21 April 2008

Lapindo dan Tanggung Jawab Sosial

Di Muat di Suara Pembaruan
Oleh : Syahrul Kirom*

Bencana banjir lumpur yang terjadi di Porong, Sidoarjo sejak 29 Mei 2006 lalu, menjadi permasalahan yang sangat akut, krusial bagi kehidupan masyarakat, sekaligus pelajaran sangat berharga bagi daerah-daerah lain. Luapan lumpur semakin tak terkendali dan menyebar luas hingga mengenangi jalur lalu lintas pantura Surabaya- Malang.

Semburan lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, semakin memprihatinkan dan belum ada tanda-tanda bakal mereda. Selain itu juga merendam 45 hektare sawah dan tambak, lumpur panas juga merendam pemukiman penduduk di tiga desa serta melumpuhkan tujuh pabrik, merendam sebagian jalan tol dan kini penduduk semakin banyak yang mengungsi, melainkan juga merugikan berpuluh miliar rupiah.

Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah hingga kini belum diketahui apa penyebab terjadinya semburan gas beracun dari tanah tersebut.

Sebaliknya, justru masyara- kat kemudian saling tuding. Beberapa pejabat PT Lapindo pun tidak mau tahu dan apatis atas kejadian tersebut.

Bahkan ada yang mengatakan bahwa penyebab banjir lumpur itu dari getaran gemba bumi di Yog- yakarta, yang berimplikasi juga pada aktivitas pertambangan PT Lapindo.

Kesalahan Manusia.

Secara fundamental hal itu sebenarnya disebabkan oleh pembuangan limbah yang tidak tepat pada sasaran dan ini juga merupakan kesalahan dari manusia sendiri, juga pada teknik manajemen terhadap pembuangan hasil dari pengolahan gas yang salah serta juga kesalahan internal dari pihak perusahaan yang kurang bisa mengatisipasi akan munculnya semburan gas tersebut, akibat pengeboran yang di- lakukan terlalu berlebihan.

Penambangan dilakukan seca- ra terus menerus sudah pasti akan mengakibatkan bumi ini menjadi rusak.

Pemerintah Priopinsi Jatim sendiri menyatakan angkat tangan dan menyerahkan persoalan tersebut ke pusat.

Ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah daerah sangat kurang peka terhadap kejadian banjir lumpur tersebut, serta sangat lamban menyelesaikan problem tersebut. Seharusnya bisa diatasi secara cepat dan komprehensif.

Tidak adanya reaksi dan respons dari pemerintah daerah dan dari pihak perusahaan, membuat masyarakat harus turun tangan untuk melakukan langkah yang bisa mencegah sementara luapan lumpur yang sangat berbahaya itu.

Mereka terpaksa harus menjebol tanggul darurat untuk menahan luapan lumpur yang dibuat agar lumpur tidak menggenangi di daerah sekitar dan jalan tol.
Sejauh ini tidak terlihat ada upaya yang bisa dilakukan untuk menghentikan luapan lumpur yang sangat menyengat hidung itu. Kekhawatiran masyarakat sekitarnya tidak segera diatasi secara cepat karenanya bukan mustahil bahaya, korban dan kerugian yang ditimbulkan akan lebih besar.

Persoalannya adalah di mana tanggung jawab pihak perusahaan penambangan dan juga institusi yang memberi izin dilakukannya penambangan dan pemerintah daerah?
Kenapa masyarakat dibiarkan mengambil jalan sendiri untuk menyelamatkan keadaan mereka?
Sudah seharusnya perusaha- an penambangan bisa mengambil inisiatif untuk memperbaiki keadaan tersebut.

Dari kasus Sidoarjo, kita harus mengingatkan kepada pengusaha, khususnya perusahaan penge- boran, mereka pasti harus membayar mahal atas kesalahannya.

Harus ada penjelasan mengapa sampai kebocoran terjadi dan ada langkah-langkah perbaikan kondisi untuk mengendalikan keadaan.

Perlu diingatkan kembali bahwa tanggung jawab sosial dari institusi yang memberikan izin bagi berbagai penambangan di Tanah Air ini perlu ditekankan.
Mereka sesungguhnya tidak bisa lepas tanggung jawab dan melimpahkan semuanya kepada pihak perusahaan. Para ahli pengeboran yang dimiliki harus turut ikut serta mengendalikan keadaan terlebih dulu agar keadaan tidak semakin memburuk atau terjadi di tempat/daerah lain.

Lubang penambangan yang jebol itu tidak hanya menyemburkan lumpur hitam pekat.

Tanggung Jawab Moral

Selain itu, juga keluar cairan, bau busuk beraroma gas asam sul-fida (H2S) sehingga menyebabkan sesak dan infeksi pernafasan. Ini bisa berakibat fatal, meninggalnya warga masyarakat.

Karenanya, pertanggungjawaban moral, material dan finansial harus diberikan pihak perusahaan. Namun, yang lebih utama untuk dibenahi adalah proses pengembalian fungsi lahan dan pengobatan bagi ratusan warga.

Harus pula diingatkan bahwa daerah Sidoarjo adalah salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Saat ini saja, telah banyak industri, sumber-sumber produksi, dan konsumsi tenggelam oleh lumpur. Tidak bisa lagi berproduksi dan para pekerjanya tidak bisa lagi bekerja.

Anehnya, kemungkinan seperti itu, terutama kemungkinan terburuk bahwa luapan lumpur itu tidak bisa dihentikan sampai dalam jangka sangat lama-entah berapa tahun lagi-tidak banyak dikemukakan kepada publik oleh pihak-pihak yang terkait dengan bencana lumpur di Sidoarjo.
Sampai sekarang, sebagian besar lontaran pendapat masih berkisar pada optimistis bahwa muntahan bumi itu bisa dihentikan. Optimistis boleh-boleh saja agar semua pihak dapat memelihara kinerjanya dengan maksimal untuk menghentikan luapan lumpur.

Tetapi, jika tidak mau membicarakan kemungkinan paling buruk dan paling fatal-luapan lumpur tidak bisa dihentikan- justru luapan lumpur itu bisa menjadi bencana baru yang lebih buruk.
Yakni, membiarkan korban dan dampak terus bertambah di kemudian hari tanpa bisa mencegah dan berbuat apa-apa lagi. Jika itu yang terjadi, namanya naif berjamaah.

Upaya untuk membangun tanggul-tanggul yang lebih kuat sangat diperlukan guna mencegah terja- dinya banjir lumpur yang lebih meluas.

lebih dari itu adalah pentingnya sense of responsiblity dari perusahaan penambang dan pemerintah daerah dalam menyikapi masalah penghancuran lingkungan.
Selain itu, penegakan hukum atas kerusakan lingkungan harus dilakukan guna mengungkap siapa yang harus bertanggung.

*Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial, tinggal di Yogyakarta.

Cermin Budaya Korupsi

Di Muat di Jawa Pos.
Pada Senin, 09 Okt 2006. Kolom Prokon Aktivis

Oleh : Syahrul Kirom*

Pemberian gratifikasi kepada pejabat negara menjadi wacana menarik. Pasalnya, hal itu dilakukan menjelang Hari Raya Idul Fitri 1427 H. Pemberian gratifikasi biasanya meliputi parsel, bingkisan, uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, serta pengobatan cuma-cuma.

Awalnya, parsel memang diberikan sebagai wujud silaturahmi keluarga atau ke kerabat lainnya. Tetapi, perkembangan menunjukkan bahwa nilai dan bentuk parsel semakin hari semakin tidak proporsional atau melebihi batas. Parsel bisa tetap berbentuk barang, tetapi harganya semakin mahal.

Isinya juga bisa berubah bentuk menjadi uang atau bentuk lain dengan nilai yang jauh lebih besar. Karena itu, parsel bisa merupakan pintu masuk bagi berkembangnya korupsi. Tak ayal lagi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun melarang mengirim dan menerima parsel bagi pejabat publik atau pejabat negara.

Persoalannya, kenapa pejabat negara dilarang menerima dan memberi gratifikasi? Pertama, pemberian parsel itu, baik disadari maupun tidak, jelas akan memberikan peluang besar bagi pejabat negara untuk menyuap dan celah untuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Sebab, parsel merupakan salah satu bentuk gratifikasi yang jelas bernuansa korupsi. Hal itu diatur dalam UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 pasal 12 B ayat 1 dan ayat 2 bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Karena itu, setiap pejabat negara yang menerima bingkisan atau parsel wajib melapor kepada KPK untuk diverifikasi, apakah parsel tersebut benar-benar sebagai bentuk silaturahmi ataukah parsel itu bernilai tinggi yang jelas memilik keterkaitan dengan jabatan.

Kedua, pemberian parsel akan melanggengkan budaya korupsi yang meluas di tubuh pejabat negara, seperti pejabat pemerintah pusat beserta jajarannya, anggota DPR/DPRD, duta besar, gubernur, bupati, wali kota dan jajaran pejabat di lingkunganya serta pejabat badan usaha milik negara/daerah (BUMN/BUMD) beserta jajarannya. Mereka sudah seharusnya menolak pemberian bingkisan.

Dennis F . Thompson dalam Political Ethics and Public Office (1993) menyatakan bahwa pemberian gratifikasi merupakan bagian dari pelanggaran etika. Secara etis, kebiasaan itu tidak tepat. Sebab, sebagian rakyat sedang dilanda kesulitan ekonomi. Berdasar data, jumlah orang msikin di Indonesia mencapai 17 persen di antara 220 juta penduduk Indonesia saat ini. Jumlah pengganguran 10 juta (Media Indonesia, 3/10/2006).

Karena itu, kini saatnya masyarakat atau pejabat negara menghentikan kebiasaan mengucapkan selamat kepada rekan kerja, pejabat pemerintah, dan penyelenggara negara dalam bentuk iklan di media cetak dan elektronik atau karangan bunga, bingkisan makanan, dan barang-barang berharga lainnya.

Bingkisan tersebut lebih baik disalurkan kepada rakyat miskin, kaum duafa, panti sosial, dan yang membutuhkan, baik dalam bentuk kebutuhan pokok, alat pendidikan, maupun biaya kesehatan dengan semangat kepedulian sosial. Dengan begitu, wibawa dan martabat pejabat negara semakin dihargai di mata publik.

Budaya Korupsi

Pengiriman bingkisan untuk pejabat negara adalah salah satu bentuk gratifikasi yang terkadang dianggap remeh. Padahal, itu sebenarnya merupakan sebuah penyimpagan kekuasaan. Sebab, secara filosofis, hal tersebut termasuk bentuk penyimpangan kecil atau korupsi kecil, seperti penyogokan, penyuapan, dan pelicin, yang dimanfaatkan untuk menjalankan mesin birokrasi pemerintahan.

Saya khawatir, ketika terus dilanggengkan dan dibenarkan (justified), korupsi kecil itu akan merebak dan mengakar di tubuh pejabat negara. Selain itu, korupsi mengakibatkan pejabat publik menciptakan peraturan baru atau regulasi yang tidak perlu sehingga memaksa publik memberikan pelicin untuk setiap urusan.

Karena itu, gerakan antikorupsi di Indonesia harus selalu di dengungkan. Tradisi pemberian gratifikasi perlu dikikis dan diberantas hingga ke akar-akarnya karena bagian dari korupsi. Fenomena-feomena kecil seperti itu telah mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik kepada pejabat negara.

Pelarangan penerimaan parsel itu hendaknya dianggap sebagai upaya preventif untuk mencegah menjamurnya korupsi di Indonesia. Upaya preventif tersebut bisa dilakukan dengan cara menyadarkan publik bahwa pemberian yang sudah dianggap "lazim" dan menjadi sesuatu yang biasa, secara mentalitas, bukanlah hal yang baik. Sebaliknya, itu akan menciptakan mental menjadi sang koruptor.

Upaya preventif juga bertujuan memperkuat masyarakat dengan meningkatkan sikap antikorupsi sebagai upaya memberantas korupsi dari bawah hingga ke atas. Sebab, masyarakat yang memiliki kesadaran antikorupsi itu akan menciptakan pemerintahan yang bersih (good government) dari unsur-unsur KKN. Semoga.

*Syahrul Kirom, mahasiswa Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.