks sosial sekarang ? Begitu juga, apakah isu Islam alternatif sebagai apologi terhadap Barat yang perlu dilanjutkan? Sebab, ternyata kita juga butuh melihat ke Barat dalam usaha reformasi konsep-konsep Islam selama ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu kita renungkan kembali jika kita tidak menginginkan apa yang hendak kita perbaharui hanya terliput secara semantis saja, atau hanya menyentuh segi-segi yang semu belaka. Pesan mendasar universal itu nampaknya baru bisa digiring ke dalam pertautan historis jika kita berani menghadapkannya dengan realitas. Jadi bukan hanya berdasarkan rasionalitas kita sendiri.

Kesejahteraan Masyarakat Islam

Teologi spekulatif yang dibangun pada masa klasik sejarah Islam tidak mendapat dukungan yang berarti dari Al-qur’an. Kitab Suci ini “pada hakekatnya adalah sebuah dokumen agamis dan etik yang punya tujuan praktis bagi penciptaan sebuah masyarakat yang baik dan adil secara moral”. Masyarakat tipe ini haruslah terdiri dari manusia yang soleh secara agama dengan kesadaran yang tajam dan kuat tentang Allah yang memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan*. Dalam bahasa yang sangat populer adalah ‘amrun bi al ma’ruf wan nahyun ‘ani al munkar’.

Dalam al-qur’an, doktrin”amrun bi al ma’ruf wan nahyu ‘ani al munkar” dijumpai dalam delapan ayat, tersebar dalam lima surat, dua Makkiyah dan tiga Madaniyah. Yang Makkiyah adalah surat al A’raf ayat 157 dan surat Luqman ayat 17. Kemudian yang Madaniyah adalah surat Ali Imran ayat 104, 110, dan 114; surat at Taubah ayat 41. Yang tegas-tegas berupa perintah terdapat dalam surat Luqman, yaitu perintah terhadap anaknya agar mendirikan shalat, mendirikan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, serta tabah menghadapi cobaan. Ayat-ayat yang lain sekalipun memuat perintah, susunan bahasanya berbentuk dan bernada afirmatif (penegasan).

Apa hubungan pembicaraan kita tentang ayat-ayat ini dengan pemberdayaan masyarakat? Pemberdayaan masyarakat hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang berdaya secara politik, ekonomi, sosial, iptek, dan kultural. Orang yang tidak berdaya tetapi ingin memberdayakan masyarakat tidak akan pernah berhasil. Tingkatnya hanya tingkat angan-angan.

Umat yang terlalu banyak berangan-angan tetapi tidak berdaya adalah beban Islam dan beban sejarah. Oleh sebab itu Al qur’an menyuruh kita bercermin kepada yang kongkret, kepada yang empirik, sebab di sana juga terdapat ayat-ayat Allah. Oleh sebab suatu sistem teologi yang terlalu sibuk mengurus yang serba ghaib dan lupa terhadap yang kongkret tidak akan menang dalam kompetisi duniawi. Padahal kejayaan di dunia diperlukan untuk meraih kejayaan diakherat. Karir hidup di dunia, menurut pandangan al qur’an akan sangat menentukan corak kehidupan di alam sana.

Berpijak dari asumsi diatas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, teologi klasik sudah tidak relevan lagi bila dikaitkan dengan masalah pemberdayaan masyarakat karena terlalu intelektual spekulatif. Teologi murni spekulatif tentang Tuhan hampir-hampir tidak dijumpai dalam al qur’an.

Kedua, doktrin tauhid yang menegaskan keesaan Allah memerlukan dimensi sosial, politik, ekonomi, iptek,dan kebudayaan dalam makna yang sempit. Tanpa terkait dengan semua dimensi ini, tawhid yang serupa itu pasti tidak berasal dari al qur’an.

Ketiga, prinsip egaliter adalah sisi sosial dari doktrin tauhid. Prinsip ini terlalu lama terbenam dalam sejarah umat Islam. Oleh sebab itu prinsip ini perlu dibongkar kembali untuk memberdayakan umat secara keseluruhan. Tanpa tegaknya prinsip ini, sistem sosial dan sistem politik dengan label Islam sekalipun pasti akan memperpanjang sistem pemasungan dan bahkan penindasan terhadap sektor masyarakat yang lemah dan tak berdaya. Al Qur’an sejak masa dini telah menyatakan perang terhadap segala macam bentuk pemasungan dan penindasan karena kitab suci ini sangat menghargai martabat manusia.

Penulis adalah Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta